Jaminan kesehatan Dalam Islam

Oleh : Riska Adeliana
(Aktivis Dakwah Kampus)

Mulai 1 Januari 2020 iuran BPJS Kesehatan naik hingga lebih dari dua kali lipat. Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Oleh karena itu di perlukan stimulus agar lembaga tersebut dapat berjalan melayani masyarakat yang membutuhkan fasilitas kesehatan.
Namun, disisi lain, kenaikan premi BPJS Kesehatan juga bisa menimbulkan persoalan lain. Adapun besar iuran yang harus dibayar yaitu Rp. 160.000 untuk kelas 1 dan sebelumya Rp. 80.000, sedangkan pemegang permi kelas 2 harus membayar Rp. 110.000 dari sebelumnya Rp.51.000. sementara kelas 3 sedikit lebih beruntung karena kenaikan yang dialami lebih kecil, yakni dari Rp. 25.500 menjadi  Rp.42.000. 
Besaran iuran sebagaiman dimaksud pada ayat 1 pasal 34 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020,” tulis beleid aturan tersebut. BPJS kesehatan meyakini kenaikan iuran bisa memperbaiki keuangan mereka yang selama ini mengalami defisit. Pada tahun 2019 ini BPJS kesehatan akan mengalami defisit hingga Rp. 32,8 Triliun jika iuranya tak naik.
Miris, di negeri yang kaya akan sumber daya alam, malah masalah ekonomi dan kesehatan tidak pernah kunjung terselesaikan. BPJS kesehatan yang mana memberikan harapan bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan kesehatan yang lebih baik, malah bertolak belakang dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat yang harus membayar mahal. Masyarakat tidak sakit, tapi tetap membayar setiap bulanya. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sulit, untuk makan aja sudah terpenuhi, alhamdulillah. 
Pengamat kebijakan publik sekaligus doktor biomedik, Dr. Rini Syarif menyatakan kenaikan premi BPJS Kesehatan tidak hanya persoalan nominal. Akan tetapi cerminan kezhaliman dan kelalaian penguasa dan negara yang luar biasa. Hal ini juga mencerminkan tentang buruknya visi rezim dan negara, disamping hak publik yang dirampas. Akan tetapi hal ini di benarkan atas nama perundang-undangan pada negara demokrasi,” ungkap Rini.
JKN sejatinya bukanlah jaminan kesehatan. JKN sebenarnya adalah asuransi sosial. Asuransi sosial itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberi perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan anggota keluarganya (pasal 1 ayat 3UU SJSN).

Akibatnya, pelayanan kesehatan untuk rakyat disandarkan pada premi yang dibayar oleh rakyat. Jika rakyat tidak membayar, mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Karena diwajibkan, jika telat atau tidak membayar, rakyat (peserta asuransi sosial kesehatan) dikenakan sanksi, baik denda atau sanksi administrasi. Layanan kesehatan rakyat tergantung pada jumlahpremi yang di bayar rakyat. Itu ide dasar operasi BPJS. Inilah sistem sekuler demokrasi yang sejatinya merupakan sistem negara korporasi dimana negara menjadi layanan kesehatan yang seharusnya hak mendasar umat, tetapi hak umat mereka jadikan sebagai lahan bisnis.

Jaminan Kesehatan Dalam Islam
Dalam Islam, kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan  dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainya merupakan fasilitas publik yang di perlukan oleh kaum muslimin dalam pengobatan dan pengobatan. Jadi pengobatan itu adalah kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik itu wajib di sediakan oleh negara sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus (HR. Al-Bukhari).
Salah satu tanggung jawab pemimpin adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya. Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad Saw pun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi Saw mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa serombolan orang dari Kabilah Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah Saw selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di pengembalaan unta zakat yang di kelolah Baitul Mal di dekat Quba. Mereka di perbolehkan meminum air susunya secara ngatis sampai sembuh (HR. Al- Bukhari dan Muslim).
Saat menjadi khalifah, khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Juga menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam (HR. Al-Hakim). Semua itu adalah dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara secara ngatis untuk seluruh rakyat tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana tidak kecil. Pembiayaanya bisa di penuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah di tentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah,fai’, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas.
Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa di wujudkan di bawah sistem yang di contohkan dan ditinggalkan oleh Nabi Saw, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus di perjuangkan dan sekaligus menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam. Wallah alam bis ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post