Politik Ketahanan Pangan dalam Islam

Oleh : Ummi Munib

Pangan  merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Dengan demikian pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. 

Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional. Dilansir Indonesiainside.id (18/10/2019)  topik swasembada pangan menarik untuk diperbincangkan mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara butuh ketahanan pangan. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Desember 2014 silam pernah berjanji mengupayakan swasembada pangan dalam tiga tahun pemerintahannya, namun kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Berdasarkan data Ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton, sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Jumlah total impor akan meningkat jika Pemerintah melakukan kembali pada tahun 2019. Namun dengan jumlah stok yang relatif memadai (2,1 juta ton di akhir 2018), diperkirakan Pemerintah tak perlu memerlukan impor di tahun 2019, kecuali terjadi krisis. 

Sementara itu, Ekonom INDEF Rusli Abdullah menilai faktor kegagalan swasembada pemerintah terletak di perencanaan. Dia menyebutkan, data perencanaan pemerintah Jokowi-JK terkait swasembada pangan pada tahun 2014 sangat carut-marut. “Pemerintah saat ini dalam perwujudan kedaulatan pangan masih semrawut. Tapi mungkin di tahun 2019 lebih tertata dan lebih baik dari tahun sebelumnya. 

Terkait pentingnya pangan maka setiap tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia atau World Food Day , pada tahun ini menyoroti perlunya upaya yang lebih keras untuk  mengakhiri kelaparan dan bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya.

Dengan tema global Hari Pangan Sedunia tahun 2019, "Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk #Zerohunger 2030", semua pihak diminta ikut memastikan keamanan pangan dan pola pangan sehat tersedia untuk semua orang.

“Mencapai 'Tanpa Kelaparan' (zero hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Tahun ini, Hari Pangan Sedunia menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard, dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu. Adapun  Tema Nasional di Indonesia sendiri mengusung, Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045 (Antara.News.com 16/10/2019).

Namun sayang seribu sayang, negeri subur ternyata tidak selamanya makmur. Ironisnya dibalik  selogan Negara Agraris dan  tema Nasional peringatan Hari Pangan yang begitu indah, faktanya masih ada sebagian masyarakat yang kelaparan, kurang gizi bahkan miskin. Dikabarkan Harianjogja.com, 17/10/2019  bahwa Suku Anak Dalam yang berada di Kampung Duren Kecamatan Renah Pamenang Kabupaten Merangin, Jambi terancam kelaparan. Kesulitan mengakses kecukupan pangan menjadikan mereka terpaksa rela untuk memakan monyet hasil buruan. Bahkan salah satu warganya yang bernama Jhon Temenggung berkata bahwa tak jarang mereka hanya mampu mengkonsumsi air putih untuk sekedar mengganjal perut. 

Pengurangan lahan sawah yang terjadi akhir–akhir  ini disinyalir sebagai salah satu penyebab berkurangnya pangan. Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementan Sarwo Edhi mengungkapkan Indonesia telah kehilangan 650 ribu hektar lahan sawah. (detikfinance, 16/10/2019). Selain itu ada  faktor yang lebih dominan  sebagai penyebab terjadinya kekurangan pangan di kalangan masyarakat,  yakni penerapan sistem ekonomi neoliberal kapitalisme. Sistem ini telah menimbulkan kemiskinan  di pedesaan/pedalaman yang mengakibatkan  masyarakat  tidak mampu memenuhi pangan yang dibutuhkan  untuk  pemenuhan gizi yang baik. Ditambah kurangnya keberfihakan penguasa terhadap rakyatnya dengan dalih memandirikan keluarga-keluarga petani, sementara para korporatisasi pangan tidak dihentikan.

Dengan demikian Ketahanan pangan bagi seluruh rakyat niscaya akan terwujud jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat disertai penghentian implementasi sistem ekonomi neoliberal kapitalisme yang menyebabkan terjadinya korporatisasi pangan. Sejarah mencatat, bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab pernah mengambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan. Inilah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.

Islam sebagai agama yang komprehensif, memiliki  solusi tuntas dan menyeluruh dalam masalah pangan. Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan. Syariah Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; 
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Tawbah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. 

Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut hanya dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb

Post a Comment

Previous Post Next Post