Bahagia Tidak Sederhana?

Oleh:  Fatimah Shidqia 
(Revowriter Palembang) 

Tidak asing lagi di telinga sebuah kalimat bijak "Bahagia itu sederhana", untuk mengungkapkan betapa mudahnya mendapatkan kebahagiaan. Sesederhana menyunggingkan senyum menyaksikan bocah - bocah bermain. 

Bahagia itu sederhana, adalah hikmah yang dapat diambil oleh orang-orang yang pandai bersyukur. Mendorong seseorang untuk tidak kufur nikmat, senantiasa berpikir positif, dan mengambil hikmah kebaikan di balik segala peristiwa dan keadaan yang menimpa. 

Dengan kata-kata bijak ini, setiap kondisi apapun dapat menghantarkan kepada kebahagiaan. Sekadar bermain bersama anak, walau dengan permainan yang sederhana atau hal-hal lain yang dianggap sepele, namun bisa membuat bibir tersenyum dan tertawa lepas. Hal itu sudah bisa dikatakan bahwa bahagia itu sederhana. 

Entah dari mana asal-muasal ungkapan ini. Memang tidak ada yang salah dari kalimat bijak ini. Sebab bahagia bisa bermakna luas, terlebih lagi bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah. Bagi mukmin, segala sesuatunya akan menghantarkan kepada kebahagiaan ketika hatinya senantiasa terpaut kepada Allah SWT. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, 
"Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruh urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Bagi orang yang beriman, ia senantiasa berprasangka baik kepada Allah, ridho terhadap qodho, bersyukur dan tawakkal terhadap Allah. Maka hidupnya akan bahagia. 

Namun di sisi lain, sesungguhnya Rosulullah memberikan maklumat tentang ukuran kebahagiaan. 
"Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang : istri yang sholehah, tempat tinggal yang lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang : tetangga yang jelek, istri yang tidak sholehah, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit. "(HR Ibnu Hibban) 

Merujuk pada hadits tersebut, alangkah banyaknya umat Rosulullah SAW yang tidak terpenuhi kebahagiaannya saat ini. Jangankan tempat tinggal yang lapang, untuk kebutuhan pangan pun masih banyak yang kesulitan. Diberitakan masih ada 22 juta penduduk yang kelaparan. Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok yang mencekik. Membuat kehidupan menjadi sempit. 

Bagaimana dengan pasangan yang sholih/sholihah? Kisah tragis banyak dialami keluarga di negeri ini. Bahkan tidak hanya sekali didapati tindak kriminal menghabisi nyawa pasangan sendiri. Mengerikan memang, tapi ini realita. Apalagi tetangga yang baik, sifat individualis hampir ditemukan di seluruh lapisan masyarakat. 

Apa sejatinya yang menyebabkan kebahagiaan sebagaimana digambarkan Rosulullah tersebut sulit tercapai? Ya. Apalagi jika bukan sekularisme, memisahkan agama dari urusan kehidupan. Aturan agama diabaikan. 

Sekularisme membidani lahirnya masyarakat kapitalis yang individualis, berbuat atas asas manfaat semata. Wajar bila saat ini sulit ditemukan lingkungan masyarakat yang 'guyub', gotong royong, saling peduli dan membantu. Semua berjalan atas asas manfaat, tolong menolong terjadi bila dirasa ada manfaat. Harapan meraih kebahagiaan dengan adanya tetangga yang baik pun seakan sirna. 

Sekularisme melahirkan kebebasan. Kebebasan bertingkahlaku mampu menggerus sakralnya mahligai rumah rangga. Tidak lagi saling memahami hak dan kewjiban suami istri. Akhirnya KDRT tak dapat dihindari. Kebahagiaan dengan adanya pasangan yang sholih/sholihah menjadi sulit diraih. 

Kebebasan lain yang juga dijunjung tinggi pada sistem sekular ini adalah kebebasan kepemilikan. Kebebasan ini membuka peluang pada siapapun untuk memiliki apapun, tanpa batas. Alhasil, kesenjangan ekonomi tidak bisa dihindari. Kekayaan hanya dimiliki segelintir orang (kaum kapital), sementara sisanya diperebutkan sekian banyak orang. Pada akhirnya, kebahagiaan dengan adanya tempat tinggal yang lapang dan kendaraan yang baik ibarat jauh panggang dari api. 

Oleh karena itu, wajarlah bila sistem hari ini sudah selayaknya diganti. Tak ada harapan kebahagiaan selama berpegang pada sistem sekular. Sebab sekularisme pada dasarnya telah cacat sejak lahir. Meniadakan agama dalam urusan kehidupan sudah pasti meniadakan kebahagiaan. Sebab pada fitrahnya manusia itu terpaut dengan Tuhan-nya. 

Menepikan aturan Sang Pencipta tentu akan menjauhkan cinta dan keberkahan dari-Nya. Maka kebahagian pun menjauh. Tidak ada pilihan lain bagi manusia, di penjuru bumi manapun, tak terkecuali penduduk negeri ini untuk segera kembali pada aturan Ilahi, agar kebahagiaan hakiki dapat diraih. 

Islam adalah aturan paripurna dari Sang Pencipta. Islam menjamin kebahagiaan bagi siapa saja yang berpegang teguh pada syariaatnya, kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Terlebih bagi umat Islam, bukankah pada setiap pamungkas doa selalu memanjatkan permohonan kebaikan (kebahagiaan) dunia dan akhirat? Maka pantaslah bagi umat Islam menjalankan sebab-sebab terkabulkannya doa dengan melaksanakan perintahNya (syariat Islam) secara kaffah. 

Post a Comment

Previous Post Next Post