Toleransi Menyesatkan Potret Sekuler-Liberalisme

Oleh : Mustika Lestari
(Pemerhati Remaja)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum Muslim untuk menyerupai kaum kafir. Rasulullah saw, bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka  mereka bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi menegaskan bahwa mengucapkan selamat Natal kepada penganut Nasrani tidak akan melunturkan akidah seorang Muslim. Dalam pernyataannya, Menag Fachrul menjelaskan bahwa siapapun boleh mengucapkan selamat Natal. Namun, ia meminta pendapat itu tidak dipaksakan kepada orang lain. 

Demikian pula Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, Masduki Baidlowi mengatakan, ada pendapat yang menyatakan ucapan selamat Natal dari seorang Muslim tidak masalah jika tidak diniatkan secara keimanan. Jadi, semua kembali ke niat umat Muslim soal pengucapan selamat Natal. (http://m.detik.com, 20/12/2019).

Toleransi yang Kebablasan

Sudah menjadi pemandangan umum, perayaan Natal yang jatuh setiap tanggal 25 Desember pada setiap tahunnya selalu ramai dan meriah sebagai tanda perayaan atas kelahiran Yesus Putra Tuhan menurut keyakinan dalam agama Nasrani. Pernak-pernik atribut perayaan biasa dijumpai hampir diseluruh area, pasar, jalan raya, terlebih diperkotaan yang dikelilingi gedung tinggi. Spanduk dan baliho yang bertuliskan ucapan selamat Natal pun terpampang dengan besar di depan bangunan-bangunan perkantoran, pusat pembelanjaan, bahkan memenuhi tiang-tiang di sepanjang jalan. Demikian pula halnya di dunia maya lewat media sosial, aneka macam status tulisan, gambar, video perayaan disebar. Like and comment memenuhi jagad maya oleh mereka yang merayakan (umat Kristiani).

Namun disamping itu, perayaan Natal juga membawa kontroversi di setiap tahunnya. Pasalnya, mereka yang memeriahkan hari raya ini bukan hanya umat Kristiani melainkan juga mereka yang beragama Islam dengan dalih toleransi dan kerukunan umat beragama, sehingga banyak yang menyimpulkan bahwa yang menolak perayaan dan tidak mengucapkan natal adalah orang yang tidak toleran dan tidak menginginkan kerukunan dengan umat beragama lain.
Dilansir oleh www.tirto.id- Ucapan selamat merayakan Natal 2019 disampaikan oleh sejumlah tokoh dan pejabat negara termasuk mereka yang berasal dari kalangan Muslimin. Salah satu tokoh Muslim yang sudah mengucapkan selamat merayakan Natal 2019 bagi umat kristiani, adalah Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama),  Sail Aqil Siroj.

“Saya Ketua Umum PBNU, mengucapkan selamat Natal kepada seluruh saudara-saudara saya yang beragama Kristiani di manapun berada, khususnya yang berada di lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Said (24/12/2019).

Pada momentum Natal 2019, Said mengajak seluruh umat beragama untuk memperkuat persaudaraan agar masa depan bangsa Indonesia semakin bermartabat dan berbudaya. Dia berharap Indonesia tetap menjadi bangsa yang moderat, plural dan menjalankan prinsip Bhineka Tunggal Ika.

Selain itu, Menteri Agama Fachrul Razi pun menyampaikan Selamat Merayakan Natal kepada umat Kristiani. Ucapan selamat Natal tersebut disampaikan oleh Fachrul saat gereja-gereja mulai menggelar misa Natal. Dia berharap perayaan Natal tahun ini menjadi momentum yang tepat untuk memahami hakekat perbedaan dan keragaman serta pentingnya menghormati sesama manusia.

Dilain pihak, tokoh adat dan tokoh masyarakat Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat tidak mengizinkan umat Kristiani merayakan Natal sekaligus melarang melaksanakan kebaktian secara terbuka di rumah maupun di tempat lain. Umat Kristiani hanya boleh melaksanakan ibadah di rumah masing-masing dan tidak mengundang umat kristen lainnya. Kepala dusun Jorong Kampung Baru mengatakan, jika ingin merayakan natal bersama-sama, maka bisa bergabung merayakannya di tempat ibadah mereka, Sungai Rumbai denganperjalanan 30 menit (http://www.bbc.com, 20/12/2019).

 Menyikapi hal ini, terkait larangan perayaan Natal di Dharmasraya, Sumatera Barat (Sumbar), putri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid mengatakan bahwa negara sudah menjamin hak warga negara dalam memeluk agama. Yenny mengimbau sikap tegas Pemda setempat untuk menyelesaikan persoalan ini. “Kalau kemudian ada yang melarang, itu sudah jelas melanggar UU dan harus disikapi oleh Pemda. Jadi kita mengimbau kepada Pemda juga harus lebih tegas,” katanya.
Padahal kata Yenny, menjalankan ibadah di rumah sembari mengundang kerabat atau tetangga adalah hal lumrah yang terjadi di Indonesia. Bagi umat Islam, melaksanakan pengajian saja bisa dilakukan di rumah dan mengajak orang lain. 

“Ini kan standar perlakuan yang berbeda. Dan ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita, yang menjamin kesetaraan,” ujar Yenny (http://m.detik.com, 22/12/2019).

Memang, ketika hidup di era liberal ini sudah menjadi suatu prinsip baku aqidah senantiasa digoyah dan dianulir dengan berbagai cara. Pemikiran dan paham pluralisme dimasukkan kedalam benak umat Islam. Setiap tahun berulang dan semakin terang-terangan mereka perlihatkan. Merayakan Natal dianggap sebagai wujud sikap toleransi yang normal saja terhadap agama lain. Umat Islam seolah dituntut untuk terbiasa, mulai dari mengucapkan selamat Natal, mengenakan atributnya, hingga ikut memeriahkan dalam ritual perayaannya. 

Natal, jelas budaya milik kaum Nasrani yang mayoritas Ulama telah jelas  menyatakan keharamannya, perkara perayaannya beserta semua hal yang menyertainya. Sebagaimana Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ucapan selamat hari Natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 45).

Demikian pula, Syaikh Abu Hafsh Al-Kabir An-Nasafi, seorang ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah Ta’ala (Fathul Bari, 2: 442).

Dari sini, bagi yang menyelisihi ‘ijma ulama sungguh telah sesat dan keliru. Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q.s. An-Nisa: 115).

Ironisnya, di zaman serba sekuler ini hampir semua aktivitas yang menyimpang dari syariat layaknya wajar dilakukan, sedangkan yang mengikuti dinilai intoleransi, aneh dan lain sebagainya. Seruan berpartisipasi dalam perayaan Natal ini tidak lain adalah kampanye ide pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Paham ini menyatakan semua agama itu benar. Sehingga, umat Muslim harus menerima kebenaran ajaran umat lain, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus. Mereka mengaburkan dasar keimanan dan ajaran Islam sehingga batasan-batasan aqidah dengan mudahnya dilanggar dan disepelekan, dicampur adukkan, sehingga perayaan Natal pun dianggap tidak apa-apa, sebab semua agama itu sama-sama benar. Sungguh berbahaya jika saat ini umat Islam diseru untuk menggadaikan aqidahnya dengan dalil toleransi dan kerukunan umat beragama. 

Disisi lain, pemerintah terkesan lepas tanggungjawab dalam memberi pemahaman kepada umat Muslim tentang batasan perayaan hari raya agama lain yang terus menuai kontroversi. Kementerian Agama dan Majelis Ulama pun sudah tidak dapat diharapkan lagi ketegasannya. Paham liberalisme melingkupi jajaran Muslim dibiarkan dengan bebas mengucapkan selamat Natal sekaligus menghancurkan aqidah. 

Seharusnya negara mengambil peran dalam mempersatukan seluruh rakyatnya dalam bingkai toleransi yang benar. Namun, hal demikian mustahil diwujudkan dalam sebuah negara yang mencampakkan hukum Allah dan menerapkan aturan buatan manusia. Menganut ideologi kapitalisme seperti saat ini yang hanya mementingkan manfaat dan materi saja. Dunia diutamakan, melebihi urusan akhirat. Alih-alih melindungi aqidah umat, justru negara memfasilitasi kampanye global ide-ide sesat.

Kembali Kepada Ajaran Islam

Jika doktrin pluralisme harus mengakui kebenaran agama lain, berbeda halnya dengan Islam. Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah Ta’ala, sesungguhnya ad-Din yang diterima disisi Allah adalah Islam. Jadi, Islam adalah agama eksklusif dan tidak plural. 

Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam dan tidak ada satupun amal ibadah yang belum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada umatnya. Maka, tidak ada lagi syariat dalam Islam selain yang telah Allah wahyukan kepada Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada lagi syariat dalam Islam selain yang telah Nabi ajarkan kepada kita. Begitupula terkait masalah toleransi, keberagaman dan perbedaan.

Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya agar kaum Muslim meninggalkan dan menjauhi perayaan-perayaan yang berasal dari budaya non muslim. Sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum Muslim untuk menyerupai kaum kafir. 
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka  mereka bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Selain itu, dalam hadits shahih dari Anas bin Malik ra. dia berkata, “saat Rasulullah SAW datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar untuk bermain-main.” Lalu beliau bertanya, “dua hari untuk apa ini?” Mereka menjawab, “dua hari dimana kami sering bermain-main di masa Jahiliyah.” Lantas beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR. Abu Dawud).

Perayaan dua hari raya ini bersanding dengan dua rukun yang agung dari rukun Islam yaitu puasa ramadhan dan ibadah haji. Sudah selayaknya kaum Muslimin tidak tergiur untuk menyandingkan dengan hari raya umat agama lain, terlebih perayaan Natal yang jelas membahayakan aqidah kaum Muslim.

Sikap toleransi dalam Islam bukan ketika mengucapkan selamat atas hari raya umat agama lain, tetapi menghormati umat beragama lain untuk beribadah ditempat ibadah mereka dan tidak mengganggunya. Islam juga telah mengajarkan prinsip yang mendasar, dalam menjaga toleransi sekaligus merawat aqidah kita dengan prinsip, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Namun, dalam perkara aqidah, Islam dengan tegas menyatakan bahwa agama selainnya adalah kafir. Wallahu a’lam bi shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post