Horor, Desa Fiktif Penyedot Dana Desa

Oleh : Irayanti
(Pemerhati Sosial Politik)

Kabar desa fiktif yang mendapatkan bantuan dana desa dari pemerintah pusat semakin ramai diperbincangkan. Hal ini bermula ketika Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati saat melaporkan evaluasi kinerja APBN tahun anggaran 2019 di ruang rapat komisi XI DPR RI yang menyampaikan adanya desa yang tidak berpenghuni alias fiktif bermunculan karena adanya dana desa.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar membantah penyampaian Menteri Keuangan. Dia pun bingung  dengan adanya kabar desa fiktif.

Desa fiktif mulai menghantui kalangan istana, presiden Joko Widodo pun angkat suara untuk mengejar dan menangkap aktor dibalik desa fiktif. Alhasil, desa fiktif bagai antara ada dan tiada yang meneror tampuk kekuasaan saat ini.

Respon terhadap Desa Fiktif

Dalam perkembangannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa ada 34 desa di wilayah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara yang bermasalah. Tiga diantaranya fiktif sedangkan 31 desa lainnya ada, namun SK pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur. Kasus desa fiktif ini mencuat setelah para aktivis anti korupsi melakukan unjuk rasa di kantor DPRD Kabupaten Konawe, Rabu 20 Februari 2019 lalu. 
Menurut aktivis anti korupsi Kabupaten Konawe Ilham Killing, dana desa telah tersedot sejak tahun 2015 namun seolah dibiarkan oleh Pemda dan tidak dilaporkan pada tahun 2016 sehingga berlanjut hingga 2018. Sekarang setelah mencuat dan masuk dalam berita nasional barulah pemerintah melakukan klarifikasi.

Respon lain datang dari anggota Ombudsman La ode Ida menyarankan pemerintah segera memecat pejabat yang terlibat dalam kasus desa fiktif. La ode juga menilai pihak dibalik desa fiktif ini sama saja telah mengambil uang negara atau korupsi. 

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and finance (Indef) Aviliani turut merespon tentang desa fiktif. Menurutnya, ada proses verifikasi tidak benar yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Mengingat program dana desa sendiri sudah berlangsung lama dimulai pada tahun 2015 lalu, namun baru kali ini mencuat ke permukaan.

Roh Kapitalisme-Sekulerisme

Dana desa dialokasikan oleh Kemenkeu dengan anggaran dana desa sebesar Rp 70 triliun pada 2019 yang setiap desa mendapatkan anggaran sekitar Rp 900 juta. Besarnya dana desa memicu tindakan manipulatif yaitu membuat desa fiktif untuk menyedot dana.

Kasus dana desa menunjukkan bahwa bancakan uang negara menjadi perkara yang struktural. Korupsi tidak hanya menyentuh lingkungan pemerintah pusat namun juga daerah hingga tingkat desa. Terlebih birokrasi sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) hanya menghasilkan orang-orang tamak akan harta. Akibatnya, penuntasan kemiskinan tak pernah finish. Asian Development Bank (ADB) melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan di era Jokowi.

Desa fiktif yang ditemukan di Konawe hanyalah satu dari sekian banyak kasus korupsi yang mencuat ke publik. Korupsi makin merajalela namun mirisnya KPK sebagai lembaga anti rasuah tersebut yang malah dilemahkan. Mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transparan dalam keuangan seolah mencari jarum dibalik tumpukan jerami, sangat sulit. Hal ini dikarenakan kapitalisme sebuah paham yang mendewakan pemikiran seseorang untuk semata-mata mencari capital (materi, modal atau harta) dan kini telah mencengkeram negeri ini.

Pemerintah pusat juga tidak memposisikan diri sebagai pengurus (raa’in) dan penanggung jawab (mas’ul) terhadap rakyat. Pemerintah memandang rakyatnya secara global, penuh ruh kapitalis  tanpa mau mendetail kondisi riil di lapangan dan memastikan kebutuhan setiap individu rakyat tercukupi. Misalnya dalam hal anggaran, keberhasilan sebuah pemerintahan (desa, daerah, maupun pusat) diukur dari serapan anggaran. Jika terserap 100 % pejabat tersebut dianggap berhasil. Tanpa memastikan apakah anggaran tepat sasaran dan tepat penggunaannya atau tidak. Akibatnya, anggaran banyak dimanipulasi. Belum lagi hukuman bagi koruptor yang kurang berat, tidak akan membuat jera orang lain juga untuk melakukan hal yang sama.

Islam Mengatur Anggaran
Untuk mewujudkan transparansi (keterbukaan) anggaran, khilafah memberikan bukti perwujudannya. Dalam sistem Islam (Khilafah) akuntabilitas anggaran akan terjaga karena ketakwaan para pejabatnya. Sebagai contoh kejujuran khalifah Umar bin Khattab dalam mengelola kas negara (Baitul Mal). Dunia bagi para pejabat di sistem Islam hanya diletakkan dalam genggaman tangannya, bukan di dalam hati. Pengelolaan anggaran atau harta pun adalah tanggungjawab yang berat bagi mereka. Sebagaimana mereka meyakini firman Allah SWT:
“Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al Hadid : 04) 

Mekanisme bagaimana Islam menjaga pengelolaan uang negara secara amanah adalah sebagai berikut.

Pertama, ada Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Untuk mengawasi para pejabat untuk tidak berlaku curang. Khalifah Umar bin Khattab pernah mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk mengawasi kekayaan para pejabat.

Kedua, gaji para pejabat harus cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Ketiga, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Sebagaimana kita ketahui korupsi sama saja dengan mencuri. 
Dengan demikian, dalam sistem Islam dapat mewujudkan pemerintahan yang tertata bebas dari korupsi. Karena setiap dinar harta akan dipertanggungjawabkan. 

Alhasil, kasus desa fiktif yang telah menyedot dana desa yang sangat banyak ini hanya akan terselesaikan hingga ke akarnya jika menerapkan sistem Islam bukan pada sistem Kapitalisme sekarang. Korupsi bukan berkurang malah berkembang, terlebih tertangkap pun masih bebas berkeliaran liburan itulah efek dari aturan buatan manusia. Saatnya kembali pada sistem Islam yang dapat mewujudkan penyaluran dana adil dan merata untuk semua dan mengindahkan lahirnya ketamakkan para pejabat.
Wallahu a’lam bish showwab

Post a Comment

Previous Post Next Post