Haru Biru Nasib Guru

Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.i
Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif

Guruku sayang, guruku malang. Sebuah ungkapan yang mencerminkan kondisi para guru honorer saat ini. Di berbagai daerah dapat kita temui para guru dengan gaji yang minim. Dilansir oleh GalamediaNews.com (25/11/2019) bahwa Ketua Umum Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI) Kabupaten Bandung, Heru K Nirwantia, turut menyikapi permasalahan guru honorer di Kabupaten Bandung. Karena masih ada guru honorer yang mendapatkan honorarium sebesar Rp120.000 per bulan.

Gaji kecil di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup membuat para pahlawan tanpa tanda jasa ini harus memutar otak mencari penghasilan tambahan. Menjadi tukang ojek hingga pemulung adalah sebagian dari solusi agar dapur tetap mengepul. Bayangkan, gaji mereka bahkan jauh lebih rendah dari UMR kota, banyak di antara mereka yang digaji kurang dari 500 ribu rupiah. Ironis. 

Mereka adalah pendidik generasi muda. Generasi yang akan memegang estafet kepemimpinan di masa mendatang. Tapi penghargaan yang diberikan kepada mereka tak sepadan dengan jasa mereka. Apakah mungkin akan ada presiden, menteri, dokter, insinyur, pengacara tanpa adanya peran para guru? 

Coba bandingkan dengan para selebritas di negeri ini, yang keberadaan mereka sebagai pengisi dunia hiburan. Tak jarang keberadaan mereka justru memberi pengaruh negatif pada generasi. Meski demikian, mereka justru mendapatkan gaji yang fantastis dalam sehari.

Sementara para pahlawan tanpa tanda jasa yang mendedikasikan dirinya untuk mendidik generasi, hanya sekedar untuk makan saja harus berupaya keras. Mereka harus rela tinggal di rumah sederhana dengan kendaraan yang apa adanya. Inilah ironi di negeri kapitalisme. Penghargaan terhadap para guru baru sebatas seremonial belaka.

Sejatinya Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap ilmu, orang-orang berilmu dan yang mengajarkan ilmunya. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat al-Mujadalah ayat 11:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 
  
Artinya: "Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis," maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Tak berlebihan kiranya, Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap para guru. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab di masa pemerintahannya pernah menggaji seorang guru membaca dan menulis sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Bandingkan dengan gaji guru di masa sekarang, tentu sangat jauh berbeda. Dengan gaji guru yang tinggi dan fasilitas pendidikan yang baik, pada masa khilafah banyak bermunculan ilmuwan mumpuni penemu berbagai bidang ilmu. Ibnu Sina dan al-Khawarizmi hanyalah sedikit contoh dari ilmuwan-ilmuwan yang lahir pada masa khilafah Islam. 

Maka sudah saatnya kita kembali kepada syariah-Nya dalam bingkai khilafah. Agar para guru kembali sejahtera dan keberkahan hidup dapat terwujud. Hanya dalam sistem Islam yang agung perkembangan sains dan teknologi akan semakin pesat, dan yang pasti nasib para pahlawan tanpa tanda jasa ini akan terangkat. Aamiin.

Post a Comment

Previous Post Next Post