Buah Simalakama BPJS Kesehatan

Oleh : Sulistian, S.Pd 
(Pemerhati Sosial)

BPJS kesehatan kembali dipebincangkan, kita ketahui bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan dan pemerintah berencana menaikkan iuran hingga 100% pada Januari 2020, BPJS kesehatan meyakini kenaikan iuran dapat memperbaiki keuangan mereka selama mengalami masa defisit.

Pada tahun 2019, diprediksi BPJS kesehatan mengalami defisit hingga Rp32,8 triliun jika iurannya tidak naik. Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan bahwa keuangan BPJS Kesehatan diperkirakan surplus di 2020, jika dibarengi dengan perbaikan, ia meyakini keuangan BPJS Kesehatan dapat surplus sebesar Rp17,3 triliun. Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah megeluarkan Peraturan Presiden (Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Oktober 2019 lalu.

Dalam pasal 34 Perpres tersebut, tarif iuran kelas Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri golongan III, dengan manfaat pelayanan iuran kelas perawatan kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000 perbulan tiap peserta, kenaikannya mencapai Rp16.500, selain itu untuk kelas mandiri II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 perbulan untuk tiap peserta. Dan iuran kepesertaan BPJS kelas I naik dua kali lipat, dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 perbulan untuk tiap peserta. (kompas.com).

Kenaikan iuran BPJS jelas menuai pro dan kontra. Beberapa pihak menilai bahwa kenaikan iuran BPJS tidak menjamin akan pelayanan BPJS yang meningkat. Sebab fokus utama pemerintah menaikkan iurannya adalah untuk menutupi defisit anggaran bukan untuk meningkatkan pelayanan terhadap rakyat. Padahal semestinya kenaikan dibarengi dengan peningkatan pelayanan bagi pesertanya.

Menurut Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh, masyarakat kerap mengeluhkan pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien bpjs kesehatan . “ Jangan sampai kenaikan BPJS ini hanya sekedar naik secara jumlah iurannya, tetapi pelayanannya tidak berubah” kata Nihayatul di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Sedangkan Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi menduga kenaikan ini tak lebih dari sekedar ‘gali lubang tutup lubang’, artinya resiko defisit anggaran masih mungkin terjadi lagi  dikemudian hari.

Fakta di atas merupakan bukti jaminan kesehatan dalam naungan kapitalisme, diserahkan kepada swastA. Sehingga tujuannya bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Tetapi untuk memuaskan dan memberikan keuntungan pihak tertentu sebagai pemilik modal. Menurut Asih dan Miroslaw dari German Technical Cooparation (GTZ), LSM yang berperan aktif dalam membidani lahirnya JKN, Ide dasar Jaminan Kesehatan Sosial adalah pengalihan tanggungjawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari pemerintah kepada Institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan,  atas nama peserta jaminan sosial.

Dengan demikian, negara lepas tangan, pasalnya jaminan kesehatan yang merupakan hak rakyat, dan seharusnya menjadi tanggungjawab negara, berubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat dipaksa saling membiayai pelayanan kesehatan, diantara mereka melalui JKN dengan prinsip asuransi sosial. Istilah “Jaminan Kesehatan” ternyata palsu. Sebab yang ada bukan jaminan, tapi asuransi kesehatan, sementara jaminan dan asuransi merupakan istilah yang jauh berbeda. Jadi, dalam jaminan kesehatan ala kapitalisme rakyat bukan dijamin pelayanan kesehatannya, tapi rakyat diwajibkan membayar iuran tiap bulan. Dan akan dikenai denda dan sanksi bila tidak membayar.

Sedangkan dalam Islam, negara tidak boleh menyerahkan urusan pelayanan kesehatan kepada swasta. Atau bahkan mewajibkan pembayaran iuran sebagaimana dalam sistem kapitalisme, dalam sistem Islam, layanan kesehatan diberikan gratis tanpa dipungut biaya sepersen pun. Seluruh fasilitas kesehatan dan kemaslahatan rakyat wajib dijamin oleh negara sebagai bagian dari pelayanan negara terhadap rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR. Al-Bukhari.”).

Dokter, tenaga medis dan yang lainnya disediakan oleh negara dengan diberikan tunjangan yang layak. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam.

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat, pertama universal, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis, rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapatkan layanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat pelayanan diikuti dengan kebutuhan medis.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana tidak kecil. Pembiayaannya dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Diantaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya.

Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat serta berkualitas. Kuncinya adalah dengan menerapkan Islam secara menyeluruh sebagaimana yang telah dicontohkan dan ditinggalkan oleh Rasulullah Saw dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya.

Wallahua'lam bish-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post