Kapal Perang Cina di Natuna: Bagaimanakah Kedaulatan Indonesia?


Oleh: Sofia Ariyani, S.S
Pegiat Opini dan Member Akademi Menulis Kreatif


Kekayaan alam Indonesia memang menarik perhatian dunia. Darat maupun laut, dari muka tanah hingga perut bumi. Tak ada yang tak tergiur oleh sumber daya alam  Indonesia. Bak gadis cantik yang menarik perhatian laki-laki yang melihatnya. Itulah penyebabnya mengapa sumber daya alam negeri khatulistiwa ini selalu diincar negara-negara lain. Salah satunya adalah laut Natuna. Selain kekayaan laut, perut bumi Natuna menyimpan cadangan minyak dan gas yang melimpah. Beragamnya biota laut serta minyak dan gas yang terkandung di dalamnya menjadi pendapatan negara dalam meningkatkan sektor ekonomi negara. Laut Natuna menjadi primadona bagi Indonesia, dan menjadi incaran negara lain. Maka tak ayal, laut Natuna yang berada di titik paling luar dan jalur strategis pelayaran internasional antara Vietnam, Kamboja, Jepang, Korea dan Cina ini diklaim oleh negara lain, yaitu Cina.

Beberapa waktu lalu kapal-kapal Cina masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif perairan Natuna. Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) mendeteksi kedatangan kapal-kapal asing ini sejak 10 Desember 2019 yang lalu. Meski TNI AL sudah melakukan upaya untuk mengusir kapal-kapal nelayan ini, mereka tetap kembali ke ZEE. Tak tanggung-tanggung Cina membawa serta kapal perang miliknya.

Sekitar 1.000 kapal asing diduga melewati Natuna per hari. Diketahui, masalah Natuna kembali memanas setelah sejumlah kapal Cina melintasi laut tersebut dan mengklaim bahwa itu bagian dari Laut Cina Selatan.
Data 1.000 kapal asing itu diperoleh melalui pemantauan Sistem Monitoring Skylight. Ini merupakan pemantauan dengan teknologi penginderaan jarak jauh, SAR, dan optikal. Sistem tersebut mampu mengidentifikasi kapal-kapal secara langsung dan platform yang dapat memperkirakan tindakan pelanggaran hukum sekaligus.

Cina bersikukuh mengklaim bahwa perairan Natuna adalah wilayah perairan tradisional Cina. Oleh karenanya Cina bebas memasuki dan mencuri ikan di Laut Natuna sudah sejak lama. Padahal jelas, konvesi UNCLOS (United Convetion on the Law of the Sea) menyatakan bahwa perairan Natuna masuk wilayah ZEE Indonesia.

Tak sekadar mencuri ikan tapi gas bumi pun diincar negeri tirai bambu ini. Dilansir oleh TEMPO.CO, Wilayah perairan Natuna, Kepulauan Riau, yang baru-baru ini diklaim Pemerintah Cina, ternyata memiliki potensi cadangan gas bumi dan minyak terbesar. Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher mengatakan, cadangan gas bumi di Natuna tercatat mencapai puluhan trillion cubic feet atau TCF.

"Potensi yang signifikan di Natuna ialah, saat ini ada di East Natuna ada sumber daya (gas) sekitar 46 TCF," ujar Wisnu dalam pesan pendek kepada Tempo, Senin, 6 Januari 2020.

Sejumlah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Cina nampaknya tidak dianggap serius pemerintah, meski memang negara mengirimkan sejumlah kapal TNI AL untuk mengusir kapal-kapal nelayan dan fregat milik Cina. Namun upaya tersebut sia-sia, kapal-kapal asing ini masih bebas keluar-masuk wilayah ZEE. Pemerintah justru bersikap lunak terhadap Cina. Hal ini tampak pada pernyataan Menteri Pertahanan Jenderal TNI (purn) Prabowo Subianto.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, Meski sudah ada pernyataan tegas dari pemerintah, Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto menilai bahwa China tetaplah negara sahabat. Hal itu disampaikan di hadapan awak media usai bertemu Menko Kemaritiman dan Investasi Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan di Kemenko Marves, Jumat (cnbcindonesia.com, 3/1/2020).

Apakah yang membuat penguasa bersikap lunak terhadap Cina? Padahal telah mencuri hasil laut Natuna bahkan merusak nine-dash-line yang ditetapkan UNCLOS.

Melunaknya sikap penguasa kepada Cina, lantaran Indonesia berutang kepada negeri tirai bambu sebesar Rp 239,55 triliun (kurs Rp 14.100). Mengingat sejumlah MoU telah diteken dua negara ini. Mulai dari pembangunan infrastruktur hingga impor tenaga kerja dan tenaga ahli. Indonesia tampak tak mampu action untuk menjaga kedaulatan negaranya karena jeratan utang yang membuat Indonesia tidak berkutik.

Lagi-lagi sistem kapitalisme yang membuat Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya terjebak perangkap negara-negara kafir.  Dengan berbagai kebijakan yang curang membuat negeri-negeri muslim seperti budak yang bertuan. Atas nama dana "hibah" akan tetapi negara tergadai tak mampu mengusir penjajah dari kedaulatannya sendiri. Mestinya hal ini menyadarkan masyarakat akan jahatnya sistem kapitalisme yang menyebabkan Indonesia terjajah. Wajah manis Cina dan negara-negara Barat adalah topeng untuk mengelabui mangsanya.

Masyarakat harus memiliki kepekaan politik dan mengetahui pola-pola penjajahan negara-negara asing. Tidak selayaknya pemerintah menghamba pada Cina. Dan seharusnya negara memiliki keberanian untuk memutus hubungan kerjasama dengan negara kafir manapun. Hanya dengan Islam negara tidak akan menjalin kerjasama dengan negara kafir. Karena dapat membahayakan kedaulatan negara, tak hanya sumber daya alam yang dicuri, hal yang lebih besar dari itu adalah terjajahnya negara.

Islam tidak hanya mengatur ranah ritual akan tetapi mengurusi segala aspek kehidupan, politik termasuk di dalamnya. Politik di dalam Islam pun bukan tentang perebutan kekuasaan, akan tetapi periayahan umat, menjaga negara dari rongrongan negara kafir, dan menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan tidak menjajah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post