Hanya Islam yang Mampu Memberantas Praktik Korupsi di Tubuh Aparatur Negara

Oleh : Nuni Toid
Ibu Rumah tangga dan Member Akademi Menulis Kreatif 

Saat ini rakyat dihebohkan oleh berita rencana pengangkatan seorang warga Indonesia yang penuh kontroversi. Siapa lagi kalau bukan sosok yang sudah sangat kita kenal di dunia perpolitikan. Dia adalah mantan narapidana dan mantan Gubernur DKI Jakarta. Mantan suami Veronika Tan ini seperti kejatuhan bulan. Setelah menghirup udara kebebasannya, Ahok, demikian nama panggilan akrabnya akan mendapat kedudukan yang vital di negeri ini. 

Dilansir oleh CCNIndonesia.com, Sabtu, 23/11/2019, Menteri BUMN Erick Thohir telah menunjuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero).  Sesuai fungsi dan tugasnya, Ahok akan mengawasi direksi dalam menjalankan perusahaan, termasuk memberi nasihat.

Masih di laman yang sama. menurut pengamat BUMN sekaligus peneliti Senior Visi Integritas Danang Widoyoko, posisi eks Gubernur DKI Jakarta tersebut kurang memberi keleluasaan dalam mengatur BUMN sektor migas. Harap maklum, kewenangan Ahok hanya sampai pada tingkat kebijaksanaan. "Menurut saya pribadi, hanya akan terasa lebih kalau dia (Ahok) yang mengeksekusi langsung," ujar Danang.  (CCNIndonesia.com, Jumat, 22/11/2019)

Padahal Danang menilai, Ahok memiliki kemampuan lebih dari sekadar komisaris utama. Ahok, lanjut dia, sosok ideal sebagai eksekutor bisnis Pertamina. Namun demikian, ia mengapresiasi keputusan Erick menempatkan Ahok di jajaran komisaris.
Hal senada pun disampaikan Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal. Apalagi pengawas kinerja direksi perusahaan belum berjalan optimal.

Pengangkatan Ahok sebagai pejabat Pertamina ditentang publik, karena alasan perombakan pejabat BUMN adalah untuk membersihkan mafia dan sejenisnya. Sementara Ahok bermasalah akibat kasus dugaan penggelapan lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Hal ini dengan bukti banyak kalangan yang merasa keberatan dengan pengangkatan mantan Gubernur DKI Jakarta ini.

Direktur Eksekutif Indonesia Resouces studios (Iress) Marwan Batubara menilai sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tak akan mampu memberantas mafia di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab menurutnya, untuk memberantas mafia di BUMN diperlukan sosok yang bersih, sedangkan Ahok mempunyai rekam jejak yang buruk. "Kalau mau menyapu halaman secara bersih, gunakan sapu yang bersih, tapi kalau sapu belepotan banyak kotoran, ya tidak bisa, "ujar Marwan di Jakarta, Kamis (21/11/2019). 

Masih di laman yang sama, Marwan menilai masih ada kasus dugaan korupsi yang menyandung Ahok saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, salah satunya yakni kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. "Kalau Ahok diduga belepotan berbagai kasus korupsi, saya duga justru banyak orang yang lebih terkontaminasi atau bahkan ada dugaan melanggengkan mafia yang ada, "kata Marwan. 

Sebenarnya alasan politiklah yang melatarbelakangi penunjukkan Ahok. Hal ini bisa memperburuk kepercayaan umat terhadap penguasa karena seringnya mengabaikan aspirasi rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Bhima Yudhistira (peneliti Institute For Development of Economies and Finance) menilai Ahok dipilih bukan untuk memperbaiki kinerja bisnis perusahaan BUMN. "Masa orang yang enggak punya kapasitas di BUMN, enggak punya track record di bisnis bagian migas yang benar-benar mumpuni tiba-tiba dicaplok gitu saja pasti pertimbangannya bukan ekonomi, tapi politik." 

Bhima pun menjelaskan bahwa ada empat kriteria yang harus dipunyai seseorang jika ingin menjadi petinggi di BUMN besar seperti Pertamina, di antaranya:
1: Orang tersebut harus berintegritas
2: Tak pernah tersangkut permasalahan hukum
3: Tak terafiliasi dengan partai politik
4: Harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. 
Karena nanti BUMN akan bersentuhan dengan unit usaha lain, swasta, investor, kreditur, itu tentu akan dibutuhkan pola komunikasi yang baik. Jadi komunikasi yang baik juga bisa menjamin karyawan loyal dan punya satu visi yang sama dengan pimpinan.

Di zaman ini, dimana yang berperan adalah kapitalisme-sekuler maka sah-sah saja untuk menunjuk seseorang meskipun mempunyai rekam jejak yang buruk, Di antaranya, tersandung kasus penggelapan lahan RS Sumber Waras, mantan narapidana karena perbuatan menistakan  agama, dan mungkin masih ada hal lain lagi yang belum terungkap. Seharusnya dengan melihat itu semua, orang tersebut sudah tidak layak untuk dipilih atau diangkat menjadi pejabat negeri ini. Karena jelas telah hilang kriteria kelayakan sebagai pemangku jabatan. Namun hal itu tidak berlaku dalam sistem ini. Ditambah kedekatan dengan penguasa, sehingga sangat mulus melenggang di kancah perpolitikan.  Korupsi seolah dilegalkan dalam sistem rusak ini  dan semakin masif berkembang dalam tubuh pemimpin-pemimpin negeri ini.

Rakyat pun lambat laun  mulai hilang kepercayaan  kepada penguasa. Namun rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Apabila ingin sekadar berpendapat bahwa kebijakan yang dibuatnya itu salah, maka penjaralah yang akan menjadi tempat hunian mereka. Walaupun kebebasan berpendapat dijamin, tapi itu tak berlaku bagi rakyat biasa, dan  hanya untuk orang-orang yang menjadi formalitas saja. 

Agama pun hanya dijadikan sebagai pajangan. Ketika akan memberi sanksi atau hukuman kepada pejabat yang korupsi, maka cukup di penjara sekian tahun dan akhirnya mendapat grasi kebebasan dari penguasa. Setelah menghirup udara kebebasan, kembali memangku jabatan tertentu dan melakukan lagi praktik korupsi. Karena  mereka merasa kebal hukum karena mendapat perlindungan oleh sistem yang mendukungnya. Begitu pun dengan pemberian sanksi dan hukuman sangatlah lemah dalam memberantas praktik korupsi yang terjadi di lembaga negeri ini.

Berbeda dengan Islam. 
Islam merupakan agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk urusan pemerintahan. Adapun pemerintahan Islam dalam hal ini adalah khilafah yang akan membersihkan praktik korupsi yang terjadi pada tubuh lembaga pemerintahnya dengan membuat sebuah aturan yang ditetapkan oleh khalifah, antara lain:

1. Negara khilafah memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

2. Dalam pengangkatan aparaturnya, khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesional. Dengan begitu mereka memilki self control yang kuat. Dalam hal ini Allah Swt.  berfirman: 

"Wahai orang-orang yang beriman! bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan" (TQS al-Hasyr [59]: 18).

3. Untuk mengetahui apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, khilafah menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka khilafah bisa mengambilnya (merampasnya)
Allah Swt. berfirman dalam surat al-Fajr: 14 yang artinya:

"Sungguh Tuhanmu benar-benar mengawasi."

4. Amanah, setiap aparatur negara wajib memenuhi syarat amanah, yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Firman Allah Swt.:

"Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanah-amanah dan janjinya."(TQS al-Mu'minun: 8)

5. Khilafah juga menetapkan hukuman yang keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Itulah cara bagaimana Islam membersihkan praktik korupsi di tubuh lembaganya. Hal ini pernah terjadi di kekhalifahan Umar bin Khattab. Beliau membuat kebijakan agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka  beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. 

Beliau juga mengangkat pengawas khusus yaitu Muhamad bin Maslahah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Dan berdasarkan laporannya, maka khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubernur Bahrain), Amru bin Ash (Gubernur Mesir), Nu'man bin Adi (Gubernur Mesan), Nafi' bin Amr al-khuzai (Gubernur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya beliau juga melarang para pejabat berbisnis agar tidak ada konflik kepentingan.

Agar tercipta kehidupan yang sejahtera, jauh dari praktik korupsi, suap-menyuap dan kecurangan, maka sudah saatnya kita berjuang bersama-sama untuk menerapkan aturan Islam secara kafah dengan menegakkan sebuah daulah yang berdasarkan manhaj kenabian. 

Wallahu a'lam biashawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post