Marak Tik Tok : Liberalisasi Merusak Generasi

Oleh : Intan Ayu Agustin 

Gara-gara main Tik Tok di rel, kaki (K), remaja berusia 11 tahun itu remuk terlindas kereta rel listrik rute Bandara Soekarno-Hatta, persisnya di daerah perlintasan sebidang, Jalan Menteng Jaya RT 9 RW 8, Kecamatan Menteng, Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat.
Kala itu, (K) bersama temannya asyik nongkrong dan memainkan aplikasi ponsel Tik Tok di perlintasan sebidang.

"Mereka lagi nongkrong di rel, kemudian ada kereta bandara lewat mau langsir," kata warga setempat, dikutip dari suara.com, Sabtu (2/11/2019). Ketika itulah, kereta bandara datang. Korban sempat lari berusaha menghindar, namun kakinya tersangkut pada bantalan rel.

Tik Tok atau disebut Douyin di Cina, merupakan aplikasi yang kini memiliki lebih dari 1 miliar pengguna aktif di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang terbesar. Ia adalah aplikasi video musik lip-sync berdurasi 15 detik, dengan bantuan facial recognition. Sebagaimana tertulis di Play Store, Tik Tok dirilis oleh Bytemod, perusahaan yang didirikan pada Juli 2016 dan bermarkas di Singapura. Ada pun Bytemod merupakan bagian dari ByteDance, Perusahaan Teknologi asal Cina yang didirikan pada 2012. Merujuk laman resmi mereka, ByteDance kini telah menjangkau 40 negara di seluruh dunia dengan nilai valuasi yang ditaksir mencapai $11 miliar, sebagaimana ditulis Forbes.

Sungguh ironis. Di saat umat membutuhkan peran para pemuda sebagai penerus peradaban mulia, kini generasi muda malah asyik dengan aplikasi-aplikasi yang melalaikan bahkan menimbulkan celaka.

Padahal generasi millenial adalah generasi 'melek' Teknologi. Kecanggihan teknologi saat ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang positif bagi kemaslahatan umat. Adanya sistem komputerisasi dan digitalisasi yang semakin canggih, hendaknya dapat dijadikan sarana bagi para pemuda untuk dapat memberikan kontribusi dan menuangkan berbagai ide dan kreativitas untuk melakukan strategi dakwah ke tengah-tengah umat. Negeri kapitalis neoliberalisme dengan asas sekularisme yang diembannya, memisahkan antara aturan agama dari kehidupan (Fashluddin 'anil hayah). Pemuda sebagai korban sekularisme larut dalam kesenangan duniawi karena ditawarkan berbagai aplikasi yang melalaikan, dan jauh dari akidah Islam. Saat ini faktanya generasi muda masih terjajah. Terjajah gaya hidup liberal dan sekular. Gaya hidup berdasarkan 'trend' sudah menjadi nafas kehidupan generasi muda masa kini. Jika tak memiliki benteng akidah, tentunya mereka akan terus tersesat. Masa muda yang seharusnya dipakai untuk sebanyak-banyaknya mencari ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama, malah dijadikan saat-saat mereguk nikmat duniawi yang sesaat dan menghabiskan waktu melakukan hal tak bermanfaat. Padahal, jika kita menyibukkan diri dalam ketaatan dan kesibukan di jalan Allah SWT, maka kelak di akhirat kita akan memetik hasilnya. Dan sebaliknya, apabila kita lalai terhadap urusan akhirat, dan sibuk dengan permainan dan senda gurau di dunia, maka kita pun akan merugi, baik di dunia maupun akhirat.
Allah SWT berfirman :

Ø®َسِرَ الدُّÙ†ْÙŠَا ÙˆَالْآخِرَØ©َ Ø°َÙ„ِÙƒَ Ù‡ُÙˆَ الْØ®ُسْرَانُ الْÙ…ُبِينُ

“Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj 22: 11)

Gempuran penjajah asing lewat hal-hal yang berbau 'Fun' ini diwujudkan dalam aplikasi-aplikasi lip-sync seperti Tik Tok, LIKE, Vigo Lite, MadLipz, Kwai Go, MuStar, Dubsmash, dll. Menjamurnya aplikasi-aplikasi seperti ini karena negara dengan sistem sekular liberal memiliki peranan sebagai pintu gerbang komprador Asing, yang pada akhirnya sangat 'welcome' dan tak ada proteksi terhadap negeri sendiri.

Tik Tok sendiri sebenarnya sudah pernah diblokir pada tahun 2018 lalu, karena ada konten berbau pornografi dan rentan diakses anak di bawah umur. Tetapi Faktanya, setelah berbagai 'perundingan' pihak korporasi dengan Kominfo, tak lama setelah itu, blokir dibuka kembali. Aplikasi Tik Tok ini merupakan aplikasi yang paling banyak penggunanya yakni lebih dari 10 juta pengguna di Indonesia. Tak ayal, penjajah asing kebakaran jenggot saat aplikasi Tik Tok sempat diblokir. Karena mereka tidak mau kehilangan pundi-pundi uang nya. Kini Tik Tok kembali meracuni generasi muda dan menjebak dengan racun berbalut 'Fun' yang ditawarkan penjajah. Derasnya arus aplikasi seperti ini dikarenakan bebasnya korporasi-korporasi asing untuk masuk menancapkan taring kekuasaannya di dalam negeri. Aplikasi-aplikasi ini nyatanya meraup keuntungan sebesar-besarnya lewat para pengguna. Sadar ataupun tidak, maraknya para pengguna aplikasi Tik tok, memberikan sumbangsih keuntungan yang besar bagi penjajah aseng. Geliat raksasa digital dibalik korporasi-korporasi Asing mengeruk untung sedemikian besar di dalam bumi pertiwi. Harusnya, negara peduli terhadap generasi muda, sehingga aplikasi-aplikasi tak bermanfaat dan tak berdaya guna seperti ini tidak diloloskan untuk memasuki negeri. Sebaliknya, negara harusnya mendidik generasi millenial dengan memberikan berbagai aplikasi dan penggunaan teknologi yang positif, mencerdaskan, serta berdaya guna bagi generasi muda.

Ia adalah Zhang Yiming. Miliarder dibalik kesuksesan Tik tok. Dilansir dari economy.okezone.com, Perusahaannya, ByteDance, menjelma menjadi raksasa teknologi dunia hanya dalam enam tahun. Mengantar kekayaan bersihnya mencapai USD4 miliar pada usia 35 tahun. Sistem kapitalis neoliberalisme, memuluskan jalan para komprador Asing dan Aseng ini untuk menjalankan bisnis moncer di dalam negeri. Dan sasaran empuknya tentu saja generasi millenial. Maka, kita sebagai seorang muslim tidak boleh terperdaya dengan aplikasi tak bermutu dan tak bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Jangan hanya sekedar membebek untuk ikut ikutan 'trend' biar dianggap tidak ketinggalan jaman. Justru sebaliknya, mesti cerdas memanfaatkan teknologi untuk kepentingan dakwah umat Islam. 

Faktanya, ilmu Sains dan Teknologi lahir di masa keemasan Islam (The Golden Age). Dan barat pun nyatanya berhutang budi pada Islam. Bahkan, Bernard Montgomery, seorang yang pernah menjadi Panglima Angkatan Darat Inggris mengatakan, tanpa Islam, barat bukan apa-apa. 

Berkembangnya ilmu pengetahuan serta teknologi di dunia Islam telah membuat para pemikir barat berdecak kagum. “Pencapaian terpenting di abad pertengahan adalah terciptanya semangat eksperimental yang dikembangkan peradaban Muslim,” tutur Bapak Sejarah Sains, George Sarton dalam bukunya The Introduction to the History of Science.

Juga Dalam pendahuluan buku 'Teknologi dalam Sejarah Islam' , karangan Ahmad Y. Al-Hassan dan Donald R Hill mengutarakan tujuh faktor kemajuan sains dan teknologi Islam. Ketujuh faktor itu adalah agama Islam, pemerintah yang berpihak pada ilmu pengetahuan, bahasa Arab, pendidikan, penghormatan kepada ilmuwan, maraknya penelitian, dan perdagangan internasional.
Dengan demikian, menggunakan dan memanfaatkan teknologi harus sesuai dengan hukum Syari'at Islam. Kecanggihan ilmu dan Teknologi harus dipakai untuk kebutuhan dakwah dalam rangka memperjuangkan kemuliaan Islam. Bukan untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagi Agama. 

Maka, sudah saatnya kaum muslimin bangkit dari kemunduran perilaku akibat sistem sekular liberal perusak generasi. bangkit menuju peradaban mulia, yaitu kemuliaan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Karena hanya Islam yang mampu membawa umat dari kegelapan menuju cahaya terang benderang.

Wallahu'alam bisshowwab

Post a Comment

Previous Post Next Post