Fungsi KPK Melemah, Korupsi Makin Mudah

Oleh : Ismawati 
(Aktivis Muslimah Palembang)

Apa yang ada dibenak anda ketika mendengar kata korupsi? Menyedihkan bukan? apalagi tindakan ini dilakukan oleh seorang pejabat publik, bahkan politisi yang dengan tega memanfaatkan uang negara dan menyalahgunakan kepercayaan publik untuk mendapatkan kepentingan pribadi. Diindonesia, kasus korupsi elit politik agaknya makin tumbuh subur. Sebut saja misalnya Kasus E-KTP yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dengan kerugian negara mencapai Rp.2,3 Triliun, kemudian Proyek Hambalang yang menyeret Mantan Menpora Andi Malarangeng, Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Dirut PT Duta Sari Citra Mahfud Suroso, yang terbaru OTT Ketum PPP Romahurmuzy, dan Menpora Imam Nahrawi.

Namun ditahun 2019 ini muncul revisi UU KPK yang dinilai pro koruptor. Pasalnya, seperti dilansir tribunnews.com pada Selasa (17/9) pemerintah dan DPR resmi mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentng Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK. Pengesahan ini dilakukan ditengah penolakan yang disampaikan oleh KPK, publik dan kalangan akademisi. Berdasarkan naskah revisi UU KPK per 16 September 2019 yang telah disahkan oleh Pemerintah dan DPR tersebut terlihat sejumlah pasal-pasal yang dinilai dapat melemahkan KPK.

Ketentuan tersebut antara lain Pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 37 Revisi UU KPK), Kewenangan penghentian penyidikan (Pasal 40 Revisi UU KPK), Izin Penyadapan, Penyitaan, dan penggeledahan (Pasal 37 Revisi UU KPK), KPK masuk rumpun eksekutif (Pasal 1 Ayat 3 Revisi UU KPK), Pegawai KPK bestatus Aparatur Sipil Negara (Pasal 1 ayat 6 Revisi UU KPK). Revisi UU KPK juga memberikan dampak lain terhadap korupsi yaitu kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime, kewenangan pimpinan KPK dibatasi, kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan dan perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti dan yang terparah adalah memangkas sejumlah kewenangan penindakan KPK khususnya pada tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK.

Praktik korupsi kian tumbuh subur di Indonesia, dengan fakta banyaknya pejabat atau elit politik yang berhasil terbongkar kasus korupsinya setidaknya cukup membuktikan kemampuan KPK dalam memberantas korupsi diranah pejabat negara. Namun, apa daya bila akhirnya Revis KPK ini di resmikan yang justru malah melemahkan fungsi KPK sebagai Komisi Pemberantas Korupsi. Didalam demokrasi yang mengadopsi sekulerisme (pemisahan agama dalam kehidupan) korupsi oleh para pejabat atau elit politik kian merajalela yang menyebabkan hilangnya nilai-nilai ketakwaan dari individu tekhusus dalam ranah politik maupun pemerintahan.

 Kemudian kapitalisme yang menjadi dasar sistem ekonominya mengharuskan para politisi mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menjadi calon legislatif maupun presiden. Untuk menjadi calon anggota legislatif saja dibutuhkan biaya yang mahal yakni ratusan hingga milyaran rupiah. “ongkos” politik ini digunakan untuk membayar “mahar” kepada partai politik si caleg ditambah besarnya biaya untuk kampanye calon anggota legislatif . Maka wajar, ketika telah terpilih menjadi anggota legislatif atau kepala daerah akan dengan mudah melakukan korupsi dengan dalih ingin mengembalikan “modal” karena tunjangan maupun gaji tidak dengan cepat menutupi modal yang telah digunakan

Berbanding terbalik apabila islam digunakan sebagai sistem yang mengatur kehidupan bernegara. Syariat islam diterapkan atas 3 pilar yakni Individu, Masyarakat dan Negara. Didalam sistem islam, asas dasar akidah islam mampu melahirkan ketakwaan individu karena setiap muslim akan senantiasa merasa diawasi gerak geriknya oleh Allah SWT. Kemudian didalam islam ongkos politik tidaklah mahal, untuk pengangkatan seorang Khalifah (Kepala Negara) saja tidak boleh lebih dari 3 hari. Pembatasan masa 3 hari ini diambil dari ketetapan Umar ra. Dari Ath-Thabari meriwayatkan bahwa Umar ra. Benar-benar menegaskan pentingnya pembatasan waktu selama 3 hari untuk mengangkat khalifah dengan mengatakan : “Jika saya meninggal maka bermusyawarahlah kalian selama tiga hari. Hendaklah Suhaib yang mengimami shalat masyarakat. Tidaklah datang hari keempat, kecuali kalian sudah harus memiliki amir (Khalifah).” (Al-Khalidi, Qawaid Nizham al-hukm fi al-islam, hlm.256)

Lalu dalam mengangkat seorang pemimpin dan aparatur negara syarat adil dan takwa sebagai kriteria utama agar mereka memiliki self control yang baik. Dan dalam sistem islam gaji yang memadai akan diberikan kepada aparaturnya yakni gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka maka celah korupsi akan tertutup. Sistem islam ini tidak lain adalah Khilafah Islamiyah dengan segala syariatnya yang menjadikan manusia tidak rakus akan materi dan senantiasa menjadikan jabatan adalah amanah yang harus diemban dengan baik karena di yaumil akhir pasti akan dimintai pertanggungjawaban. 

Wallahua’lam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post