Banjir dan pembangunan kapitalistik

Oleh: Ana Mardiana

Pada awal tahun 2020 ini, Indonesia telah berduka. Hingar bingar malam perayaan tahun baru 2020 diakhiri dengan terjadinya bencana banjir di wilayah Jabodetabek. Termasuk di Jawa Barat dan di Banten dan di daerah-daerah lain. 

Banjir menjadi sebuah fenomena yang dianggap biasa terjadi bahkan semakin parah setiap tahunnya. Sayangnya, walaupun Indonesia sudah berulang kali menghadapi banjir, banjir masih belum teratasi hingga kini. Pemerintah sudah berupaya dengan memperbaiki prolem-problem dari faktor tehnik dengan membuat bendungan baru, kanal baru, atau membeli pompa baru. Problem-problem itu memang niscaya  harus diselesaikan. 

Sesungguhnya banyak faktor sebab terjadinya banjir seperti bertambahnya jumlah penduduk yang tentu saja akan memambah volume sampah rumah tangga, kurangnya kesadaran masyarakat terahadap kebersihan lingkungan. Banjir pun bisa terjadi karena curah hujan yang tinggi dan tidak terserapnya air oleh tanah. Curah hujan merupakan siklus alami yang terjadi, untuk memodifikasinya, ia pun bisa direkayasa dengan teknologi. Sedangkan tidak terserapnya air oleh tanah merupakan akibat dari tidak adanya tanaman yang tumbuh pada tanah tersebut. Lahan atau tanah  yang seharusnya  menjadi tempat penyerapan air hujan telah di alihfungsikan, diganti dengan dibangunnya gedung-gedung tinggi, swalayan, perumahan mewah, pembangunan insfrastruktur dan sebagainya. 

Mencermati persoalan banjir di Jabodetabek, Jawa Barat, Banten dan di daerah-daerah lain yang terdampak, jelas terlihat masalahnya tak sekedar air. Curah hujan yang tinggi memang membuat debit air meluap. Tapi tidakkah hal tersebut terjadi setiap tahun di musim hujan? Apa yang membuat tiap tahunnya tampak semakin parah akibatnya?.

Harus disadari soal banjir berarti soal sistemis. Yaitu mnyangkut orientasi kebijakan yang selama ini dianut. Ke arah kemaslahatan publik atau justru untuk kepentingan individu maupun swasta.

Tak dipungkiri selain air, ideologi kapitalisme sejak lama membanjiri  negeri ini. Buahnya jelas terlihat, pembangunan negara dijalankan seperti halnya perusahaan swasta yang profit-oriented. Berupaya sebesarnya untuk mencari keuntungan, bila perlu dengan modal sekecil-kecilnya.

Bagaimana dengan AMDAL? Selamat tinggal. Sebab bila tak demikian, proyek bisa terancam gagal total.  Terbukti Kementerian ATR/BPN tengah mengkaji penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) (cnbcindonesia, 29/11/2019).

Pembangunan kompleks industri dan gedung perkantoran serta infrastruktur secara brutal-apalagi bila AMDAl jadi dihapuskan- akhirnya menyebabkan rendahnya persentase ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air. Wajar bila rawan banjir. Singkatnya, masalah banjir di Jabodetabek, Jawa Barat, Banten dan daerah-daerah lain yang terdampak terkategori sistemis-ideologis. Buah dari kapitalisme yang abai pada lingkungan. 

Menarik menyimak pendapat dari Fahmi Amhar, profesor riset Badan Informasi Geospasial (BIG). Ia mengatakan jika banjir terjadi karena insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Tetapi jika banjir itu selalu terjadi, berulang dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik. Jika banjir terjadi secara sistemik, dapat selesai dengan bendungan baru, pompa baru, kanal baru dan lain-lain maka itu sistem-teknis.

Namun, jika itu menyangkut tata ruang yang tidak dipatuhi, kemiskinan yang mendorong orang menempati sempadan sungai, keserakahan yang membuat daerah hulu digunduli, sistem anggaran yang tidak adaptable untuk atasi bencana, pejabat yang tidak kompeten dan abai mengawasi semua infrastruktur, dan sebagainya. Maka itu sudah terkait dengan sistem-non teknis. Sedangkan sistem non-teknis kalau saling terkait dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa semua ini agar diserahkan pada mekanisme pasar (baca kapitalis neolib) dan proses demokratis, maka persoalannya sudah ideologis.

Benarlah apa yang disampaikan Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar. Bercermin dari upaya meditasi dan mitigasi bencana banjir yang direncanakan. Faktanya, sering kali dikalahkan oleh kepentingan para penguasa dan pengusaha yang tamak. Ratusan hektar tanah yang disiapkan untuk waduk dan penampungan air hujan. Mendadak berubah menjadi apartemen, mall, perkantoran dan perumahan mewah. Alhasil, ketika curah hujan tinggi, banjir pun melanda.

Dari sisi ideologis, penting bagi penguasa untuk bermuhasabah, bahwa banjir yang terjadi merupakan teguran. Mengingat banyaknya kezaliman dan kemungkaran yang terjadi atas negeri ini. Sebab diterapkannya sistem sekularisme-kapitalisme yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan dan menjadikan materi sebagai tujuan.


Akibatnya, seluruh nikmat yang diberikan-Nya atas negeri ini berupaya sumber daya alam yang melimpah, tidak dikelola secara benar. Alih-alih untuk kesejahteraan rakyat, sebaliknya dirampok habis-habisan oleh para kapitalis asing dan aseng. Negara pun tidak mengurus rakyatnya dengan benar. Sebab negara lebih melayani kepentingan para kapitalis daripada melayani kepentingan rakyat.

Jelas, banjir bukan sekadar bencana alam. Tetapi juga akibat kebathilan, kemungkaran dan kezaliman yang terjadi atas negeri tercinta. Sehingga menimbulkan kerusakan di tengah manusia. Di satu sisi, banjir sejatinya menjadi pesan cinta Sang Pencipta. Agar para penguasa segera membuang jubah kesombongannya. Dan bersegera menuju ampunan Allah Ta’ala yang seluas langit dan bumi. Kemudian bersegera menerapkan syariah-Nya secara kaffah agar hidup menjadi berkah.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka terpisah-pisah.” (TQS. Ar-Rum [30]:41)

Post a Comment

Previous Post Next Post