Korupsi Terpatri Dalam Demokrasi

Oleh : Ummu Areta
(Pemerhati sosial)

Kemarin baru saja kita disuguhkan berita korupsi yang terjadi di BUMN, Garuda, Pelindo, Pertamina, PLN, ASABRI, Jiwasraya berikut korupsi yang terjadi di tataran pejabat pemerintahan yang hingga kini pengusutannya belum juga tamat.

Tak berkesudahan, kasus korupsi terjadi pada tiap tataran. Mulai dari desa hingga pusat kota. Dari kelas teri hingga kelas kakap, pelaku korup terus beraksi dengan sigap.
Korupsi seakan mendarah daging, angka kasusnya terus meningkat tiada tanding. 
Sampai Juni 2019 lalu saja, tercatat ada 255 perkara korupsi yang pelakunya anggota DPR/DPRD. Sementara 110 perkara lainnya melibatkan kepala daerah.

Diberitakan kompas.com (08/01/2020) Bupati Sidoarjo, SaifuIlah dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sekitar 1,8 milyar uang haram yang didapati sebagai barang bukti dalam operasi tangkap tangan ini. Tak hanya Saifullah, tapi beberapa nama lain terseret dlm OTT serupa yang melibatkan partai penguasa. Adalah Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Penyelenggaraan Pemilu (KPU) dan Agustiani Tio Fridelia, anggota Bawaslu telah dijadikan tersangka. (Detik.com 14/01/2020). Mereka adalah pihak yang semestinya menjaga proses pemilu agar agar adil dan terpercaya namun ternyata berlaku korup juga.

Lantas apa sebenarnya yang membuat korupsi terjadi tanpa henti di negeri ini?, Benarkah korupsi semata terjadi murni karena ketamakan yang menari dalam dada masing-masing pribadi?

Menyimak pada sistem yang  diterapkan di negeri ini yakni sebuah sistem yang model pengelolalannya adalah model 'wani piro'. Sebuah model yang fokus pada orientasi kebebasan dan keuntungan yang tak mengenal haral-haram. Penguasa dan pengusaha saling berkolaborasi dalam hubungan simbiosis mutualisme, yang satu butuh kursi, sedang satu lainnya butuh uang untuk memuluskan. Suap/korupsi menjadi tindakan andalan demi mencari keuntungan meski rakyat dibuntungkan.

Tak lekang zaman, pelaku korup terus bermunculan. Para calon koruptor telah meniru apa yang dilakukan  senior/pendahulunya. Bagi mereka itu bukanlah sesuatu yang salah melainkan hal yang lumrah. Seseorang bisa sampai pada kursi kekuasaan, dibutuhkan dana yang sangat besar untuk kampanye, iklan, mengisi amplop serangan fajar kepada calon pemilih agar mau memilih berikut menyuap semua pihak yang bisa memuluskan jalan kemenangan sampai pada kursi kekuasaan . Itulah mengapa setiap pesta demokrasi dilangsungkan, milyaran rupiah milik rakyat dan milik para cukong politik  digelontorkan. Ketika menduduki kursi kekuasaan, akan berusaha mengembalikan uang yang telah di gelontorkan tadi dengan cara korupsi. Sedang urusan kemaslahatan rakyat? mana peduli! Rotasi benaknya hanya modal kembali dan memperkaya diri. Jikapun mereka tertangkap, tak jadi soal. Toh, sanksi yang diberikan tak sebanding dan sangatlah ringan. Bukan sebuah rahasia jika para
 terpidana tetap bisa menikmati fasilitas istimewa. Bahkan, masih bisa berwisata antar negara. Penegakan hukum semacam ini membuat negeri ini bak surganya para pelaku korupsi.

Lembaga pemberantasan korupsi yang menyatakan dirinya independen pun bahkan ditengarai turut bertindak korupsi. Ibarat "menggarami air laut" , pemberantasan tindakan korupsi yang dilakukan oleh KPK seakan percuma.
Demikianlah mekanisme/sistem 'wani Piro' yang berdiri di negeri ini. Dari masa ke masa pelaku korup senantiasa ada, jumlahnya berlipat ganda dan tak pernah mati gaya dalam mempraktikannya.

Berbeda dengan Islam, sistem Islam berdiri di atas landasan keimanan kepada Allah ta'ala sebagai satu satunya maha pengatur seluruh manusia dan alam semesta. Pengaturannya termanifestasi oleh negara/penguasa dan ditaati oleh individu-individu rakyatnya yang beriman dan bertakwa. 

Penerapan berlangsung secara kaffah  yakni pengaturan yang bebas dari kepentingan apapun dan terdapat jaminan kesejahteraan, keadilan dan keamanan bagi setiap individu rakyat. Sehingga, tak memungkinkan bagi mereka untuk bermain curang drakyatengan suap ataupun korupsi uang . Lebih dari itu masyarakat dalam sistem Islam ini tergiring hidup dengan budaya amar makruf nahi munkar yang dengan sendirinya menciptakan suasana keimanan terhadap Allah SWT. Secuil potensi penyimpangan dan kecurangan akan tercegah. Jikapun ada satu dua kasus terjadi, maka negara akan menerapkan sanksi yang dijamin sangat memberi efek jera pelaku sekaligus memberi efek takut bagi mereka yang hendak coba-coba. Sejalan dengan firman Allah dibawah ini :
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Maidah: 50)

Maka, hanya dengan kembali menerapkan hukum-hukum Allah yakni melaksanakan syariat secara kaffah, korupsi di negeri ini benar- benar  tercegah dan niscaya enyah. Sebaliknya dalam demokrasi  kejahatan korupsi kian terpatri.

Wallahu a'lambhishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post