Kedzaliman Sistem Pada Proyek KCIC

Oleh: Ummu Abror 
Ibu Rumah Tangga

Ibarat “sudah terjatuh tertimpa tangga pula,” sudah mengalami kerugian ditambah lagi dengan beban yang lebih berat. Begitulah kondisi yang dialami oleh warga yang mengalami penggusuran lahan proyek Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) di Kabupaten Bandung Barat. 

Dilansir dari Ayobandung.Com Warga sekitar proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) di Kampung Lebaksari, Desa Mekarsari, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB) menilai adanya pengerjaan proyek pemerintah itu merusak kondisi lingkungan sekitar. Mereka menilai selama pengerjaan proyek yang sudah berlangsung kurang lebih 7 bulan, menyisakan berbagai masalah lingkungan seperti polusi debu, kebisingan bahkan terbukti mengundang bencana banjir bandang di sekitar Underpass Padalarang. Enok (70) warga Rt 01 Rw 02 Kampung Lebaksari menilai sejak adanya proyek KCIC di sekitar rumahnya tidak memberi nilai positif pada warga sekitar. Polusi udara dari debu yang  berterbangan setiap hari menyebabkan pernapasan terganggu. Bukan hanya polusi udara, pengerjaan pengeboran yang dilakukan 24 jam juga mengganggu waktu istirahat warga. Dentuman bor raksasa kerap memekakkan telinga hingga terdengar radius 1 kilometer. "Itu kan ngerjainnya tengah malam juga, suara bor itu bisa terdengar ke rumah warga sejauh 1 kilometer. Apalagi saya hanya 20 meter dari lokasi pengeboran, tiap hari enggak bisa tidur nyenyak," ujarnya kepada Ayobandung.com, Jumat (17/1/2020). 

Pengerjaan proyek Kereta Cepat bernilai triliunan rupiah itu juga telah abai terhadap ekologi lingkungan sekitar Underpass Padalarang. Proyek tersebut telah merekayasa saluran air jadi lebih sempit agar truk besar dan alat berat bisa melintas. "Sebelum ada proyek saluran air itu lurus dan besar, tapi malah dibuat gorong-gorong kecil katanya supaya alat berat bisa melintas. Bilangnya sementara tapi malah di cor," ucapnya.

Proyek (TOD) merupakan penggabungan area residensi dan komersial dalam satu area yang didesain untuk memaksimalkan akses ke transportasi publik, sayangnya manfaat dari proyek ini tidak banyak dirasakan oleh masyarakat secara merata. Yang menjadi permasalahan adalah TOD ini akan mengalih fungsikan 340 hektar lahan pertanian, pastinya akan mengakibatkan lahan pertanian semakin  berkurang sehingga berpotensi kepada berkurangnya sumber pangan bagi masyarakat, tidak hanya itu daerah resapan akan semakin menyempit sehingga akan berdampak buruk bagi lingkungan seperti, bencana banjir yang tidak bisa dielakkan.

Seharusnya, setiap ada proyek pembangunan, pemerintah mengkaji terlebih dahulu serta menganalisis secara mendalam terhadap dampak lingkungan (AMDAL) yang mungkin terjadi, sehingga tidak mengakibatkan permasalahan baru di tengah-tengah masyarakat. 

Hal tersebut memang bukan merupakan hal yang aneh ketika yang diterapkan adalah sistem ekonomi kapitalis. Pengayom negeri semestinya berlaku adil dan tidak bertindak dzalim terhadap pemilik lahan, sekalipun proyek pembangunan tersebut konon katanya dibuat untuk sarana umum yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun semestinya tidak boleh mendzalimi masyarakat hingga terampas haknya. Dilakukannya penggusuran telah menjadikan lahan pertanian yang notabene merupakan mata pencaharian mereka, harus terpaksa dilepas dengan ganti rugi yang tidak sepadan.

Dalam sistem Islam membangun infrastruktur adalah hal penting dalam mengembangkan dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan untuk rakyatnya. Karena itu negara wajib membangun insfrastruktur yang baik, bagus dan merata ke pelosok negeri. Dasarnya adalah kaidah syara' 

"Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib." 

Kesejahteraan tidak akan terealisasi jika tidak terpenuhi sarana dan prasarana menuju kesejahteraan itu. Salah satunya adalah infrastruktur untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Karena itu adanya infrastruktur yang bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri menjadi wajib hukumnya. Kewajiban ini harus diwujudkan oleh negara.

Terdapat empat aturan umum terkait pembangunan infrastruktur publik dalam Islam. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara. Kedua, adanya kejelasan terkait kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat, juga kepastian jalannya politik ekonomi secara benar. Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam negara khilafah didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Keempat yaitu masalah pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana baitul mal, tanpa memungut dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena  kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.

Terkait dengan poin keempat yaitu masalah pembiayaan. Indonesia yang saat ini tengah gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur mengalami kendala dalam hal pendanaannya. Alokasi dana infrastruktur dalam APBN tidak bisa mencukupi keseluruhan dana pembangunan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam paket kebijakan ekonominya, pemerintah berupaya menambah pendanaan infrastruktur melalui penarikan investor-investor asing.

Persoalan dana pembangunan proyek infrastruktur termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi tidaklah akan menjadi masalah ketika sistem ekonomi yang digunakan oleh suatu negara adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus berhutang, termasuk untuk membangun infrastruktur transportasinya.

Pada zaman Khalifah Umar,  beliau memastikan pembangunan infrastruktur harus berjalan dengan orientasi untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk ‘izzah (kemuliaan) Islam. Jikalau negara harus bekerja sama dengan pihak ketiga, haruslah kerja sama yang menguntungkan bagi umat Islam. Bukan justru masuk dalam jebakan utang, yang menjadikan posisi negara lemah di mata negara lain/pihak ketiga.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi yang kapitalistik seperti sekarang ini yang berujung dan bertumpu pada investor swasta sehingga tidak hanya sibuk memikirkan berapa besar investasi yang diperlukan, dari mana asalnya tapi juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan investasi bahkan menanggung kerugian dari proyek tersebut. Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya sistem ekonomi yang salah, bahkan ini adalah sistem yang rusak.

Untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur yang bagus dan merata di seluruh negeri harus dibuat perencanaan keuangan dan pembangunan. Dengan itu pembangunan yang membutuhkan dana besar dapat dengan mudah dibangun tanpa melanggar syariah Islam sedikitpun (pinjaman hutang ribawi, misalnya), juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum Muslim di mata pihak ketiga/asing. Dengan demikian jelaslah hanya sistem ekonomi dan politik Islamlah yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi rakyatnya, dan sistem ekonomi dan politik Islam ini hanya dapat terlaksana secara paripurna dalam bingkai Khilafah Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw sampai masa pemerintahan kekhilafahan Utsmaniyah.  
Wallahu A'lam bisshawwab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post