Kemana Arah Pendidikan Indonesia

Oleh: Nor’alimah, S.Pd
(Guru SMAIT Ar Rahman)

Publik kembali digemparkan dengan berita seorang siswa membunuh gurunya sendiri. Alexander Warupangkey (54), guru SMK Ichtus, Manado, Sulut, ternyata lebih dulu dikeroyok sebelum ditikam hingga tewas oleh muridnya.  Alexander tewas dalam penanganan medis setelah ditikam muridnya berinisial FL, yang tak terima ditegur karena merokok di lingkungan sekolah. Korban dibawa ke RS Angkatan Udara dan sempat dirujuk ke RS Malalayang, Manado, dan dinyatakan meninggal dunia. Sedangkan murid SMK berinisial FL mengaku emosi karena teguran gurunya. Dia menikam korban dengan pisau yang diambil di rumah. (detik.news, 26/10/2019)

Peristiwa ini kembali mencoreng wajah pendidikan. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan seorang siswa kepada gurunya bukan hal yang baru. Masih ingatkah kita di tahun 2018?  Kejadian serupa terjadi pada seorang guru SMA Sampang. Ahmad Budi Cahyono meninggal setelah dianiaya muridnya. Berawal dari teguran sang guru karena si murid tak menghiraukan pelajaran sepanjang kelas berlangsung. Terjadilah perdebatan antarkeduanya, hingga sang guru mengalami penganiayaan dan berujung pada kematian.

Potret kelam pendidikan dengan berbagai macam kasusnya menoreh luka panjang dunia pendidikan. Generasi tak lagi berkarakter mulia. Moralnya rusak dan bejat. Revolusi mental yang digagas pemerintah faktanya tak mampu membendung kerusakan yang sudah mengakar. Inilah yang menjadi tantangan terbesar bagi seorang Nadiem Makarim selaku Mendikbud yang baru.

Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, menyatakan nyawa dari gerakan pendidikan adalah literasi. Muhadjir juga menyampaikan literasi tak melulu soal membaca buku. Menghadapi era industri 4.0 setidaknya ada 6 literasi dasar yang wajib dikuasai. (jeda.id, 10/9/2019).

Literasi dasar tersebut berperan sangat penting dalam pendidikan maupun kehidupan sehari-hari. Berikut enam literasi dasar dirangkum dari Gerakan Literasi Nasional Kemendikbud. Yaitu, 1. Literasi Baca Tulis, 2. Literasi Numerasi, 3. Literasi Sains, 4. Literasi Finansial, 5. Literasi Digital dan 6. Literasi Kebudayaan dan Kewargaan.

Presiden meminta Nadiem Makarim untuk membuat terobosan di dunia pendidikan. Ia ingin menteri yang baru itu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) siap kerja dan usaha.
"Kita akan membuat terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM, SDM siap kerja, siap berusaha, yang link and matched antara pendidikan dan industri," ucapnya.

Nampak sekali Menteri yang baru lebih memilih orientasi kompetensi, ketimbang karakter. Yakni, bagaimana membekali peserta didik agar siap memasuki dunia kerja yang terus berkembang. Pendidikan akhirnya berorientasi menghasilkan generasi pekerja. 
Maka harus dipahami, bahwa yang diraih oleh pendidikan sejatinya bukan hanya masalah kompetensi. Pendidikan juga harus membentuk SDM berkarakter mulia. Pendidikan harus dirancang untuk menuntaskan persoalan SDM. Dan jika ditelusuri, maka problem karakter bahkan lebih menonjol ketimbang kompetensi.

Harus diakui, berbagai persoalan negeri ini justru banyak disebabkan oleh rendah atau rusaknya karakter (kepribadian) manusianya. Misalnya, korupsi, kejahatan, keserakahan manusia yang bisa berimbas kepada kemiskinan hingga problem kesalahpahaman terhadap ajaran agama yang berujung konflik horizontal. Ini tentu sangat memprihatinkan dan harus segera diatasi oleh pendidikan.

Di tingkat peserta didik sendiri, banyak sekali problem perilaku menyimpang. Gaya hidup hedonis, pergaulan bebas, tawuran pelajar, rendahnya adab siswa kepada guru, rendahnya pemahaman terhadap agama, semua ini sangat mengkhawatirkan dan menyakitkan.  Karenanya, masalah pembangunan karakter (kepribadian Islami) ini sangat penting dalam sistem pendidikan. 

Harus diakui bahwa problem pendidikan yang terus saja bermunculan tak lepas dari akar masalah yang melingkupinya. Masalah karakter dan moral masih menjadi PR besar.  Generasi kehilangan jati diri hakikinya sebagai hamba. Mereka tak lagi memiliki visi misi mulia di dunia. Kesenangan dunia seolah menjadi prioritas kehidupan.

Sistem pendidikan berbasis sekularisme hanya menghasilkan  manusia-manusia bebas nilai. Sistem ini juga hanya mengajarkan arti kebahagiaan sebatas nilai materi. Alhasil, lahirlah generasi tanpa iman dan krisis moral. Sekolah hanya untuk mengejar ijazah, kedudukan, dan materi berlimpah. 

Program Mendikbud tidak sinkron dengan problem utama pendidikan di Indonesia. Karena, hanya berbicara di tataran teknis semata. Yaitu, bagaimana mengelola sumber daya sekolah di Indonesia (terdapat 300 ribu sekolah dengan 50 juta pelajar). Menurutnya, semua itu bisa diselesaikan dengan rancangan teknologi yang tepat. Sepak terjangnya di bisnis yang mengandalkan teknologi informasi menjadi andalannya. 

Persoalannya bukan di teknis atau penggunaan teknologi pendidikan. Tapi terkait dengan sudut pandang penguasa terhadap tugas melayani pendidikan rakyat. Juga terkait dengan asas kapitalisme yang selama ini mendasari sistem pendidikan Indonesia. Sehingga kurikulum dan tata kelola sekolahnya jauh dari konsep Islam. Inilah yang menjadikan pendidikan mandul dan tidak produktif.
Problem mendasar tersebut akhirnya berimbas kepada problem guru (kompetensi, kesejahteraan, pemerataan), minimnya sarana prasarana pendidikan serta rendahnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Problem pendidikan vokasi, juga sebenarnya bukan hanya soal kesempatan kerja, tapi kesalahan paradigma dan manajemennya.

Sebagai gambaran umum, Negara (Khilafah) menyelenggarakan sistem pendidikan Islam berdasar akidah Islam. Pendidikan ditujukan untuk mewujudkan manusia berkepribadian Islam. Disamping membekali manusia dengan ilmu dan pengetahuan berkaitan dengan kehidupan. Negara bertanggung jawab penuh untuk melayani dan memastikan kebutuhan rakyat untuk memperoleh pendidikan terbaik terpenuhi. Di tengah banyaknya problem generasi yang makin mengkhawatirkan, masyarakat harus dicerdaskan tentang sistem pendidikan yang Islam. Dan kita hanya bisa mengharapkan perubahan yang signifikan dalam pendidikan ketika diatur dengan Islam dalam bingkai Khilafah. 

Di masa Khilafah Islam telah banyak lahir generasi cemerlang yang unggul. Tak hanya unggul dalam ilmu saintek, mereka pun sukses menjadi ulama yang faqih fiddin. Keseimbangan ilmu ini terjadi karena Islam dijadikan asas dan sistem yang mengatur dunia pendidikan. Jika kita melihat sejarah Islam, pendidikan Islam mengalami kejayaan dan kegemilangan yang diakui dunia. Lembaga pendidikan tumbuh subur, majelis-majelis ilmu di selasar masjid yang membahas berbagai ilmu pengetahuan pun bertaburan. Masjid saat itu menjadi pusat keilmuan dan kegiatan belajar mengajar. Bermunculan para ulama sekaligus ilmuwan yang terintegrasi ilmu eksak dan agama.

Sebut saja Imam Syafi’i. Beliau tak hanya ahli ushul fikih, beliau juga fakih dalam ilmu astronomi. Ada pula Ibnu Khaldun, bapak pendiri historiografi, sosiologi, dan ekonomi. Beliau pun hafal Alquran sejak usia dini. Tak hanya ekonomi, beliau juga ahli dalam ilmu politik. Lalu ada Ibnu Sina, sang bapak kedokteran sekaligus ahli filsafat, Ibnu al-Nafis bapak fisiologi peredaran darah, dan masih banyak lainnya. Ilmuwan-ilmuwan itu tak hanya cakap dalam sains namun juga berperan sebagai ulama besar. Ilmu dunia dan akhirat berpadu demi kemaslahatan hidup manusia. Begitulah kecemerlangan Islam saat diterapkan.

Maka dari itu, bila ingin mengembalikan generasi emas kejayaan Islam di masa lalu, maka mau tidak mau harus menerapkan sistem yang berasal dari Rabb semesta alam. Yakni  menerapkan sistem pendidikan Islam yang melahirkan generasi unggul berlandaskan akidah Islam.

Wallahua'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post