PENISTA NABI SAW. HARUS MENERIMA HUKUMAN YANG PANTAS

Oleh : Fatmawati 
Pensiunan guru dan pegiat dakwah

Mengimani kenabian Muhammad saw. harus diikuti dengan mencintai dan memuliakannya. Mencintai Nabi saw. harus diatas kecintaan kepada yang lain, baik itu harta, kedudukan, jabatan, keluarga bahkan diri kita sendiri. Sebab belum sempurna keimanan seseorang bila masih ada kecintaan yang melebihi kecintaan kepada Nabi saw.

Belum sempurna iman salah seorang diantara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan segenap manusia (HR al-Bukhari).

Mencintai Nabi saw. hukumnya fardhu. Pada suatu hari Umar bin Khaththab berkata kepada Rasul saw., "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri." Beliau menjawab, "Tidak. Demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Berkata Umar, "Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!" (HR al-Bukhari).

Allah SWT memberikan ancaman keras kepada siapa saja yang cintanya kepada Rasul saw. terpalingkan oleh kecintaan kepada yang lain:

Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihat di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik (TQS  at-Taubah [9]: 24).

Orang yang mencintai Allah dan Nabi-Nya saw. juga akan merasakan manisnya iman, sebagaimana sabdanya:

Ada tiga perkara yang jika terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman (diantaranya): Allah dan Rasul-Nya lebih is cintai daripada selain keduanya... (HR al-Bukhari dan Muslim).

Jika mencintai Rasul saw. merupakan kewajiban dan kebaikan yang amat luhur, maka menista (istihza') terhadap kemuliaan beliau adalah dosa besar. Allah SWT berfirman:

Orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. (TQS at-Taubah [9]: 61).

Khalil Ibn Ishaq al-Jundiy menjelaskan. Ulama besat mazhab Maliki. Siapa saja yang mencela Nabi saw., melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifat beliau, menyebutkan kekurangan pada diri dan kerakter beliau, merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbatkan hal-hal  yang tidak pantas kepada beliau, mencela dll maka hukumannya adalah dibunuh (Lihat: Khalil Ibm Ishaq al-Jundiy, Mukhtashar al-Khalil, 1/251).

Bagi orang Islam, hukum menghina Rasul saw. jelas haram. Pelakunya dinyatakan kafir. Hukumanya adalah hukuman mati.

Al-Qadhi Iyadh menegaskan, tidak ada perbedaan dikalangan ulama kaum Muslim tentang halalnya darah orang yang menghina Nabi saw.  Meski sebagian ada yang memvonis pelakunya sebagai orang murtad, kebanyakan ulama menyatakan pelakunya kafir. Bisa langsung dibunuh. Tidak perlu diminta bertobat. Juga tidak perlu diberi tenggang waktu tiga hari untuk kembali kepangkuan Islam. Ini merupakan pendapat al- Qadhi Abu Fadhal, Abu Hanifah, as-Tsauri, al-Auzai, Malik bin Anas, Abu Musab dan Ibn Uwais, Ashba dan Abdullah bin al-Hakam. Bahkan al-Qadhi Iyadh menyatakan, ini merupakan kesepakatan para ulama (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428-430).

Karena itu jika membandingkan Nabi saw. dengan orang lain dengan maksud merendahkan beliau sudah termasuk penistaan, apalagi mempertanyakan kontribusi beliau bagi negeri ini, jelas merupakan penistaan luar biasa.

Penistaan terhadap marwah Nabi saw. terus saja berulang karena banyak Muslim dan tokoh-tokohnya memilih diam. Padahal bungkamnya mereka membuat penistaan ini kian menjadi-jadi. Mereka pun telah berdosa karena mendiamkan kemungkaran. Mereka lupa dengan sidiran Imam asy-Syafii kepada orang yang diam saat agamanya dihina:

Siapa yang dibuat marah namun tidak marah maka ia adalah keledai (HR al-Baihaqi).

Ulama besar Buya Hamka rahimahulLah juga mempertanyakan orang yang tidak muncul ghirahnya ketika agamanya dihina. Beliau menyamakan orang-orang seperti itu seperti orang yang sudah mati. "Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan."

Wahai kaum Muslim, mari kita bela agama kita. Belalah Nabi kita yang mulia. Sungguh Nabi kita yang mulia telah berjuang membela nasib kita agar menjadi hamba-hamba Allah SWT yang layak mendapatkan Jannah-Nya kelak.

Agama ini sungguh tak akan dapat terlindungi jika umat tidak memiliki pelindung yang kuat. Dulu Khilafah Utsmaniyah sanggup menghentikan rencana pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Nabi saw. Saat itu Sultan Abdul Hamid II langsung mengultimatum Kerajaan Inggris yang bersikukuh tetap akan mengizinkan pementasan drama murahan tersebut. Sultan berkata, "Kalau begitu saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihat akbar!" Kerajaan Inggris pun ketakutan. Pementasan itu dibatalkan. Sungguh saat ini umat membutuhkan pelindung yang agung. Itulah Khilafah.

WalLah a'lam bi ash-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post