Lemahnya Libas Korupsi

By : Halimah Ummu Nabila
Lumajang Jatim

Tanggal 9 Desember adalah Hari Antikorupsi sedunia. Bagaimana kabar pemberantasan korupsi di Indonesia?Tagar #koruptor62makinkuat sempat menjadi trending topic twitter pada Ahad, 8 Desember 2019. Wajar tagar ini viral sebagai bentuk protes netizen terhadap sikap pemerintah yang seolah melindungi koruptor. 

Coba bayangkan, tersangka kasus suap proyek Meikarta, Bartholomeus Toto, meminta perlindungan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri (Tempo.co, 6/12/2019).

Sebelumnya, masa hukuman Idrus Marham yang semula lima tahun dikurangi menjadi dua tahun penjara (jawapos, 3/12/2019). Mantan Dirut Bank Century Robert Tantular justru bebas bersyarat setelah mendapat remisi 77 bulan (detik, 20/12/2018).

Apa yang ditunjukkan pemerintah melindungi koruptor ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi hanyalah slogan. Padahal korupsi di Indonesia sudah pada level darurat. Transparency International Indonesia merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2018 berada di peringkat ke-89 dari 180 negara dengan nilai 38 poin. Padahal seharusnya IPK indonesia diatas 50 poin (okezone, 17/8/2019).

Kasus suap oleh Wali Kota Malang Moch Anton yang melibatkan 41 anggota DPRD Kota Malang menjadi bukti bahwa eksekutif dan legislatif kongkalikong melakukan korupsi.

Sementara yudikatif yang diharapkan bisa memberi sanksi yang menjerakan justru menjadi pelaku korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengindikasikan bahwa pengadilan atau cabang kekuasaan yudikatif sedang dalam kondisi darurat korupsi. Ketika tiga pilar demokrasi semuanya menjadi subjek korupsi. Luar biasa.

Memang pemilihan penguasa dalam demokrasi sangat mahal. Kini dengan pemilihan langsung hingga tingkat daerah membuat biaya pemilihan makin tinggi. Korupsi pun makin subur. Akibatnya, negara rusak karena korupsi.

Jika ingin menyelamatkan negara dari korupsi, sebaiknya pemerintah berpikir serius tentang sistem apa yang efektif memberantas korupsi.

Tentu agama apapun tidak ada yang menghalalkan korupsi. Terlebih dalam agama Islam. Islam menjadikan halal-haram sebagai standar perbuatannya. Memahami setiap jabatan adalah amanah yang berat pertanggungjawabannya. Hal ini mencegah terjadinya politik uang yang memicu tindak korupsi.

Mekanisme pemilihan kepala negara dalam sistem Islam sangat sederhana. Tidak ada batas waktu masa perintahannya. Kecuali sudah melanggar syariat atau meninggal dunia. Waktu pemilihan pun hanya tiga hari, sehingga murah dan tidak memberi ruang waktu untuk suap/risywah. Pusat pemberantasan korupsi dalam Islam terletak pada sikap tegas penguasa, termasuk pada keluarganya sendiri.

Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw.. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra.,

“Rasulullah saw. berkhotbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan, namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah, maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketegasan yang sama juga ditunjukkan para khalifah sesudah Beliau saw.. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menyita tanah-tanah yang dikuasai secara tidak sah oleh Bani Umayyah dan menyerahkan pada yang berhak atau mengembalikannya ke baitulmal untuk dikelola demi kemaslahatan rakyat.

Sistem Islam/khilafah adalah sistem yang baik dan menyejahterakan. Termasuk dalam mengatasi korupsi. Keberadaannya pun banyak dalil yang mendasarinya. Sehingga tidak ada alasan untuk dituding radikal. 

Post a Comment

Previous Post Next Post