Utopisnya Perubahan Via Demokrasi

Oleh : Junari 

Puan Maharani resmi dilantik menjadi ketua DPR RI periode 2019-2024. Dirinya dilantik pada tanggal 1 oktober lalu setelah partai PDIP yang diketuai langsung oleh ibunya Megawati Soekarno Putri, meraup suara terbanyak dalam pemilu serentak April lalu. Partai berlambang kepala banteng itu pun mengusungnya sebagai ketua DPR RI. Sebelumnya cucu Presiden RI pertama ini juga telah melepaskan jabatannya sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). (https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/10/01/15053101/dilantik-jadi-anggota-dpr-puan-mengaku-mundur-dari-menko-pmk-kemarin)

Pemilu selalu membuka ruang tumbuhnya harapan baru bagi rakyat. Kondisi hidup yang kian mengiris hati menjadikan mereka rindu pada perubahan model kepemimpinan yang dirasa tidak pro rakyat. Mereka mendambakan kepemimpinan adil yang pro rakyat. Peduli dengan masalah mereka sehingga dapat teratasi dengan tuntas. 
Setiap 5 tahun sekali, harapan itu tumbuh. Pesta demokrasi seolah menjadi jawaban dan pertanda dekatnya fajar perubahan yang dinanti. Namun benarkah terpilihnya para wakil rakyat baru kini dapat memenuhi harapan rakyat itu?

Demokrasi amat populer dengan semboyannya sebagai sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dengan kata lain demokrasi adalah tatanan hidup yang sesuai kehendak dan isi hati rakyat. Dalam sejarah bahkan ia lahir sebagai revolusi melawan kesewenang-wenangan penguasa Eropa atas rakyat. Demokrasi merupakan tatanan hidup baru yang katanya bisa menjadikan rakyat bebas mengatur kehidupan sendiri sesuai kemauan sendiri. Hingga asasnya pun adalah kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bertumpu pada suara mayoritas. Karena seluruh rakyat tidak mungkin berkumpul di suatu tempat secara terus-menerus untuk membahas dan membuat pertimbangan atas berbagai kepentingan mereka maka dipilihlah wakil rakyat berdasarkan suara mayoritas. Merekalah yang nantinya merepresentasikan keinginan hati rakyat dan mewakili mereka di parlemen.

Konsep di atas jika ditelisik, baik di negara asalnya maupun di negara-negara pembebeknya, demokrasi tak mungkin diterapkan alias utopis. Sebab nyatanya, para penguasa maupun wakil rakyat yang duduk di parlemen hanya mewakili kehendak dan kepentingan para kapitalis. Karena para konglomerat itulah yang telah mendudukkan mereka di berbagai kursi jabatan, mereka pula yang mengucurkan dana  untuk membiayai kontestasi yang diikuti oleh para calon wakil rakyat. Sehingga ketika mereka berhasil duduk di kursi jabatan, imbalannya adalah harus tunduk pada 'tuan-tuan' nya itu. Hal ini sungguh makin nyata terlihat ketika berbagai kebijakan yang ada hanya menguntungkan segelintir orang, yaitu para kapitalis/pemilik modal. Sedangkan di sisi lain rakyat justru menjerit karena himpitan hidup yang makin mengiris hati di sana sini.
Alhasil, semboyan wakil rakyat yang katanya menyuarakan dan memperjuangkan kehendak dan isi hati rakyat hanya ungkapan kosong tanpa bukti. 

Dengan demikian pula, terjalin hubungan saling menguntungkan diantara keduanya. Para kapitalis punya kepentingan agar segala sesuatu yang berkaitan dengan bisnis mereka mulus dengan bantuan wakil rakyat (apabila terpilih nanti). Sedangkan calon wakil rakyat punya kepentingan ingin duduk di kursi jabatan. Hal ini diwujudkan dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung konsesi misalnya. Jadi demokrasi hanyalah jalan bagi mereka untuk memuaskan ambisinya meraup keuntungan pribadi. 

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi lazim dikenal pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Pembagian itu terdiri dari 3 jenis yaitu kekuasaan eksekutif (pelaksana UU),  legislatif (pembuat UU) dan yudikatif. (Pengawas pelaksanaan UU). Yang termasuk kekuasaan eksekutif seperti kepala negara, gubernur, walikota, bupati,  camat dan kepala Desa. Yang termasuk kekuasaan legislatif misalnya DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan yang termasuk dalam kekuasaan yudikatif adalah MA, MK dan KY.

Tiga kekuasaan di atas dikenal dengan istilah trias politika. Pembagian kekuasaan tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah satu dari 3 jenis kekuasaan yang ada. Sehingga negara tetap stabil karena ada lembaga yang saling menjaga dan menjalankan fungsi check and balance System. Setiap jenis kekuasaan, baik eksekusi, legislatif dan yudikatif,  masing-masing bisa saling mengawasi dan mengontrol.

Secara konsep, adanya tiga jenis kekuasaan diatas sejatinya suatu pemerintahan harus tegak dengan senantiasa teguh pada kebenaran dan keadilan. Juga agar pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat dapat terealisasi, sebab itulah semboyan demokrasi. Namun melihat kondisi hari ini, ketika Puan naik sebagai ketua DPR yang berfungsi sebagai lembaga eksekutif, lembaga yang akan membuat undang-undang  di tengah posisi jokowi sebagai petugas partai berlambang kepala banteng. Sedangkan Megawati adalah ketua umumnya, sangat sulit mengharapkan fungsi check and balance System dapat berjalan sebagaimana konsepnya. Terlebih sejak awal hanya ikatan kepentingan yang mengikat mereka. Dengan demikian konsep trias politika hanya sekedar konsep 'indah' yang tak akan bisa direalisasikan alias omong kosong belaka dalam sistem demokrasi. 

Karena itu sudah saatnya bangsa ini berhenti berharap terjadinya perubahan lewat demokrasi. Sudah saatnya bangsa ini 'memutuskan' hubungan dengan demokrasi. Membuangnya jauh dari tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya pula bangsa ini kembali menerapkan Islam yang menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik. Sebab islam telah terbukti sejalan dengan fitrah manusia. Karena islam berasal dari Penciptanya manusia yang menggenggam hidup dan mati manusia. Otomatis Dialah yang paling berkuasa di atas manusia ciptaan-Nya. Dan paling tahu juga mana sistem hidup ideal yang seharusnya diterapkan agar kesejahteraan hidup dapat terwujud. Sebab islam adalah pembawa berkah. Allahu Alam bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post