Tinta Merah Tahun 2019, Cukupkah Hanya Mengganti Rezim?

Oleh : Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Manis seperti gulali, itulah istilah janji manis Jokowi saat kampanye. Baru seumur jagung Jokowi memimpin bangsa Indonesia pada  periode kedua ini. Justru terus menjadi sorotan, kritikan tajam tak berhenti mengalir pada Istana. Pasalnya, janji manis kampanye tak semanis realisasi. Atas nama proses menuju program terbaiknya, Jokowi seolah ingkar janji. Tak heran demonstrasi menagih janji kerap membanjiri ibu pertiwi.

Janji Jokowi dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan adalah isapan jempol semata. Pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan lebih dari 7 persen, nyatanya tak bergerak diangka 5.  Perekonomian lesu, daya beli masyarakat terjun bebas. Sebab, insentif yang diterima dari pekerjaannya tak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. 

Lebih mengenaskan, gelombang PHK yang dilakukan sejumlah industri telah melahirkan pengangguran baru. Tingginya biaya produksi dan pajak yang menjerat, telah menggulung pabrik yang bertahan dalam ketidakstabilan rupiah. Begitupun impor pangan yang tak memperhatikan produksi dalam negeri. Menyebabkan para petani hengkang dari pekerjaannya. Daripada bertani selalu rugi, lebih baik tanahnya dibiarkan dan mencari pekerjaan baru. Celakanya, mencari pekerjaan baru sungguh sulit di negeri ini. Para petani harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang keberadaannya dipermudah oleh sejumlah kebijakan.

Hasilnya, meningkatnya pengangguran akan beriringan dengan tingginya angka kemiskinan. Kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di negeri ini, telah melahirkan 22 juta orang kelaparan  dan 7 juta anak stunting atau gizi buruk (m.detik.com, 7/11/2019). Sungguh memilukan, padahal makanan adalah kebutuhan paling asasi pada manusia. Semakin bertambah kepiluan ini, di saat jutaan orang tak bisa makan sehari tiga kali, bahkan ada yang hanya 2 hari sekali. Namun, pada saat yang sama negara menganggarkan 147 triliun untuk pengadaan mobil mewah. Sungguh tak mengenal prioritas.

Kemiskinan pun akan menyuburkan kriminalitas. Kehidupan di alam kapitalisme bak hutan rimba. Siapa yang kuat dialah yang mampu bertahan. Tak peduli usahanya merugikan manusia lain, yang penting bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan pun tak dibedakan dengan keinginan. Sehingga, terus menumpuk harta agar segala keinginannya tercapai dan menyentuh kata bahagia versi mereka. Begitulah mayoritas penduduk Indonesia.

Bagaimana dengan yang cacat dan yang tak mempunyai pendidikan juga keterampilan? Mereka harus siap kalah dan tergilas. Sebab, ekonomi neolib tak pernah mengurusi kemaslahatan rakyat. Neolib hanya mengurusi kemaslahatan konglomerat. Jikapun ada kebijakan yang seolah pro rakyat, seperti Kartu Pra Kerja  Jokowi. Yakinlah  itu hanyalah kebijakan populis yang mengandung pencitraan.

Bagaimana dengan janji keadilan? Penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang dijanjikan saat kampanye, nyatanya hingga kini belum selesai. Hukum bak rumah bordil, siapa yang berpengaruh dialah yang memegang kendali. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hukum dikangkangi kepentingan politik. Lihat saja grasi yang dikeluarkan presiden terhadap para koruptor. Namun, untuk Abu Bakar Ba’asir yang ditangkap dengan tuduhan yang tak jelas, tak ada ampun.

Begitupun pasal 28 ayat 2 terkait dengan UU IT. Pasal karet ini telah menjerat manusia-manusia yang lantang menyuarakan kebenaran. Buni Yani, Alfian Tanjung, Asma Dewi dan masih banyak lagi. Namun, lihatlah mereka yang merapat pada penguasa. Walaupun mereka menista agama, hingga kini mereka masih leluasa bergrak. Sebut saja Ade Armando, Abu Janda, Sukmawati, Gus muwafiq, kesemuannya tak tersentuh hukum walau ketentuan pasal 156a KUHP tentang pelecehan agama berlaku.

Kabinet baru sibuk mengurusi radikalisme. Dalam pidato pelantikan menteri barunya, Jokowi meminta dengan khusus Menko Polhukam dan Menteri Agama untuk menangani masalah radikalisme. Akhirnya, diawal kepengurusannya, Mahmud Md. sibuk mengurusi pancasila. Sementara itu, Menteri Agama sibuk memantau masjid, majlis ta’lim sampai Paud/TK, khawatir terpapar radikalisme katanya. 

Nyatanya, radikalisme hanya dijadikan kambing hitam atas bopengnya kepengurusan negeri ini. Gurita korupsi semakin menjadi. Penjarahan sumber daya alam yang dilakukan asing adalah legal di mata hukum Indonesia. Akhirnya, sumber pendanaan APBN sebesar-besarnya dari pajak. Kembali rakyat yang harus menanggung. Infrastruktur yang masif dilakukan, nyatanya hanya untuk kepentingan korporasi bukan kepentingan rakyat. Buktinya, jalan tol masif dibangun. Namun, bangunan sekolah dan jembatan yang hampir ambruk di desa tak terperhatikan.

Demokrasi Biang Keladi, Islam Solusinya

Dari kegaduhan yang amat brutal di akhir tahun ini, satu hal yang pasti yaitu semua adalah akibat rezim yang tak berfungsi sebagai pelindung rakyat. Mereka lebih takut pada para cukong-cukong yang telah menghidupi mereka daripada Allah Swt. Syahwat dunia telah membutakan mata dan nurani mereka.

Mengapa negeri ini terus menerus memproduksi penguasa yang lalim? Sudah bosan rasanya mendengar anggota dewan korupsi. Terlibat narkoba dan seabrek tingkah mereka yang merugikan negara. Belum lagi ditambah pemimpin yang kebijakannya malah merugikan rakyat. Subsidi dicabut. Kebijakan impor saat panen. Diam-diam menaikan tarif dasar listrik. Mengimpor tenaga kerja asing, padahal rakyat masih banyak yang menganggur. Akhirnya kemiskinan, kelaparan, gizi buruk menjadi tontonan sehari-hari. 

Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, kezaliman demi kezaliman dan kedurhakaan demi kedurhakaan pun terus terjadi. Persekusi ulama dan kriminalisasi ajaran Islam, terutama ide jihad dan khilafah berlangsung kian masif. Label radikal dan teroris dengan mudah dilekatkan pada mereka yang kerap mengkritisi pemerintah dan lantang menyerukan perubahan ke arah Islam kafah. Bisa disimpulkan demokrasi ibarat kolam kotor. Sehingga siapa saja yang berusaha membersihkannya dari dalam, secara otomatis akan terkena kotoran tersebut. 

Sesungguhnya, demokrasi itu sebuah sistem rusak dan merusak. Mari berpikir out of the box. Masih ada sistem pemerintahan lainnya. Sistem yang langsung dibuat oleh Sang Pencipta, sistem pemerintahan yang dapat menerapkan syariat Islam dengan kafah.

Oleh karena itu, jika kita tak menginginkan Indonesia menemui akhir nestapanya, maka tak cukup hanya sekadar ganti rezim. Sebab, rezim buruk yang selalu menghantui negeri ini adalah produk dari sistem demokrasi. Jadi, harus pula diganti sistemnya dengan sistem yang sesuai fitrah manusia yang berasal dari Allah semata. Semoga tahun ini adalah tahun terakhir masa kelam negeri ini. Mari songsong kemenangan dalam meraih keberkahan dengan menerapkan syariat Islam secara kafah. Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post