Berdampakkah sertifikasi perkawinan terhadap mutu keluarga Indonesia?

Oleh : Anggun Permatasari

Tag line berita di laman tempo.co.id yang bertajuk "Sertifikat Layak Kawin, Menko PMK: Belum Lulus, Tak Boleh Nikah" baru-baru ini cukup menyita perhatian publik.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengatakan bahwa calon pengantin tidak boleh menikah jika belum memiliki sertifikat layak kawin. "Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah," kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 14 November 2019.

Beliau akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan mengenai pelatihan tentang ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. Kedepan, diharapkan program ini bisa menekan angka perceraian dan mencegah lahirnya generasi stunting. 

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmavati mengatakan sertifikasi persiapan perkawinan bisa mencegah pernikahan dini.

Wacana mewajibkan mengikuti sertifikasi perkawinan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera.

Dukungan mengenai program sertifikasi perkawinan juga datang dari para pegiat gender. Mereka akan mendukung wacana ini selama perspektif kesetaraan dan keadilan dalam perkawinan tetap dipakai sebagai landasan pelatihan.

Laman torto.id menuliskan bahwa pegiat isu perempuan Tunggal Pawestri menilai sebetulnya ide untuk membuat pelatihan pranikah merupakan langkah yang penting. Dia berharap pada pelatihan tersebut, ada materi dengan perspektif gender dan mempertimbangkan kesetaraan di dalamnya. “Tapi saya gak setuju kalau misalnya training-nya malah digunakan untuk mengajekkan peran tradisional antara peran perempuan dan laki-laki," ujarnya.

Wacana yang baru akan dimulai tahun 2020 ini ternyata menuai kontroversi di masyarakat. Program ini disinyalir akan memunculkan masalah baru, karena sertifikasi sebagai syarat menikah akan membuka pintu kecurangan dan korupsi. Masyarakat menilai wacana tersebut justru mempersulit calon pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.

Oleh karena itu, pemerintah diminta melakukan kajian terhadap wacana sertifikasi pernikahan. Mengkaji secara matang agar jangan sampai adanya sertifikasi malah memberatkan masyarakat dari segi biaya. Serta, jangan sampai membuat prosedur pernikahan menjadi berbelit.

Namun demikian, sejatinya wacana sertifikasi perkawinan tidak akan menyelesaikan sederet problematika di tengah-tengah masyarakat terkait perkawinan dan keluarga. Karena saat ini masalah yang tengah dihadapi bangsa bahkan dunia merupakan masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan secara parsial. 

Pemerintah tidak bisa melihat masalah hanya di permukaan atau di satu sisi saja. Karena permasalahan yang ada sekarang seperti banyaknya kasus perceraian, anak-anak yang tumbuh dengan tinggi badan kurang (stunting), gizi buruk, aborsi, dan lain-lain bukanlah sumber masalah melainkan buah dari masalah.

Maraknya pacaran di kalangan muda-mudi harusnya menjadi perhatian besar dan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Karena dari pacaranlah pintu-pintu zina dan kejahatan terbuka lebar. Dan fakta yang terjadi di masyarakat pernikahan dini banyak terjadi karena kasus hamil di luar nikah.

Sebenarnya sangat wajar deretan permasalahan seperti di atas senantiasa menghiasi hari-hari masyarakat. Karena saat ini kita tengah hidup di alam sekulerisme kapitalisme liberal. 

Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa sistem sekulerisme memisahkan agama dengan kehidupan sehingga manusia tidak lagi menjadikan halal-haram sebagai parameter perbuatan mereka. Kapitalisme dan liberalisme membuat masyarakat berpikir materialistik, hidup dalam angan-angan kemewahan dan merasa bebas tidak mau diatur.

Sifat ingin bebas dan tidak suka diatur banyak menjangkit pada diri para wanita yang berstatus istri sehingga kerap terjadi percekcokan dalam rumah tangga dengan alasan kesetaraan. 

Sulitnya hidup layak, mewahnya pendidikan yang berkualitas, harga-harga yang kian meroket karena kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik menjadi faktor utama terjadinya gizi buruk, stunting, keributan dalam rumah tangga dan maraknya kasus perceraian. 

Di era kapitalistik saat ini ketahanan keluarga tidak cukup disiapkan oleh individu dengan tambahan pengetahuan dan keterampilan semata. Tapi, membutuhkan daya dukung aturan yang paripurna dari negara dan sistem yang terintegrasi.

Penguasa sebagai pelayan umat bertanggungjawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Dan kesejahteraan itu tentunya dimulai dari keluarga. Tentunya membentuk pribadi yang tangguh tidak bisa diciptakan dalam waktu sekejap hanya melalui pelatihan singkat sebelum pernikahan dilangsungkan.

Namun, disiapkan sejak dini dengan didikan berbasis aqidah yang mengedepankan rasa cinta kepada Allah swt. Sang Pencipta dan keterkaitan dengan hukum yang dibuat Sang Pencipta tentunya. Dan itu tidak hanya menjadi tanggungjawab orang tua tapi juga dukungan negara. 

Dukungan negara berupa peraturan perundang-undangan yang memadai bertujuan untuk menanamkan taqwa kolektif dalam kehidupan bernegara, iklim ekonomi yang kondusif dan mapan bagi kepala keluarga dan pencari nafkah, jaminan kesehatan berkualitas dan gratis, pendidikan berbasis aqidah yang berkualitas serta peran media yang steril dari nilai-nilai liberal. Demi terciptanya ketahanan keluarga yang kokoh dan harmonis. 

Dari Aisyah radhiyallhu'anha beliau berkata, Rasulullh shallallhu 'alayhi wa sallam bersabda: "Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi umatku lantas dia merepotkan (membuat susah) umatku, maka repotkannlah dia." (HR Muslim).

Berkaca dari hadist di atas, harusnya pemerintah benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat dan tidak gegabah membuat aturan hukum dan perundang-undangan. Hendaknya segala kebijakan yang dikeluarkan penguasa benar-benar memprioritaskan kemudahan bagi seluruh lapisan masyarakat bukan mempersulit.

Namun, semua itu tidak mungkin terwujud selama sistem yang digunakan adalah sistem sekulerisme, kapitalisme liberal. Ketahanan keluarga yang kokoh dan harmonis hanya bisa didapatkan dari penerapan hukum yang berasal Sang Pencipta yaitu sistem Islam yang sempurna dan paripurna. 

Sistem Islam tidak memberikan solusi hanya ketika terjadi masalah, tapi aturan sebagai tindakan pencegahan agar masalah tidak terjadi. Dan hukum Islam memberi sanksi tegas yang membuat jera kepada para pelanggar aturan sehingga menjadi pelajaran besar bagi individu-individu lain agar tidak melakukan hal serupa. Wallahualam. 

Post a Comment

Previous Post Next Post