Kasus Reynhard : Layakkah RUU P-KS Menjadi Solusi?


Oleh : Novita Sari Gunawan
Pemerhati Media dan Pegiat Literasi

Ryan Kobarri, Ketua Arus Pelangi (organisasi yang fokus dalam advokasi LGBT) menyatakan bahwa “Menganggap homoseksual adalah pelaku kekerasan merupakan stigma yang ada dan merupakan homophobia. Pemerintah Indonesia cenderung abai dalam membangun sistem untuk penanganan kekerasan seksual terbukti dengan RUU PKS yang belum disahkan."

Pada pernyataan lain, pegiat isu kekerasan seksual, Tunggal Pawestri menyampaikan bahwa reaksi masyarakat yang malah menyoroti orientasi seksual Reynhard menunjukkan sikap diskriminasi dan menjadi hal yang tak adil. (https://tirto.id/erci/2020/01/08)

Begitulah respon dari beberapa pegiat gender di Indonesia. Menanggapi isu Reynhard Sinaga, seorang WNI, kelahiran Jambi, beragama Kristen Protestan, yang sedang melanjutkan studi doktoralnya di salah satu universitas di Manchester, Inggris. Ia tengah menjadi sorotan dan namanya tercantum pada headline di berbagai surat kabar, sebagai predator terbesar di dunia.

Indonesia sebagai negeri yang menganut adat ketimuran, bahkan mayoritas penduduknya beragama muslim. Memandang LGBTQ merupakan orientasi seksual yang menyimpang. Terlebih lagi bagi kaum muslimin, mereka telah mafhum bahwa Allah Swt. mengecam keras terhadap pelaku aktivitas tersebut. Bahkan kisah kaum nabi Luth ini diabadikan dalam kitab suci Al-Qur'an.

Berbeda halnya dengan Reynhard, ia mendapat sanksi di negeri tempat ia tinggal untuk mengenyam pendidikan, bukan karena kesalahan orientasi seksualnya. Sebagaimana kita ketahui pandangan hidup barat yang melegalkan aktivitas LGBTQ. Tetapi sebab kekerasan seksual yang ia lakukan dan masuk pada kategori kriminal atau kejahatan.

Hal ini pun yang semakin menguatkan alasan bagi para pegiat gender di Indonesia untuk mendorong pemerintah segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Akan tetapi, apakah kasus-kasus kekerasan seksual bisa begitu saja dihentikan dengan solusi RUU P-KS yang mereka suarakan?

Mari kita telaah bagaimana kasus kekerasan seksual di barat, dimana barat sendiri sebagai pencetus UU Kekerasan Seksual sebagai solusi dari persoalan ini. Data dan statistik dari berbagai organisasi menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan di Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Statistik biasanya menunjukkan sejauh mana kejahatan tersebut dilaporkan kepada polisi, bukan dari jumlah yang sebenarnya terjadi. Menurut portal statistik yang berbasis di New York, Statista, kasus pemerkosaan di AS mencapai 99.856 pada tahun 2017, dengan angka nasional sebesar 30,7 kasus per 100.000 orang, .

Menurut Statista, negara bagian Alaska menduduki peringkat teratas dengan 116,7 kasus perkosaan yang dilaporkan per setiap 100.000 penduduk, diikuti oleh 70,6 di Michigan, 68,8 di Colorado, dan 68,4 di South Dakota.

Statistik dari Jaringan Nasional Pemerkosaan, Penyalahgunaan & Incest (RAINN), sebuah organisasi anti kekerasan seksual yang berbasis di Washington D.C., memilki kesimpulan yang lebih suram: kasus kekerasan seksual terjadi setiap 98 detik di AS.

Sekitar 80.600 tahanan, 18.900 personel militer, 60.000 anak-anak, dan 321.500 warga sipil menderita kekerasan seksual atau perkosaan di AS setiap tahun. Sebanyak 90 persen korban adalah perempuan, menurut RAINN.

RAINN juga mengungkapkan, bahwa satu dari setiap enam wanita Amerika telah menjadi korban perkosaan atau percobaan perkosaan dalam hidupnya.

Menurut kantor statistik Uni Eropa, Eurostat, pada 2015 polisi mencatat 215.000 kejahatan seksual. Dari angka itu, 80,000 kasus adalah pemerkosaan.
Swedia menempati urutan pertama dalam jumlah pelanggaran kekerasan seksual, dengan 178 kejahatan seksual yang tercatat per 100.000 penduduk.

Di tempat kedua adalah Skotlandia dengan 163 kasus per 100.000, Irlandia Utara dengan 156, Inggris dan Wales dengan 113 dan Belgia dengan 91.
Kasus perkosaan paling banyak dilakukan di Inggris dan Wales dengan 62 kasus per 100.000 penduduk dan Swedia dengan 57 kasus. Prancis juga berada dalam daftar dengan 35.765 kasus kekerasan seksual dengan 14.105 kasus pemerkosaan.
(www.aa.com.tr/2019/02/24)

Realitanya, kasus kekerasan seksual di barat tidak juga dapat diselesaikan dengan adanya UU Kekerasan Seksual tersebut. Ini membuktikan bahwa solusi yang ditawarkan oleh barat yang sedang dalam proses pengesahannya di Indonesia ini tidak berdampak signifikan terhadap problem ini. Perlindungan yang digadang-gadang oleh mereka hanyalah perlindungan semu.

Kekerasan Seksual merupakan masalah sistemik, yang membutuhkan solusi secara sistemik pula. Ibarat pohon yang rusak, tidak hanya mematahkan ranting-ranting yang kering dan memetik buah-buah yang busuk. Tetapi butuh perbaikan dari akarnya.

Sistem kapitalisme-sekulerisme, yang memproduksi ide kebebasan dalam sistem sosial menjadi biang kerok sesungguhnya atas problem ini. Dimana setiap insan dalam berperilaku pada pergaulan sosialnya tidak dibatasi dengan aturan. Setiap pilihan kehidupan sosial yang dijalani adalah otoritas dirinya sendiri.

Sistem ini memproduksi pergaulan bebas serta suburnya pornografi dan pornoaksi. Dan inilah yang menjadi faktor-faktor penyebab kekerasan seksual. Selama faktor-faktor tersebut tidak dihilangkan, maka kekerasan seksual akan terus bermunculan. Solusi dari 'kecerdasan akal' manusia hanyalah berujung pada solusi tambal sulam.

Seharusnya penanganan kekerasan seksual dilakukan secara preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif. Upaya preventif ini tidak akan bisa kita temukan dalam sistem kapitalisme-sekuler yang justru memfasilitasi faktor-faktor penyebab kekerasan seksual itu sendiri.

Penanggulangan bagi persoalan ini bahkan untuk semua penyakit sosial yang ada dalam sistem kapitalisme-sekulerisme saat ini, wajib dikembalikan kepada syariah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam negara khilafah. Dimana tiga pilar pelaksanaan syariah Islam, yaitu ketakwaan individu dan kontrol sosial sebagai upaya preventif serta penegakan hukum oleh negara sebagai upaya kuratif akan dilaksanakan oleh institusi ini.

1. Ketakwaan Individu

Ketakwaan individu adalah suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepada setiap umatnya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (QS at-Tahrim”. [66]: 6)

Dengan ini para shahabat selalu menghiasi diri mereka dengan ketakwaan individu dan senantiasa menyibukkan diri mereka dalam taqarrub kepada Allah bahkan Umar terkenal sebagai “singa di siang hari, namun rahib dimalam hari” jika ketaqwaan individu ini rusak maka rusaklah suatu masyarakat itu.

2. Kontrol Masyarakat

Masyarakat harus saling peduli antara satu dengan yang lainnya, hidup harus saling mengingatkan, menyerukan kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada kemungkaran agar menjadi umat yang terbaik dimata Allah swt.

‘’Perumpaan orang yang teguh menjalankan hukum- hukum Allah dan orang yang terjerumus didalamnya bagaikan kelompok orang yang berada didalam sebuah perahu. Sebagian mereka berada diatas dan sebagian mereka dibawah, adapun mereka yang dibawah bila memerlukan air minum, maka mereka harus naik keatas dan melewati orang-orang yang berada diatas, sehingga mereka berkata : “lebih baik kita lubangi saja perahu ini agar tidak mengganggu saudara-saudara kita yang berada diatas” , maka bila mereka yang berada diatas membiarkan niat orang-orang yang berada dibawah, niscaya binasalah mereka semua. Akan tetapi bila mereka mencegahnya maka akan selamatlah mereka semua”. (HR Bukhari)

3. Penegakan Hukum Syariah Oleh Negara

Pilar ketiga inilah yang sampai sekarang belum terwujud, karena saat ini sistem yang diberlakukan adalah sistem sekularisme dimana memisahkan antara agama dan kehidupan. Padahal sesungguhnya, peranan negara yang menerapkan syariah sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kejayaan Islam. Serta menjadikannya rahmat lil alamin. Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam hadisnya : “Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).

Inilah pola perbaikan sistemik sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah Swt sebagai Pencipta alam semesta dan seisinya yang paling memahami aturan apa yang layak untuk diterapkan bagi makhluk-Nya. []
Wallahu a'lam biashawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post