Bullying - Problem Akut Generasi Sekuler

Oleh : Fitria A, S.Si
  
KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan. Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa di Malang yang jarinya harus diamputasi atau siswa yang ditendang lalu meninggal hingga yang bunuh diri dari lantai 4 di sekolahnya. Penyebabnya karena bullying juga.

Menurut Jasra Putra, Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, pemicu bullying sangat banyak. Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial. "Dan itu kisah yang berulang, karena bisa diputar balik kapan saja oleh anak, tidak ada batasan untuk anak-anak mengkonsumsinya kembali," tuturnya. (www.inilahkoran.com , 8/2/2020).

Jasra menuturkan, semakin maraknya fenomena perundungan/bullying menunjukkan gangguan pertumbuhan dan konsentrasi anak berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Gangguan perilaku anak harus diantisipasi sejak awal. Ia menjelaskan, meski secara fisik dan daya belajar anak baik, namun seringkali ketika menghadapi realitas anak tidak siap. Sehingga, terjadi gejolak yang menyebabkan pelemahan mental yang dapat bereaksi agresif seperti perundungan.

Pendapat komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi ini membuktikan bahwa potensi akademis tidak selalu berbanding lurus dengan moral perilaku dan akhlaknya. Dalam beberapa kasus yang disebutkan di atas, pelaku bullying begitu sangat tega terhadap temannya sendiri yang sehari-hari bermain dan belajar bersama. Bagi korban bullying, hal ini juga menunjukkan ketidakmampuannya dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya, sehingga terus-terusan menjadi bulan-bulanan teman-temannya.

Begitu massifnya kasus bullying ini, semestinya menyadarkan kita untuk kembali mempertanyakan sistem pendidikan yang selama ini sudah dijalankan di negeri ini. Adakah justru sistem pendidikan yang diterapkan saat ini sebagai faktor pemicunya. Ataukah ada faktor lain?

Pendidikan seyogyanya tidak hanya fokus dalam peningkatan akademis saja. Berbagai upaya pergantian kurikulum, mulai dari CBSA, KTSP, hingga K13 serta perubahan sistem Ujian Nasional hanya berorientasi pada upaya peningkatan kualitas output pendidikan dari sisi akademis. Sedangkan mengenai moral, nyaris tidak ada upaya revolusioner untuk melakukan perombakan. Justru ada tokoh parpol yang mengusulkan penghapusan pelajaran agama. 

Selain sistem pendidikan, sistem sosial yang berlaku di masyarakat juga bisa menjadi pemicu tercetaknya pelaku-pelaku bullying. Seorang anak yang kurang perhatian dari keluarganya, cenderung mencari perhatian di tempat lain. Baik itu di sekolah atau lingkungan bermainnya. Caranya bisa dengan berbuat onar yang sekiranya memancing perhatian orang lain. Termasuk dalam hal ini juga melakukan aksi bullying. Anak yang mengalami kekerasan di rumahnya oleh salah satu atau lebih anggota keluarganya sementara tidak kuasa untuk melawan, maka akan berupaya untuk mencari “korban” yang dianggap mampu “dikuasainya”.

Sistem sosial yang berlaku, diakui atau tidak juga merupakan dampak dari sistem ekonomi kapitalis yang berlaku. Ketika semua kebaikan, kehormatan dan derajat manusia selalu dinilai dengan materi, maka segala cara ditempuh untuk meraihnya. Para orangtua juga mengupayakan demi tidak menjadi korban bullying di tengah-tengah masyarakat. Namun ironisnya justru ketika kedua orang tua bekerja, anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya, sehingga anak-lah yang kemudian menjadi korban atau bahkan pelaku bullying.

Sudah saatnya pembangunan SDM yang berorientasi tidak hanya akademis namun juga moral dan karakter yang kuat menjadi fokus perhatian. Sistem Pendidikan Islam sangat peduli akan pembentukan kepribadian seseorang. Bahkan upaya mendidik anak dimulai dari sejak calon ayah memilih calon ibunya, yang kelak di rahimnya, seorang jiwa tumbuh dan berkembang. Ibu juga menjadi guru yang pertama dan yang utama bagi anaknya. Dalam Islam, pendidikan akhlaq sejak dini ditanamkan. Bagaimana sebelum menuntut ilmu, diajarkan adab terlebih dahulu adalah merupakan bentuk pentingnya akhlaq kepribadian Islam. Islam juga menolak segala upaya “perusakan” baik itu dalam bentuk fisik atau pun non-fisik. Upaya perusakan fisik seperti memukul, meninju, atau merusak barang orang lain. Termasuk upaya perusakan non-fisik seperti merusak mental, psikologis, dan lain sebagainya. Jangankan perusakan, memanggil orang dengan sebutan yang buruk saja dilarang. Dalam Al Quran Surat Al Hujurat ayat 11, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain, pen.). Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”.

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,  “Termasuk di antara kalimat yang tercela yang umum dipergunakan dalam perkataan seseorang kepada lawannya (adalah ucapan), “Wahai keledai!”; “Wahai kambing hutan!”; “Hai anjing!”; dan ucapan semacam itu. Ucapan semacam ini sangat jelek ditinjau dari dua sisi. Pertama, karena itu ucapan dusta. Ke dua, karena ucapan itu akan menyakiti saudaranya.

Selain sistem pendidikan, pengaturan media menjadi tanggungjawab besar negara untuk melindungi warga masyarakatnya dari pengaruh buruk tontonan yang sudah menjadi tuntunan. Game-game online tidak jarang mengajarkan kekerasan, hingga anak paham teknik menjatuhkan lawan dari berbagai game tersebut. Belum lagi berita kriminal yang setiap hari muncul di layar kaca, bisa jadi juga menginspirasi banyak orang.

Satu hal lagi, adalah pendidikan keluarga yang saat ini juga digaungkan dalam bentuk program ketahanan keluarga, seyogyanya ditingkatkan baik dari kualitas maupun kuantitas. Sehingga bagaimana keluarga menjadi benteng pertahanan dalam menjadi putra-putrinya agar jauh dari cara bergaul yang tidak aman bahkan membahayakan teman-temannya.

Ternyata permasalahan bullying ini tidak hanya persoalan anak nakal yang mencederai temannya. Namun lebih kepada permasalahan sistemik, yang butuh diselesaikan secara sistemik juga. Baik itu sistem pendidikan formal dan informal, sistem sosial, ekonomi dan pengawasan media dengan berbagai bentuknya. Dan Islam mengatur semuanya. Maka harapan untuk menghapuskan bullying adalah harapan untuk kembali pada penerapan Islam sebagai sebuah sistem.
Wallohu ‘alam bi showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post