Rusaknya Pemikiran Manusia Dalam Sistem Kapitalis

Oleh : Indah

Sistem kapitalis yang telah memisahkan agama dari kehidupan membuat manusia semakin menantang syariat Allah. Sebab apa-apa hanya berdasarkan kepentingan individu. Pemikira-pemikiran barat telah meracuni para tokoh masyarakat.

Seperti baru-bari ini kita dikejutkan oleh pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamangan Mahfud MD yang menyebut haram mengikuti umat Islam meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW menuai sorotan publik.

Pernyataan itu disampaikan Mahfud saat mengisi Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat lalu (25/1).

Hal ini dapat membuat masyarakat bingung. Seharusnya pernyataan seperti ini tidak keluar dari seorang tokoh masyarakat.

Allah telah sampaikan melalui bisyarah RasulNya dalam riwayat Ahmad tentang kembalinya Khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Seluruh ulama Aswaja, khususnya empat Imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib.

Rasulullah ï·º bersabda:
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu  Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.  Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada.  Selanjutnya  akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796))

Syaikh Abu al-Turab Sayyid bin Husain al-‘Affani pun dalam A’lâm wa Aqzâm fî Mîzân al-Islâm (I/376) menegaskan: “Hadits ini merupakan hadits shahih yang menegaskan kembalinya Khilafah Islamiyyah.” Dalam ta’liq-nya atas Musnad Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Isnad hadits ini hasan”.

Syeikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,

“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].

Dan juga kemampuan luar biasa yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan kenabiannya. Dalam Islam, mukjizat terjadi hanya karena izin Allah. Di antara mukjizat Nabi Muhammad adalah Isra dan Mi'raj dalam waktu tidak sampai satu hari. Selain itu, Nabi Muhammad juga pernah membelah bulan pada masa penyebaran Islam di Mekkah.

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dikatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Tidak ada seorang pun di antara para nabi kecuali mereka diberi sejumlah mukjizat yang di antara manusia beriman kepadanya dan mukjizat yang saya terima adalah wahyu.
Allah mewahyukannya kepadaku. Maka saya berharap kiranya menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.”

Menurut syariat Islam, tidak ada mukjizat yang diberikan Allah kepada seorang nabi melainkan mukjizat itu pun diberikan kepada Muhammad secara persis sama atau bahkan lebih hebat. Seperti Sulayman yang sanggup berbicara kepada hewan, Isa yang dapat mengetahui rahasia hati umatnya dan seterusnya.

Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah, bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. [an Nahl : 36].

"Dan tidak Kami utus kepada kalian seorang rasul, kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah yang wajib diibadahi dengan benar kecuali hanya Aku, maka sembahlah Aku." [al Anbiyaa’: 25].

Tidak ada teladan sebaik Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wassalam . Barangsiapa meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , niscaya ia akan menjadi teladan Seribu lima ratus tahun yang silam, siapa yang tidak mengenal sosok Abu Bakar, khalifah pertama pengganti Rasulullah sebagai imam umatnya. Dialah pribadi paling mulia di antara umat Muhammad. Siapa pula yang tidak mengenal Umar bin Khaththab, orang terbaik setelah Abu Bakar. Demikian juga dengan Utsman bin ‘Affan, orang terbaik setelah Umar, serta Ali bin Abu Thalib, yang merupakan orang terbaik setelah Utsman.

Semuanya merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa ta’ala , di mana Ia telah memilih mereka menjadi orang-orang terbaik dari umat Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wassalam . Mereka menjadi teladan generasi setelah mereka dikarenakan mereka menjadikan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wassalam sebagai suri teladan dalam seluruh aspek kehidupannya. Keberadaan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wassalam di tengah-tengah mereka, telah mewarnai kehidupan mereka yang penuh kemuliaan, kebaikan, kebahagiaan, ketentraman, ketenangan, kenyamanan, kejayaan, dan sebagainya. Tidak hanya itu, mereka bahkan berada di akhir kehidupan dan mengakhiri perjuangannya dengan keberhasilan yang gemilang, yaitu membuka pintu segala kenikmatan yang ada di sisi Allah di dalam surga-Nya.

Rasulullah telah menjadi teladan para shahabatnya, serta menjadi panutan dalam melangkah dan mengarungi samudera yang dahsyat dengan gelombangnya. Ini merupakan sinyalemen keberhasilan mereka dalam menjadikan dan mempraktikkan bimbingan Allah di dalam Al Qur’an:

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhir serta banyak berdzikir kepada Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Imam As Sa’dy mengatakan di dalam tafsirnya hal. 609, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik yaitu dari sisi di mana beliau menghadiri sendiri suara hiruk pikuk dan langsung terjun ke medan laga. Beliau adalah orang yang mulia dan pahlawan yang gagah berani. Lalu bagaimana kalian menjauhkan diri kalian dari perkara yang Rasulullah bersungguh-sungguh melaluinya seorang diri? Maka jadikanlah dia sebagai panutan kalian dalam perkara ini dan sebagainya.”

Kemudian dikatakan oleh Imam As Sa’dy: “Suri teladan itu ada dua macam yaitu yang baik dan yang buruk. Suri teladan yang baik itu ada pada diri Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wassalam karena orang yang menjadikannya sebagai suri teladan, sungguh dia telah menempuh jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan yang ada di sisi Allah. Itulah jalan yang lurus.

Adapun menjadikan selain Rasulullah sebagai suri teladan, apabila orang tersebut menyelisihi beliau, maka itu adalah suri teladan yang jelek seperti ucapan orang musyrik ketika diseru untuk menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan, mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya kami telah menemukan bapak-bapak kami di atas satu ajaran dan kami di atas agama mereka mengikut.’ Suri teladan yang baik ini akan ditempuh dan akan mendapatkan taufiq atasnya, oleh orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan kebahagiaan di hari akhir.

Yang mendorongnya untuk menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan yang baik adalah iman, takut kepada Allah, berharap pahala dari-Nya, dan takut terhadap adzab-Nya.

Al Hafidz Ibnu Katsir, dalam tafsir 3/483, mengatakan: “Ayat ini merupakan landasan pokok menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan dalam ucapan-ucapan beliau, perbuatan-perbuatan, dan dalam semua keadaan beliau.”

Keteladanan Rasulullah telah dinobatkan sendiri oleh Allah di dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan kesempurnaan Rasulullah dari semua sisi kemanusiaan yang tidak dimiliki oleh selainnya, dahulu maupun sekarang.

Post a Comment

Previous Post Next Post