Kisah Pedagang Madu dari Baduy

Oleh : Dwi Agustini 
(muslimah Bandung Timur)

Sabtu pagi yang cerah saya sudah sampai di rumah orangtua. Kami mengobrol seperti biasanya. Ketika sedang asik ngobrol, tiba-tiba ada tamu yang ternyata tetangga temen bapak. Sambil menunggu bapak ganti baju, kami ngobrol tentang anak bapak tersebut yang sukses. Rumahnya di kawasan elit arcamanik dan bekerja di salah satu bank milik pemerintah. Dengan bangganya bapak tersebut menyebutkan harga rumah yang ditempati anaknya, saya tersenyum.
Tiba-tiba di teras rumah, ada yang mengucapkan salam. Saya pikir, teman  bapak yang lain, karena rumah bapak biasanya tempat ngumpul tetangga, saudara atau anak-anak kecil yang ikut main. Ternyata saya salah. Awalnya saya sempat kaget ada pemuda berbaju hitam tinggi besar memakai cincin batu ali berjejer tiga, kalung yang berbentuk naga dan ular, gelang tangan dari kayu dan kulit harimau. Yang tidak kalah bikin kaget saya adalah orang tersebut  tidak memakai alas kaki. Pemuda tersebut mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang terbuat dari akar-akaran yang berisi botol-botol berwarna coklat tua. Dengan logat sunda yang tidak familiar, dia menawarkan madu dan fotocopyan kertas dilaminating tapi sudah lusuh tentang khasiat madu. 
Saya bertanya asalnya, dia menjawab, "kami mah ti baduy luar", sambil mengeluarkan ktp dan ternyata dia memang orang baduy. Pantaslah penampilannya seperti itu. Setelah terjadi tawar menawar, satu botol madu kecil pun saya beli. Tak lupa, kami tawarkan minuman untuk sang pemuda karena ia akan kembali menjajakan madunya. 
Sambil minum, pemuda Baduy itu bercerita sudah tiga hari di Bandung. Ia dan teman-temannya dari Baduy ke Bandung naik kereta dan membawa 10 botol madu. Saya tanya tidur dimana? Ia jawab, "Di mesjid agung, dijukut hees ngeunah teu karasa tiris teu disimut ge, da isuk isuk euweuh imbunan. Da di kota mah ayeuna mesjidna dikoncian jadi teu bisa hees dijero mesjid" (Di mesjid Agung, di rumput, enak ga kerasa dingin walau ga diselimuti, karena pagi-pagi ga ada embun. Di kota sekarag mesjidny dikunci jadi ga bisa tidur di mesjid). Saya jadi kasihan, terus saya nanya udah makan belum a? Dia jawab sudah diberi ibu yang punyawarung deket mesjid. 
Saudara saya bertanya di Baduy sedang musim apa. Dia jawab, Baduy sedang kemarau. Makanya ia dan teman-temannya berjualan madu ke Bandung dengan lama perjalanan 7 jam, demi mencari peruntungan siapa tahu ada sedikit rejeki yang bisa dibawa pulang.
Masyaallah. Inilah salah satu potret kesungguhan dalam mencari rezeki. Yakin bahwa Allah sang Pemberi Rezeki. Tak khawatir ia tentang tempat istirahat, tak khawatir juga dengan rezeki makannya. Walau keyakinan menghujam, tapi tetap ikhtiar optimal. Malulah wahai diri, yang berpendidikan lebih tinggi dari mereka tapi masih suka mempertanyakan ketetapan Nya. Astagfirullah. 
Wallahu'alam bish showab

Post a Comment

Previous Post Next Post