Menyoal Antara Jilbab dan Tafsir Kontekstual Kaum Liberal

Oleh : Andi Annisa Nur Dzakiyyah. S. Pd
(Aktivis Dakwah, Tenaga Pengajar) 

Beberapa hari belakangan ini, jagad maya dihebohkan dengan video  di chanel youtube Deddy Corbuzier yang diunggah pada hari rabu tanggal 15 Januari 2020. Video tersebut berisikan pernyataan istri Almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah, terkait hukum mengenakan jilbab bagi muslimah. 

Menurutnya, mengenakan jilbab bagi muslimah dan masih banyak orang yang keliru mengenai jilbab dan hijab. Ia pun mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Alquran jika memaknainya dengan tepat yaitu secara kontekstual, menurutnya. 

"Istilah jilbab dengan hijab itu beda sekali pengertiannya. Kalau jilbab itu untuk menutup kepala, hijab itu pembatas. Karena hijab itu pembatas, maka bahannya dari bahan keras seperti kayu dan sebagainya. Kalau jilbab itu barang-barang yang tipis seperti kain dan sebagainya. Itu saja sudah kesalahan," kata Sinta dalam video yang diunggah di kanal Youtube Deddy Corbuzier, Rabu (15/1/2020).

"Apakah semua orang Islam itu harus memakai jilbab? Tidak juga. Kalau kita mengartikan ayat dalam Alquran itu secara benar," kata Sinta. 

Senada dengan pernyataan ibunya, Inayah menegaskan ketidaksetujuannya apabila ada yang mangatakan bahwa orang yang tidak menutup aurat berarti belum menerima hidayah. Iapun mengatakan bahwa isteri-isteri ulama terdahulu (Nyai) atau isteri pendiri Nahdlatul Ulama (NU)  tidak memakai kerudung. Bahkan, pejuang perempuan RA Kartini pun tidak  berhijab. Makanya, apakah mereka juga disebut belum mendapatkan hidayah?

Pernyataan yang dilontarkan oleh Sinta Nuriyah dan Inayah Wahid ini tentu saja menuai kontroversi di kalangan masyarakat saat ini. Betapa tidak, apa yang dilontarkan oleh dianggap kekeliruan bagi sebagian besar masyarakat dan tidak sedikit masyarakat mengecam pernyataan tersebut. 

Dari beberapa pernyataan di atas kekeliruan-kekeliruan yang Nampak adalah; Pertama, mengatakan bahwa jilbab tak wajib. Kedua, kekeliruan dalam menafsirkan ayat Al-Quran. Ketiga, menjadikan perbuatan manusia sebagai tolak ukur dan hukum dalam melakukan suatu perbuatan. 

 Mengenakan jilbab adalah wajib bagi muslimah. Di dalam Al-Quran terdapat perintah untuk mengenakan jilbab. Sebab, ayat Al-Quran menyebutkan kata “jalaabib” yang merupakan bentuk jamak dari kata jilbab, sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah SWT:
“Yaa ayyuhan-nabiyyu qul li`azwaajika wa banaatika wa nisaa`il-mu`miniina yudniina 'alaihinna min jalaabiibihinn, żaalika adnaa ay yu'rafna fa lā yu`żaiin, wa kaanallaahugafụrarraḥiimaa”
Artinya:
”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al Ahzab [33] : 59).

Menurut Imam Al Qurthubi, Kata “jalaabiib” adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar). Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Adapula yang berpendapat bahwa jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Namun pendapat yang kuat adalah  jilbab itu merupakan baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Dalil di atas jelaslah menunjukkan kewajiban menggunakan jilbab.  Adapun selain mengenakan jilbab,  muslimah diwajibkan pula untuk mengenakan kain kerudung sebagaimana firman Allah
“..Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya… (QS. An-Nur 24: Ayat 31)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud “khimaar” adalah apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala (maayughaththa bihi arras`su). 

Tak hanya itu, pernyataan yang dilontarkan oleh Inayah Wahid adalah bentuk kesalahan. Sebab  suatu perbuatan  harus terikat kepada hukum syara yang bersumber dari Alquran , Hadits,  Qiyas dan Ijma’ sahabat.  Tidak boleh seseorang sekedar bertaqlid buta atau bahkan menjadikan kebiasaan atau tindakan seseorang sebagai dasar boleh atau tidaknya suatu perbuatan dilakukan. 

Selain itu, apa yang dikatakan oleh Shinta Nuriyah terkait menafsirkan Al-Quran secara kontekstual merupakan kesalahan pula. Sebab, dalam hal menafsirkan ayat Al-Quran tidak boleh sembarangan. Perlu diketahui bahwa secara istilah menurut Imam al-Zarkasyi, tafsir adalah pengetahuan yang digunakan untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Muhammad, pengetahuan tentang makna-maknanya, tentang bagaimana mengeluarkan hukum dan hikmah di dalamnya. Caranya dengan memahami ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Bayan, Ushul Fiqh, Ilmu Qiraat, Ilmu Asbabun Nuzul, dan Nasikh dan Mansukh.”.

Dilihat dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proses menafsirkan Alquran tidak boleh sembarangan dan tidak didasari dengan pengetahuan yang mumpuni. Inilah hal yang berbahaya yang dapat menjadikan kaum muslim keliru dalam memahami syariat islam,  yakni tindakan asal comot dan dalam mengambil sebuah dalil atau bahkan bebas mengotak-atiknya sesuai dengan tuntutan kepentingan baik itu kepentimgan pribadi atau kepentingan dari beberapa kalangan. 

Inilah salah satu dari sekian banyak dampak yang ditimbulkan dari sistem demokrasi dimana kebebasan berekspresi dijamin dalam sistem ini. Termasuk di dalamnya ialah penyebaran paham islam liberal yang sejatinya hanya mengaburkan dan menjauhkan masyarakat dari syariat islam.  Maka tak ada solusi lain untuk mengentaskan masalah ini kecuali hanya dengan kembali ke sistem islam dan menerapkan islam secara sempurna, sistem yang tak memberi ruang sedikitpun terjadinya penyebaran pemikiran dan opini sesat di tengah - tengah masyarakat
Wallahu A’lam Bish Shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post