Politik Ekspansionis China melalui proyek BRI

Oleh : Nur Aznizah Binti Amir 
(Koor. BMIC Samarinda)

Tahun 2020 menjadi awal pembangunan ibu kota baru yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Dilansir oleh CNN Indonesia, Nicko Herlambang, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Penajam Paser Utara mengatakan bahwa pembangunan ibu kota negara dijadwalkan akan dimulai konstruksinya pada tahun 2020. Jumat (15/11) dikutip dari Antara. Dalam hal ini, Badan Pengkajian dan penerapan Tekonologi (BPPT) menyatakan diri akan berperan besar dalam pembangungan Ibu Kota dengan berkontribusi dalam mengembangkan teknologi Early Warning System sebagai upaya mewujudkan kota yang bersahabat dengan lingkungan hidup, disamping turut mengupayakan pengimplementasian teknologi masa depan seperti transportasi, IT, pengeleloaan sampah, air, energy dan lainnya. Disisi lain, pembangunan ibu kota negara dengan konsep Smart City datang dari Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Kabinet Indonesia Maju Johnny G.Plate. Johnny mengatakan akan menyiapkan infrastruktur teknologi informasi komunikasi (TIK) di calon ibu kota yang berlokasi di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Ditambah dengan Bappenas yang berencana membuat ibu kota baru menjadi Forest City (Kota Hutan).
Total dana pemindahan ibu kota dibutuhkan sekitar Rp 486 triliun, dimana 54,6% dari total dana ini atau Rp 265,2 triliun akan dipenuhi melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). 

Secara skematik, KPBU membuka ruang selebar-lebarnya kepada investor dalam rangka menciptakan iklim investasi yang mendorong partisipasi Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur. Kebutuhan pendanaan penyediaan infrastruktur akan dicukupi melalui pengerahan dana swasta yang berlangsung secara berkelanjutan. Sehingga, prinsip pakai-bayar oleh pengguna, nantinya akan menjadi kebijakan pasti dalam rangka pengembalian investasi. Dari dana tersebut, rinciannya sungguh mencengangkan karena swasta menapaki porsi setengah dari skema KPBU yaitu 26,2% atau jika dinominalkan mencapai Rp 127,3 triliun. Proyek yang akan dibangun adalah seperti perumahan umum, perguruan tinggi, bandara, pelabuhan, jalan tol, sarana kesehatan, dan pusat perbelanjaan. Sisanya, pemerintah akan mengucurkan dana sebesar Rp 93,5 triliun atau 19,2% dimana ia berasal dari APBN. Dana ini dialokasikan pada proyek pembangunan infrastruktur istana negara, rumah dinas pegawai negeri sipil (PNS), pengadaan lahan, ruang terbuka hijau, dan pangkalan militer.

Besarnya dana yang dibutuhkan dan tingginya tuntutan pembangunan infrastruktur dalam proses pemindahan ibukota ini dinilai menjadi alasan kuat pelejitan kerjasama bilateral antara pemerintah dengan asing. Pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-22 ASEAN-RRT di Impact Exhibition & Convention Center, Bangkok, Thailand, Minggu (3/11/2019), Jokowi dengan lantang mengusulkan kerjasama Indo-Pasifik. Jokowi menegaskan ASEAN terbuka untuk bekerjasama dengan Republik Rakyat Tiongkok dalam kerangka ASEAN Outlook on Indo-Pasific, yang salah satunya memfokuskan kerja sama konektivitas dan infrastruktur. Jokowi mengatakan bahwa sinergi Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) 2025 dan Belt and Road Initiative (BRI) menjadi sebuah keniscayaan. “Pada bulan Juni lalu, ASEAN telah mengesahkan ASEAN Outlook on the Indo-Pasifik. Outlook ini medorong seluruh negara di kawasan ASEAN untuk mengedepankan kolaborasi dan menanggalkan rivalitas” kata Jokowi. 

Belt and Road Iniative (BRI) sendiri atau lebih dulu dikenal dengan proyek OBOR (One Belt One Road) merupakan jalan tempuh pemerintah pusat dalam membangun Ibu kota negara. Proyek ini bertujuan untuk membangun jalur infrastruktur darat, laut, dan udara secara besar-besaran dalam rangka meningkatkan jalur perdagangan dan ekonomi antar negara di Asia dan sekitarnya. Negara berkembang menjadi sasaran empuk proyek ini, bahkan Presiden Xi Jinping mengklaim bahwa 150 negara telah ikut BRI, termasuk Indonesia. Dana yang digelontorkan China dalam proyek ini sebesar USS1550 Miliar atau setara Rp 2.137,6 triliun per tahun, dimana dana tersebut bisa dipinjam negara peserta program/ proyek BRI ini untuk membangun infrastruktur. The Center for Global Development, lembaga think tank Amerika menyatakan bahwa biaya pembayaran utang dari proyek ini terkategori berat bagi negara-negara berkembang, sehingga ia akan mengancam dan merusak stabilitas keuangan negara tersebut. Hal inilah yang mengindikasikan adanya jebakan hutang China, dimana ia mengekang dan menjajah negara dengan lilitan utang sebagai jalan untuk bisa memilki asset atau tanah di berbagai negara.

Besarnya dana pembangunan ibu kota negara menjadi peluang besar bagi China untuk mensukseskan agenda BRI nya. Pinjaman modal dari proyek ini menjadi sasaran pemerintah dalam menyumbangkan pendanaan pembangunan ibu kota serta merealisakan IKN impian menteri-menterinya. Pada faktanya berharap pada APBN pun tidaklah mampu, untuk 2018 saja APBN sudah diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp 296 Triliun.  Justru pembiayaan anggaran lebih besar diarahkan pada pelunasan utang yang tidak kunjung usai, yaitu sebesar Rp 359,3 Triliun. Prinsip pakai-bayar KPBU menunjukkan keberpihakan negara terhadap badan usaha asing harus dibiayai oleh rakyatnya sendiri. Itulah mengapa, jika diamati semua pengalokasian dana KPBU dialokasikan pada infrastruktur umum dan sosial, sedangkan APBN yang sumber pendapatan terbesarnya pajak dialokasikan pada infrastruktur pemeirintahan. Hal ini agar masyarakat menerapkan prinsip pakai-bayar tersebut. Sehingga pengembalian investasi tadi secara tidak langsung dibebankan kepada masyarakat pengguna, sedangkan pemerintah tidak dibebankan hal tersebut. 

Carut marutnya masalah pemindahan ibu kota melalui kerjasama OBOR/BRI milik China merupakan bentuk State Capitalism ala China untuk menguasai dunia dengan debt trap (Jebakan utang). Salah satu kasus debt trap adalah yang dialami Sri Lanka  sebagai negara peserta OBOR yang gagal bayar. Sebagai konsekuensi atas ketidakmampuan membayar kredit maupun bunga dari pembangunan infrastrukturnya dengan total biaya USDS 1.2 Milyar, maka pemerintah Sri Lanka membuat perjanjian  dengan pemerintah Cina berupa ekuitas pelabuhan dengan menyerahkan lahan untuk disewa selama 99 tahun kepada Cina. 

Berkaca dari sinilah, seharusnya Indonesia mulai membuka mata bahwa kerjasama bilateral demikian dalam rangka pembangunan ibu kota justru membuka peluang besar bagi China untuk mendikte pemerintah Indonesia yang implikasinya terhadap kedaulatan Negara. China sebagai negara pengemban ideologi yang memiliki visi besar menguasai dunia, tidak akan menyia-nyiakan peluang pembangunan ibu kota Indonesia. 

Sudah seharusnya Indonesia sebagai salah satu negeri islam terbesar mengoreksi kesalahan paradigma yang dijadikan asas pengadaan kerjasama bilateral dengan negara yang jelas-jelas ingin menguasai dunia dengan paradigm kapitalisnya. Islam menstandari bahwa kemerdekaan suatu negara hanya jika ia terbebas dari penghambaan pada ideology kapitalisme maupun sosialis. Negara dikatakan independen ketika ia mampu mandiri dalam politik dalam dan luar negerinya. Pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi berasaskan islam mampu menghadirkan atmosfer kesejahteraan yang dilingkupi kemajuan teknologi dan infrastrukturnya. 

Dunia telah menyaksikan kondisi Ibu Kota Negara Khilafah dan kota-kota besarnya di era peradaban Islam. Sebagaimana yang terlihat pada Cordoba, Baghdad, dan Turki di era tersebut. Akses terhadap berbagai hajat hidup umum begitu mudah didapatkan tanpa adanya prinsip pakai-bayar. Semua yang tercermin di ibu kota negara Khilafah dan kota-kota besar di era peradaban Islam merupakan cerminan kecermerlangan Islam yang lahir dari ideologisya yang shahih dan berbagai paradigma, serta konsep yang terpancar darinya. [NA]

Post a Comment

Previous Post Next Post