Perempuan Tersandera Ekonomi Kapitalis

Oleh: Miftah Karimah Syahidah
(Koordinator Back to Muslim Identity Community Jember)

Perempuan, memang isu yang selalu hangat untuk diperbincangkan. Tak perlu menunggu momen khusus untuk mengangkatnya dalam tema-tema diskusi, karena isunya selalu up to date. Seperti beberapa hari yang lalu (12/01/2020), puluhan mahasiswa berkumpul di sebuah kafe di Jember untuk membahas nasib perempuan. Memang luar biasa, libur kuliah tak melunturkan semangat mereka untuk berperan memperbaiki kondisi negeri. Wajar saja jika mahasiswa digelari agen of change.

Dengan tema perempuan dan kemiskinan, diskusi ini dipantik dengan fakta-fakta kemiskinan perempuan yangg tak kunjung usai, bahkan data menunjukkan angka yang selalu naik. Miris? Ya, di negara yang katanya “Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto  Tentrem Kerto Raharjo”, nyatanya nasib perempuan tak seindah bayangan, kemiskinan selalu menjadi polemik kehidupan.

Dalam kesempatan ini, pemateri menyampaikan salah satu solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah perempuan, yakni PEP (pembedayaan ekonomi perempuan). Dengan adanya program ini perempuan dituntut untuk berdaya, perempuan tidak boleh lagi menjadi obyek pembangunan, tapi ia harus menjadi subyek pembangunan. Hal ini senada dengan perkataan banyak tokoh di event-event perempuan. 

“Pengentasan kemiskinan akan lebih tercapai dengan melibatkan kaum perempuan di negeri ini sebagai subjek pembangunan, bukan obyek pembangunan”

“Sudah saatnya perempuan diberikan kesempatan yang lebih besar dalam pembangunan ekonomi, dengan difungsikannya hak ekonomi perempuan. Ini akan menyumbang pencapaian pembangunan daerah dan nasional serta meningkatkan kesejahteraan keluarga.”

“Namun, benarkah dengan berdayanya kaum wanita dapat menuntaskan problem perempuan dan kemiskinan seperti yang mereka sampaikan? Apakah setelah mereka berdaya, perempuan hari ini hidup sejahtera dan mulia?” tanya pemateri,  dan dijawab serempak oleh peserta “TIDAK”.

Ya, memang kenyataannya tidak, angka kemiskinan terus naik, lebih dari 22 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Meski hari ini pemerintah mengklaim bahwa ekonomi Indonesia terus meningkat, nyatanya itu hanyalah permainan angka. Fakta di tengah masyarakat, kehidupan makin sempit dan menghimpit. Semua serba mahal. Jangankan berdaya di ranah publik sebagai subyek pembangunan, memenuhi ranah domestik saja mereka tak mampu.

Inilah kondisi negeri zambrut kaulistiwa. Tanah surga katanya. Tongkat dilempar jadi tanaman. Namun rakyatnya hidup sengsara bagai di neraka. Banyaknya sumber daya, pasalnya tak sedikitpun berkorelasi dengan kata sejahtera, malah yang ada rakyat makin sengsara.

Pemateri menyampaikan bahwa kondisi tersebut sangatlah wajar, karena memang negara diatur dengan bentuk negara “Korporatokrasi”. Dimana negara bukan bertindak sebagai pelayan umat, tapi pelayan korporasi. Paradigma yang digunakan negara bukan lagi mensejahterakan rakyat, tapi sibuk menghitung untung dan rugi. Kebijakan lahir bukan untuk memelihara rakyat, tapi lahir atas paradigma bisnis ala perusahaan.  Sehingga wajar, SDA yang ada tak pernah mampu mensejahterakan, karena semua diprivatisasi oleh korporasi. Inilah akar masalah kemiskinan negeri ini, bukan karena perempuan kurang berdaya. Tapi kondisi ini lahir karena penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini. 

Jika ini akar masalahnya maka salah besar jika perempuan berfikir, mereka akan sejahtera ketika berdaya. Kehidupan mereka akan lebih baik jika mereka bekerja. Sejatinya, narasi “perempuan sebagai subyek pembangunan” adalah narasi sesat, yang sengaja diaruska oleh kapitalis. 

‘Teman-teman tau bedanya sungai yang diam dan ada arusnya? Jika air itu ada arusnya, seperti banjir jakarta itu, semua dilibas, sepeda motor, mobil, bahkan rumah pun dilibas. ya, seperti banjir itu, program-program pemberdayaan perempuan ini diaruskan luar biasa oleh kapitalis, sehingga semua terlibas.”  

Padahal kenyataan yang ada, perempuan dijadikan buruh murah untuk menekan biaya produksi korporasi. Artinya perempuan hanya dijadikan “alat” oleh para kapital untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. “Mengapa harus perempuan? Ya, karena perempuan berbeda dengan laki-laki, perempuan cenderung nerimoan, jadi meskipun gajinya kecil ya nrimo aja, nggak banyak protes kayak laki-laki,” papar  Ustadzah Rusmiati S.P, selaku pemateri.

Nyata sudah, bahwa perempuan hanyalah sapi perah ekonomi kapitalis, bukan subyek pembangunan yang mampu melakukan perubahan negeri. Mereka hanyalah tumbal para kapital untuk memenuhi nafsu duniawinya.

Diskusi ini kemudian diakhiri oleh pemateri dengan seruan untuk mengakhiri sistem kapitalisme yang menyuburkan korporatokrasi -bentuk negara yang menjadikan rakyat sebagai korban perselingkuhan birokrasi dan korporasi-. Dan sudah saatnya kamum muslimin kembali pada aturan Sang Ilahi Rabbi, yang sudah menetapkan aturan berupa sitem ekonomi Islam, yang dengan pengaturannya kesejahteraan rakyat terjamin, dan kebutuhan asasi rakyat terpenuhi tanpa kompensasi.

Post a Comment

Previous Post Next Post