Bahaya di Balik Narasi Radikalisme Bagi Umat Islam

Oleh : Sriyanti
Ibu Rumah Tangga tinggal di Bandung


Radikalisme menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintah. Tapi di sisi lain hal tersebut kerap dijadikan cara untuk membungkam sikap kritis dari masyarakat. Radikal sendiri memiliki makna netral dan tidak negatif, berasal dari kata radix yang artinya akar, mendasar pada prinsip. Namun ketika kata radikal digabungkan dengan kata isme sehingga menjadi radikalisme maka maknanya sudah berbeda. Menurut KBBI, radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, sikap ekstrem dalam aliran politik.

Isu radikalisme sering kali mencuat akhir-akhir ini dimana bahaya tentang radikalisme kerap dihembuskan. Bahkan Presiden Jokowi secara terang-terangan telah menyerukan perang untuk melawannya. Pada tataran fakta radikalisme selalu disematkan pada agama Islam.

Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 itu untuk mengurus masalah pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya. Selain itu, jika melihat lima menteri lainnya, seperti Tito Karnavian menjabat sebagai menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo menjabat sebagai menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, Mahfud MD menjabat sebagai menteri bidang politik, hukum dan keamanan, dan Prabowo Subianto menjabat sebagai menteri pertahanan. Dari kelima formasi tersebut terlihat sinyal pemerintah lima tahun ke depan berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia. (tirto.id, 23/10/2019).

Faktanya narasi radikalisme merupakan cara untuk membungkam sikap kritis dan dijadikan alat untuk menyerang ajaran Islam tentang wajibnya menasehati pemimpin _(muhasabah lil hukam)_ atas kezaliman yang dilakukannya. Sementara syariat Islam mewajibkan kaum muslim untuk mengingatkan atau mengkritik penguasa ketika melakukan kezaliman. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,

"Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Daud, at-Turmudzi dan Ibnu Majah).

Radikal pun kini terasa menjadi kata yang menakutkan, khususnya bagi umat Islam. Diawali dengan memonsterisasi simbol Islam seperti cadar, jenggot, celana cingkrang, bendera yang bertuliskan kalimat tauhid, hingga kajian-kajian Islam yang membahas ajaran khilafah. Ini tampak seolah menjadi penjajahan gaya baru. Dengan cara menyerang pemikiran umat Islam yang didalangi oleh kafir Barat. Hal ini dilakukan agar umat Islam menjadi takut dan menjauh dari agamanya sendiri. Akhirnya umat Islam akan selalu bercerai berai dan saling memusuhi satu sama lain. Seperti yang terjadi saat ini. Sangat miris.

Tak puas dengan narasi tersebut, kini pemerintah melempar wacana baru untuk mengubah istilah radikalisme dengan manipulator agama. Penggantian istilah tersebut dimaksudkan agar dapat mudah dipahami masyarakat. Dirjen Pendidikan Islam Kamenterian Agama Kamaruddin Amir menilai ini adalah hal yang tepat. Menurut pandangannya, mereka yang pantas disematkan sebagai pemanipulator agama adalah yang ingin menggunakan agama untuk tujuan berbeda. Baik sebagai bentuk kekerasan atau penghasutan secara ideologi yang bertentangan dengan falsafah negara. Ia pun berharap dengan diubahnya diksi tersebut, masyarakat lebih mampu mengartikan dan memahami bagaimana para oknum mencederai agama untuk tujuan menyimpang. (Liputan6.com 11/11/2019). Ini menjadi bukti bahwa umat yang gigih memperjuangkan syariat Islam kafah senantiasa diserang dengan labelisasi negatif.

Dalam pandangan Islam sikap kritis adalah suatu hal yang merupakan perintah syariat, terlebih terhadap kezaliman, kemungkaran dan kemaksiatan. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu juga maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’." (HR. Muslim)

Namun yang terjadi saat ini sikap kritis diartikan sebagai bentuk radikalisme, terutama oleh para pemangku kekuasaan. Sejatinya hal tersebut sebagai bentuk amar ma'ruf, nasihat menasihati agar kembali pada kebenaran. Bahkan menurut Rasulullah Saw, dalam sabdanya bahwa agama Islam sendiri adalah nasihat untuk setiap muslim.

"Agama itu nasihat." Kami pun bertanya, "Hak siapa (nasihat itu)?" Beliau menjawab, "Nasihat itu hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya serta imam-imam kaum muslim dan rakyatnya." (HR. Muslim)

Berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa agama adalah nasihat bagi kita semua, termasuk di dalamnya bagi para pemimpin muslim. Adapun maksudnya yaitu membantu mereka atas kewajiban yang mereka emban, memberikan masukan dan mengingatkan tatkala mereka lupa. Juga mencegah mereka dari perbuatan zalim dengan cara yang baik.

Tentunya sikap kritis yang dilakukan oleh umat muslim wajib bersandar pada teladan umat yakni Rasulullah Saw. Beliau mencontohkan bahwa sikap kritis itu harus diarahkan pada standar yang jelas yaitu syariat-Nya. Bukan pada prinsip demokrasi yang salah satu pilarnya adalah liberalisme, paham kebebasan tanpa batas yang tak sesuai dengan syariat.

Maka yang wajib umat muslim lakukan adalah terus melakukan dakwah, menyadarkan umat akan bahaya narasi radikalisme sebagai propaganda Barat kepada Islam. Umat akan terus berjuang menumbangkan seluruh narasi Barat dan membangun narasi Islam dalam pemikiran dan perasaan kaum muslim. Dengan demikian akan terjadi gelombang kesadaran umat akan pentingnya mendakwahkan dan memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah yang akan memberikan kebaikan bagi seluruh manusia dan alam semesta.

_Waallahu a'lam bi ash-shawab_

Post a Comment

Previous Post Next Post