Memeras Rakyat Melalui Kapitalisasi Tren Wisata

Oleh : NS. Rahayu

Wisata di akhir dan awal tahun makin digandrungi di tengah masyarakat, baik sebagai hiburan, pelepas stres dan melepaskan rasa ingin tahu. Tren wisata ini detiap tahun mengalami peningkatan, baik wisatawan lokal maupun Luar Negara. Wisata ini dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi destinasi wisata yang menarik.

Malang, Jawa Timur adalah salah satu destinasi wisata favorit bagi para wisatawan. Sebagaimana diberitakan oleh Tagar.id (26/12/2019) : bahwa menurut kepala UPT stasiun kota Malang  Iful Siswanto mengatakan bahwa berdasarkan catatanya jumlah penumpang sudah mencapai 7.991. Jumlah ini mengalami kenaikan 50 persen dibandingkan jumlah pada tahun 2018. Jumlah itu didominasi kereta jarak jauh. Dan akan terus bertambah menginggat liburan masih lama.

Bukan tanpa sebab wisata wilayah Malang dijadikan sebagai witasa favorit, hal ini tidak terlepas dari upaya keras Pemkot Malang berikut jajarannya untuk menyediakan wahana wisata, sarana pendukung dan aktivitas penopang lainnya,  yang tak kalah penting sebagai daya pikat. 

Diberitakan oleh republika.co.id, 26/12/2019 bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Malang mendorong kegiatan seni dan budaya dapat terus dilestarikan. Sebab, kegiatan tersebut dapat menjadi penopang wisata Kota Malang. Melalui Wali Kota Malang, Sutiaji menerangkan, akan menampilkan Malang Flower Carnival (MFC) yang baru mampu masuk dalam salah satu kalender nasional Kementerian Pariwisata (Kemenpar), membuka Festival Kios Jadoel Parade Boedaya Malang di Vila Bukit Tidar, Kota Malang Rabu (25/12).

Malang khususnya adalah gudang budaya bangsa. Malang termasuk miniatur Indonesia, bahkan dunia. Menurut Sutiaji, kolaborasi festival yang diadakan warga sangat tepat dan cantik. Tidak hanya paduan kesenian dan UMKM, tapi ragam budaya yang ditonjolkan. Mereka turut menyajikan kesenian yang berasal dari luar negeri seperti drum band dan Al-Banjari (sebagai bentuk akulturasi budaya).

Dan juga pemikat lainnya yaitu konsep wisata halal di Malang, sebagaimana iNews.id (26/12/2019)  memberikakan : Konsep wisata halal belakangan mulai digaungkan di berbagai daerah di Indonesia. Dengan tujuan menarik lebih banyak wisatawan muslim. Bahkan, konsep wisata halal ini mulai diterapkan di beberapa daerah termasuk Malang.

Wisata saat awal dan akhir tahun dijadikan sebuah paket menarik yang mendatangkan kapital dan menjadi daya tarik luar biasa semua pihak. Terutama para kapitalis yang membaca peluang ini. Hingga membungkusnya dengan konsep wisata halal, menginggat umat muslim yang dijadikan obyek untuk mendatangkan keuntungan bagi mereka. 

Sistem kapitalis sekuler ini telah memberi beban bagi rakyat hingga jenuh dan stres dengan seabrek permasalahan  sehingga di waktu tertentu mereka butuh menghibur diri untuk melepas stres. Namun tren wisata ini justru telah memeras kantong rakyat setiap saat, termasuk saat  liburan seperti ini, dimana obyek wisata mendapatkan  pemasukan besar dari rakyat yang masuk PAD (Pendapatan Asli Daerah). 

Disisi lain Negara abai menguatkan iman rakyatnya, sehingga kebutuhan akan hiburan saat liburan tidak lebih hanya sekedar hura-hura untuk kesenangan duniawi saja bukan sebagai upaya mempertebal keimanan.

Kapitalisasi Sektor Wisata
Sistem kapitalis sekular yang diterapkan Negara saat ini juga masuk ke ranah wisata sehingga semua lini yang mampu untuk mendapatkan keuntunganpun digarap. Pengembangan wisata halal sejalan dengan komitmen pemerintah menjadikan pariwisata sebagai sektor utama pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Republika.co.id memberitakan : Menurut  Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan besarnya potensi jumlah wisatawan muslim global yang berkunjung ke Indonesia menjadikan wisata halal menjadi sektor pendorong industri halal Indonesia. Dody menyebut pada 2020 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) muslim diproyeksikan mencapai 158 juta orang. 

"Ini berarti ada segmen pasar yang harus dikerjakan, apalagi Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia," ujar Riyanto saat Indonesia Halal Tourism Conference (IHTC) 2019 bertajuk 'Masa Depan Wisata Halal yang Lebih Baik dan Berkelanjutan sebagai Rahmatan lil Alamiin' yang menjadi rangkaian acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (15/11/2019).

Kapitalisasi  sektor wisata menjadi lahan subur meraup kapital  di tengah masyarakat yang butuh hiburan untuk melepas beban kehidupan. Wisata mempunyai nilai jual yang menggiurkan bagi para kapitalis karena ada pundi-pundi pemasukan yang besar. Hingga mengemas dan membungkusnya dengan istilah wisata halal (Islami) untuk menenangkan dan menyenangkan wisatawan muslim demi mempertahanakan segmen pasar yang dibidik, meski faktanya nafas sekulerlisme yang jauh dari aturan syariat Islam lebih mendominasinya. 

Wisata dalam Pandangan  Islam
Berbeda dalam Islam, wisata hukumnya adalah mubah (boleh) selama berada dalam ketentuan yang dibenarkan syariat Islam. Konstruksi Islam kaffah dengan Khilafahnya menangani obyek wisata bertujuan untuk semakin mendekatkan rakyat pada Allah, SWT tanpa ada pelanggaran Syariat (ikhtilat dan kesempatan untuk berkhalwat). Dan tentunya harus murah dan terjangkau, bahkan gratis.

Khilafah yang  membangun dan menyediakan tempat-tempat wisata murah bahkan gratis dengan tujuan untuk  menjaga aqidah dan keimanan masyarakat selain berfungsi sebagai tempat hiburan bagi masyarakat.  Sehingga akan disediakan fasilitas pendukung penjagaan aqidah dan keimanan. Tidak hanya dibangun masjid, tapi juga diberikan fasilitas wisata yang mengedukasi (mendidik), tempat-tempat untuk mentadaburi kebesaran Allah, SWT selama perjalanan wisatanya dan kemasan aktivitas yang sesuai ketentuan syariat Islam. 

Meski swasta juga boleh membangun tempat wisata terlepas dari yang telah disediakan negara namun tetap harus dalam ketentuan syariat Islam. Sehingga wisatawan dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari perjalanannya yang akan bermuara mempertebalnya keimanan seseorang. 

Sebagaimana firman Allh, SWT dalam TQS AlHajj ayat 46 :
 “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.

Tujuan wisata yang  tak kalah penting adalah sebagai wahana dakwah kepada para wisatawan baik lokal maupun manca negara. Sehingga wisatawan memiliki pengetahuan tentang Islam dan bahkan mampu merubah cara pandang bahwa Islam itu agama rahmatan lil’alamin dan kemudian berhijrah dalam Islam kaffah.

Islam adalah sistem (aturan) yang ketika diterapkan maka akan memberikan kemaslahatan ditengah kehidupan. Bahkan sektor wisatapun juga menjadi perhatian khilafah semata-mata untuk memberikan ruang rehat namun tetap dalam batas yang diperbolehkan syariat. Bukan untuk tujuan meraup materi. Dan hal ini hanya dapat terwujud ketika Islam diambil sebagai sebuah sistem dalam kehidupan. Wallahu’alam bi shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post