Stunting dan Ketahanan Pangan Nasional



Oleh : Mariyatul Qibtiyah, S.Pd 
Akademi Menulis Kreatif

Hari Pangan Sedunia atau World Food Day diperingati setiap tanggal 16 Oktober. Namun,  di Indonesia, pelaksanaannya akan digelar pada bulan November 2019 di Kendari, Sulawesi Tenggara. Menurut Plt Kepala Dinas Kominfo Sultra, Syaifullah, seperti dilansir Antara, penundaan penyelenggaraan acara ini menunggu selesainya pelantikan Presiden Jokowi pada tanggal 20 Oktober. Tema hari pangan sedunia tahun ini mengangkat “Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045” atau "Our action are our future, healthy diets #zerohungerworld". (tirto.id, 03/10/2019)

Diangkatnya tema ini, memang sangat tepat. Pasalnya, saat ini banyak terjadi bencana kelaparan di dunia. Kelaparan juga masih menjadi salah satu isu yang menghantui Indonesia. Menurut Global Hunger Index 2018, Indonesia dinilai memiliki masalah kelaparan yang serius yang memerlukan perhatian lebih. Dalam laporan tersebut, lembaga nirlaba Welthungerhilfe dan Concern Worldwide menghitung indeks global kelaparan berdasarkan empat indikator. Indikator itu di antaranya adalah kasus kurang gizi dari populasi penduduk, stunting pada anak usia di bawah 5 tahun, kematian anak di bawah usia 5 tahun, dan anak usia di bawah 5 tahun yang tidak dirawat dengan baik. Adapun indeks kelaparan di Indonesia mendapat skor 21,9. Ini berarti, kelaparan di Indonesia pada tingkat serius yang harus ditangani. (katadata.co.id, 23/01/2019)

Dengan mengatasi bencana kelaparan, akan mencegah terjadinya bahaya yang lebih besar, yakni buruknya sumber daya manusia yang salah satunya disebabkan oleh stunting.

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak. Saat ini, stunting masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Stunting banyak dialami oleh anak-anak dari keluarga miskin. Kemiskinan itu  menyebabkan buruknya kesehatan dan gizi ibu, pemberian makan dan perawatan yang tidak tepat pada anak sejak lahir. Menurut Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K), Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik FKUI/ RSCM, stunting tidak hanya mengakibatkan tubuh pendek, namun juga menurunkan IQ anak hingga sebelas poin.

Merujuk pada hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting di Indonesia mencapai 30,8 persen. Untuk mencegah stunting, pemerintah melakukan beberapa hal, di antaranya adalah meningkatkan produksi pertanian untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi. (beritagar.id, 25/01/2019)

Dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan, Ketahanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 

Tiga pilar dalam ketahanan pangan yang terdapat dalam definisi tersebut adalah ketersediaan, keterjangkauan  secara fisik maupun ekonomi, dan stabilitas ketersediaan dan keterjangkauan. Apabila ketiga pilar ketahanan pangan terpenuhi, maka masyarakat atau rumah tangga tersebut mampu memenuhi ketahanan pangannya masing-masing.

Sayangnya, kondisi itu belum mampu diraih. Kondisi perekonomian yang sulit membuat harga barang-barang kebutuhan pokok terus meroket. Sementara, penghasilan masyarakat tidak bertambah. Daya beli masyarakat semakin rendah. Maka, masyarakat pun tidak mampu menjangkaunya.
Masalah ini diperberat dengan semakin luasnya alih fungsi lahan. Dari lahan pertanian menjadi lahan perindustrian atau perumahan. Dengan semakin berkurangnya luas lahan pertanian, hasil pertanian pun semakin berkurang.
Belum lagi masalah distribusi bahan pangan yang belum merata. Ketidakmerataan ini bisa terjadi karena transportasi yang kurang memadai. Di samping itu juga sumber-sumber bahan pangan yang terpusat pada satu atau dua daerah saja. Hal ini bisa mengakibatkan terganggunya kontinuitas ketersediaan bahan pangan.

Untuk itu, pemerintah harus berupaya keras untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Misalnya, memberikan bantuan berupa bibit, pupuk, peralatan, atau penyuluhan bagi para petani. 

Di samping itu, pemerintah juga harus melakukan terobosan-terobosan baru untuk mencari solusi bagi semakin sempitnya lahan pertanian. Misalnya dengan mencari bibit unggul untuk meningkatkan hasil produksi, membiayai riset-riset untuk menemukan alternatif lahan baru, dan sebagainya.

Hal itu pula yang dulu pernah diterapkan pada peradaban Islam. Hasilnya, peradaban Islam pernah berjaya dan berhasil dalam melakukan revolusi dalam bidang pertanian yang dikenal dengan istilah Revolusi Hijau. Revolusi Hijau terjadi pada abad ke 8 M-13 M.
Pada saat itu, ilmu tentang flora dan fauna berkembang sangat pesat. Banyak kitab yang ditulis oleh para ilmuwan muslim. Di antaranya adalah Kitab Annabaat. Kitab yang ditulis oleh Abu Saniifah Ahmad ibn Dawud Dinawari (828-896) ini mendeskripsikan 637 tanaman sejak tumbuh hingga mati. Karena karyanya ini, beliau dianggap sebagai pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan atau botani. 

Ada pula Abu Bakr Ahmed ibn 'Ali ibn Qays al Wahsyiyah yang menulis Kitab Alfalaha Annabatiya. Kitab ini terdiri dari delapan juz. Di dalamnya berisi tentang teknik mencari sumber air, menggali, menaikkannya ke atas, serta cara meningkatkan kualitasnya. Teknik seperti ini di Barat disebut Nabatean Agriculture.

Sementara itu, Abu Utsman Amr ibn Bahr Alkinani Alfuqaimi Albashri (781-869) menemukan teori tentang adanya perubahan berangsur pada makhluk hidup akibat perubahan alam atau lingkungan. Teori itu ditulisnya dalam Kitab Alhayawaan.

Kemajuan dalam ilmu pertanian itu juga diikuti dengan banyaknya penemuan di bidang pertanian. Misalnya, berbagai variasi mesin air yang bekerja secara otomatis yang ditemukan oleh Aljazari. 

Namun, revolusi pertanian itu sesungguhnya terjadi setelah ditemukannya alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemupukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, serta manajemen perusahaan pertanian.

Jika hal-hal seperti ini bisa kita terapkan, mewujudkan ketahanan pangan nasional tidak lagi sekadar mimpi, bencana kelaparan bisa kita hindari, dan sumber daya manusia yang buruk tidak lagi menghantui. Wallaahu a'lam bishashawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post