Data Kemiskinan, Permainan Angka Minus Sejahtera



Oleh : Mukhy Ummu Ibrahim
Member Akademi Menulis Kreatif

Baru-baru ini pemerintah merilis data Biro Pusat Statistik (BPS) tentang angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis pada Rabu, 15/01/2020 tersebut dinyatakan bahwa angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan.

Dari sebelumnya pada periode Maret 2019 berada pada angka 9,41 persen, pada periode September 2019 telah turun sebesar 0,19 persen menjadi 9,22 persen. Jika dilihat dari jumlah, per September 2019 penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 24,79 juta orang. Jumlah ini turun sebesar 0,36 juta dari jumlah penduduk miskin yang tercatat pada Maret 2019. (cnnindonesia.com, 31/1/2020)

Meskipun demikian, pemerintah ternyata masih mempunyai PR besar. Sebab berdasarkan data Bank Dunia dalam laporan yang bertajuk Aspiring Indonesia, Expanding The Middle Income Class, Indonesia memiliki 52 juta penduduk yang terkategori dalam kelas menengah. Namun, Bank Dunia juga mencatat adanya 115 juta penduduk Indonesia yang masuk dalam kategori 'Aspiring Middle Class'. Yaitu mereka yang diasumsikan sebagai kelas menengah 'tanggung' atau di ujung jurang. Mereka adalah golongan masyarakat yang taraf hidupnya sudah membaik tetapi sangat rentan kembali menjadi miskin.

Kelompok ini menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eni Sri Hartati sangat mudah 'goyang' jika ada perubahan harga kebutuhan dari mulai BBM, listrik hingga kebutuhan pokok. Selama ini kondisi mereka disokong oleh adanya bansos dan bantuan lainnya seperti Bantuan Pangan non tunai dan raskin.

Bantuan-bantuan ini memang dapat mengkatrol kondisi mereka. Namun, saat bantuan habis keadaan akan kembali seperti semula. Mereka sangat rentan miskin bahkan memang benar-benar miskin. Eni pun menilai bansos dan bentuk bantuan lainnya untuk kaum miskin hanya membantu secara angka statistik. Saat bantuan digelontorkan, secara statistik angka kemiskinan pun akan turun. Akan tetapi, setelah bansos habis, angka ini pun kembali melonjak naik. (cnnindonesia.com, 31/01/2020)

Hal ini menjadi bukti bahwa selama ini pemerintah dalam menghadapi permasalahan kemiskinan masih jauh dari solusi nyata. Pemerintah lebih banyak bermain dengan angka dengan klaim-klaim yang 'halu' belaka. 

Bagaimana tidak, klaim pemerintah akan turunnya angka kemiskinan nyaris hanya nominal di atas kertas. Sungguh jauh dari realitas. Belum lagi penetapan standar kemiskinan yang nyaris tidak masuk akal. Di mana mereka yang memiliki pengeluaran lebih dari Rp 401.220 per kapita perbulan (sekitar Rp 13 ribu per hari) dianggap terkategori sebagai bukan miskin. Padahal penetapan standar yang begitu rendah itu masih jauh dari standar yang menenuhi kelayakan.

Jelaslah di sini, bahwa upaya untuk memberantas kemiskinan dalam era kapitalis hanyalah upaya bermain hitung-hitungan angka di atas kertas. Sangat jauh dari upaya riil yang akan benar-benar berdampak baik ke masyarakat.

Hal ini memang sebuah keniscayaan dalam sebuah sistem dengan aturan manusia yang hanya berdedikasi untuk melayani para kapital/pemodal saja. Tidak pernah ada konsep mengurusi urusan rakyat yang sebenarnya. Karena demokrasi sejatinya kini makin telanjang saat kita bisa melihat mereka yang duduk di atas hanya fokus pada kepentingan masing-masing. Predikat sebagai wakil rakyat pun tinggal nama tanpa makna nyata.

Kemiskinan massal sendiri merupakan bahaya tersembunyi dari diterapkannya kapitalisme. Penguasaan kapital/modal oleh segelintir orang jelas akan menyisakan kaum terpinggirkan yang nyaris tak punya kekayaan apa pun. Bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok, mereka pun kesulitan. Dalam era kapitalisme, perputaran modal hanya berkutat pada mereka yang kaya saja. Distribusi kekayaan pun tidak merata. Terdapat gap/kesenjangan yang amat besar antara si kaya dan si miskin. Menurut laporan tahunan Global Wealth Report 2016, Indonesia menempati negara keempat dengan kesenjangan sosial tertinggi di dunia. Diperkirakan satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 49 persen total kekayaan nasional.

Jika sistem ini terus dipertahankan, niscaya permasalahan kemiskinan tidak akan pernah terpecahkan. Upaya-upaya yang dilakukan pun hanya sebatas menurunkan angka kemiskinan. Yang bahkan hanya sekedar 'permainan' dan tidak jarang malah dijadikan ajang pencitraan. Keseriusan pemerintah dalam mengupayakan penyelesaian permasalahan kemiskinan pun sangat dipertanyakan 

Kapitalisme telah terbukti sebagai sistem  yang telah gagal menciptakan kesejahteraan. Di mana di seluruh dunia kehancurannya telah semakin nyata. Bandingkan dengan sistem Islam yang pernah terbukti dapat memberikan kesejahteraan pada seluruh rakyatnya di masa kejayaannya.

Islam sebagai agama yang sempurna memang tidak mengatur urusan ibadah saja. Aturannya menyeluruh dari ranah pribadi, rumah tangga hingga negara. Termasuk adanya aturan dalam perekonomian yang akan menjamin kesejahteraan umat. 

Pada taraf individu, Allah Swt memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah bagi dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233)

Secara jama’i (kolektif) dalam level masyarakat, Allah Swt memerintahkan kaum muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah Saw bersabda, "Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu. (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).

Dan level negara, Allah Swt memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk di dalamnya adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok mereka. Rasulullah Saw bersabda, "Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Saat menjadi kepala negara di Madinah, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab pun biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Sementara Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang. Dan pada masa kekhilafahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.

Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan aturan Islam dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Jika saja aturan Islam yang diterapkan di negeri ini, niscaya kesejahteraanlah yang akan melingkupi negeri. Dan bukannya kemiskinan seperti yang terjadi pada saat ini.

Allah Swt berfirman, "Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami membuka untuk mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi." (TQS al-A’raf [7]: 96)

Sebagai sebuah dampak sistemik dari penerapan sistem yang gagal, maka kemiskinan pun hanya dapat dihilangkan dengan perubahan total. Dibuangnya sistem yang lama dan digantikan dengan sistem yang baru. Sehingga sudah saatnya kapitalisme kita tinggalkan. Dan beralih pada penerapan sistem yang telah terbukti mampu menghadirkan kesejahteraan, yaitu sistem Islam.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post