Desa Hantu dan Solusi Ideal Cegah Korupsi

Oleh : Luthfiah Jufri

Fenomena 'desa hantu' ini pertama kali diungkapkan Sri Mulyani Indrawati saat melaporkan evaluasi kinerja APBN Tahun Anggaran 2019 di ruang rapat Komisi XI DPR RI. Dia menyebut ada desa baru karena dana desa. (news.detik.com, 4/11/2019)

Kemenkeu mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp70 triliun di tahun 2019. Saat ini di Indonesia tercatat ada 74.597 desa, sehingga setiap desa mendapatkan anggaran sekitar Rp900 juta. Besarnya dana desa memicu tindakan manipulatif yaitu membuat desa fiktif. Contoh kasus  akal-akalan ini telah dicatat oleh Kemendagri dan tengah ditangani Polda Sultra, setidaknya ada 56 desa fiktif di Kabupaten Konawe. Jika rata-rata tiap desa mendapatkan dana Rp900 juta, negara telah dirugikan Rp50,4 triliun per tahun.

Berkait kasus ini, ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2015 telah memprediksi adanya desa fiktif. Namun, mengapa pemerintah tidak mencegah hal ini?. Selain itu, Anggota Ombudsman Laode Ida menyarankan pemerintah agar segera mengambilmtindakan. Yaitu memecat pejabat yang terlibat dalam kasus desa tak berpenghuni namun mendapat dana desa. Menurutnya, hal ini sama saja mengambil uang negara atau korupsi. "Tidak boleh dibiarkan seperti itu," katanya. (kata.data.co.id, 6/11/2019)

Hal serupa juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo  yang akan mengejar dan menangkap pelaku yang membentuk desa fiktif untuk meraup kucuran dana desa. (kata.data.co.id, 6/11/2019)

 *Sulitnya Melenyapkan Korupsi dalam Sistem Sekuler* 

Persoalan korupsi bukanlah masalah sederhana yang semata disebabkan oleh ketamakan individu. Ketamakan hanyalah salah satu faktor, Penerapan sistem sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan, telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Orientasi pejabat bukan lagi menjalankan  amanah Allah dan ibadah, melainkan meraup  keuntungan dunia. Korupsi pun  kian menggurita, karena dilakukan secara berjamaah. Atmosfir sistem kapitalis sangat mendukung tindakan kriminal ini.

Kasus dana desa menunjukkan bahwa bancakan uang negara menjadi perkara yang terjadi secara struktural. Korupsi tak hanya terjadi di pusat, namun juga daerah dan bahkan tingkat desa. Birokrasi yang sekuler menghasilkan orang-orang yang tega mengambil harta yang seharusnya menjadi hak bagi  si miskin.

Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Kwik Kian Gie, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menyebut lebih dari Rp300 triliun dana, baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumber daya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor.

 *Islam Mencegah Korupsi* 

Sistem islam mampu mencagah korupsi melalui mekanisme berikut. _Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Umar bin Khaththab pernah berkata, “Barang siapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”

 _Kedua_, negara wajib melakukan pembinaan terhadap seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda - hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”

 _Ketiga_, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.  Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

 _Keempat_, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud). 

 _Kelima_, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

 _Keenam_, adanya teladan dari pimpinan. Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya.

 _Ketujuh_, pengawasan oleh negara dan masyarakat.  Khalifah Umar langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Menengok pada kebaikan islam dan sistemnya, tak ada alasan lagi untuk  menunda penerapannya sebagai penyelesai krisis multi dimensi, tak terkecuali sebagai penyelesai masalah korupsi. Selain itu, juga merupakan bagian dari pirintah Allah untuk menerapkan islam dalam seluruh aspek kehidupan.

 _Wa’allahu ‘alam biishowab_

Post a Comment

Previous Post Next Post