Banjir Lebak, Akibat Alih Fungsi Lahan oleh Penambangan



Oleh: Merli Ummu Khila 
Kontributor Media, Pegiat Dakwah 

Sepekan sudah banjir melanda di Jabodetabek dan Lebak Banten. Di Lebak Banten ada  enam kecamatan yang terdampak banjir yakni Cipanas, Sajira, Lebakgedong, Curugbitung, Maja, dan Cimarga. Meskipun air mulai surut namun jumlah pengungsi semakin bertambah. 

Tidak terhitung lagi kerugian yang diderita warga yang terdampak. Ratusan rumah porak-poranda diterjang banjir bandang. Tidak ada harta benda yang sempat terselamatkan. Tidak hanya harta benda, bahkan banjir menelan puluhan nyawa yang tidak sempat menyelamatkan diri. 

Persoalan banjir menjadi masalah klasik yang seolah tidak bisa terselesaikan. Hampir setiap daerah menjadi langganan banjir saat musim penghujan tiba. Berbagai upaya dilakukan untuk menanggulangi banjir namun belum mampu menjadikan negeri ini bebas banjir. 

Jika ditilik lebih dalam, penyebab utama dari banjir adalah alih fungsi lahan yang berakibat menurunnya tingkat resapan air di hulu. Sehingga tidak mampu menampung curah hujan yang berakibat banjir dan longsor. Meskipun di hilir sudah maksimal memperbaiki drainase dan normalisasi sungai, jika persoalan hulu tidak terjamah maka akan sia-sia. 

Seperti banjir bandang yang terjadi di Lebak Banten, diduga terjadi karena adanya penambangan. Baik penambangan ilegal maupun penambangan legal, keduanya sama-sama menyumbang kerusakan lingkungan. Selain itu adanya penebangan hutan juga menjadi penyebab rusaknya lingkungan, sebab air hujan menjadi kehilangan tampungan. 

Namun sangat disayangkan jika pemerintah hanya menyalahkan penambangan liar yang dilakukan masyarakat. Padahal munculnya penambang liar justru karena adanya pertambangan yang berizin. Keduanya berpotensi menyebabkan banjir. 

Seperti dilansir oleh CNN Indonesia, kamis, 09/01/2020, Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan selain keberadaan penambang ilegal, di kawasan TNGHS itu terdapat sejumlah perusahaan yang memegang izin pertambangan.

Selain izin usaha pertambangan, kata Merah, kawasan TNGHS yang berada di wilayah Banten dan Jawa Barat itu juga terdapat rencana Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Proyek Panas Bumi ini antara lain, WKP Gunung Endut, WKP Cibeureum-Parabakti, dan WKP Cisolok Sukarame.

"Jangan pilih-pilih musuh. Giliran WKP ada di situ, tambang legal Antam ada di situ, tambang lain ada di situ, enggak disebut. Karena dia punya izin. Jangan ditutup-tutupi," kata Merah kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/1).

Ketika keserakahan pengusaha yang memanfaatkan penguasa demi memuluskan usaha mereka mengeruk tanah untuk mengambil hasil bumi sebanyak mungkin. Maka akan ada  konsekuensi, yang harus diterima masyarakat karena kerusakan yang ditimbulkan. 

Seharusnya pengolahan hasil bumi harus dikuasai oleh negara yang hasilnya untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. Namun, kenyataannya kekayaan alam negeri ini dikuasai oleh asing. 

Selama kedaulatan di tangan manusia, maka wakil rakyat terpilih dan pemangku kekuasaan akan menjadi legislator. Peraturan yang dibuat pun cenderung berpihak pada kepentingan tertentu. Tidak menutup kemungkinan ada deal-deal politik dengan pengusaha sebelum terpilih. 

Dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang bisa menyejahterakan rakyat dan tidak dalam kendali asing. Sebuah sistem yang bersumber dari  Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sistem paripurna yang mampu menjawab semua problematika kehidupan. Sistem Islam yang memilih pemimpin yang harus tunduk patuh pada hukum  syara` bukan pada aseng dan asing. Saatnya membangun negeri dengan sistem yang diwarisi Rosullullah Saw yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.

Dengan adanya sistem yang bersumber kepada hukum-hukum Allah Swt, permasalahan bencana alam seperti banjir ataupun longsor bisa dihindarkan sebab tidak ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang menimbulkan kerusakan.

Maka adanya khilafah adalah suatu keniscayaan. Wallahu a`lam bish ashowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post