Ada Apa di Balik Film The Santri

Oleh : Fitri Rahmadhani.s

Dengan adanya internet kini semua orang dapat mengakses segala informasi, namun perlu disaring agar tidak terjadi kekeliruan yang dapat merusak. Kini di media sosial banyak menyajikan film-film yang mendidik maupun sebaliknya. Namun kali ini ada suatu film yang menjadi sorotan publik, yaitu tidak lain adalah film The Santri yang menuai kontroversi. Dalam trailer resminya, film bergenre drama aksi ini mengisahkan kehidupan di sebuah pondok pesantren yang sedang mempersiapkan perayaan Hari Santri. Film The Santri ini dibintangi oleh Azmi Askandar (Gus Azmi), Veve Zulfikar, dan Wirda Mansur (putri Ustad Yusuf Mansur). Sementara KH. Said Agil Siradj, Ketua Umum PBNU didapuk sebagai Executive Producer dengan penata musik komposer Purwacaraka, Rencananya film ini akan diluncurkan pada bulan Oktober, bertepatan dengan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap
tanggal 22 Oktober. Film ini hasil kerjasama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan sutradara Livi Zheng.
Dalam wawancar anya dengan Tirto.id, sutradara Livi Zheng mengatakan, naskah The Santri berasal dari PBNU, dengan revisi dari pihaknya. "Iya, dong. revisi naskah tergantung dari pasar yang hendak disasar. Apakah pasar AS atau bukan, "tutur Livi kepada Tirto. Livi juga menjelaskan, The Santri sendiri dibuat untuk pasar Amerika Serikat (AS). "Aku mengusahakan supaya semua filmku masuk di AS karena distribusinya lebih gampang." Tambahnya. (https://www.kompasiana.com/primata/5d7fa6c90d82300cca4e4a52/kontroversi-film-the-santri). 
             Ada banyak penggambaran yang dipermasalahkan dan menuai kontroversi dari film The Santri ini.
Pertama, terletak pada penggambaran pergaulan para santri di pondok pesantren. Dalam trailer resminya, terlihat cuplikan adegan santri perempuan dan santri laki-laki bisa berjalan bersama tanpa ada pemisahan, terlihat pula Azmi Askandar dan Wirda Mansur saling mencuri pandang dan tersenyum penuh makna. Kemudian ada juga adegan Azmi tengah menemani Wirda Mansur yang sedang naik kuda, lalu memberi sebuah buku.  Padahal sesungguhnya dalam Islam perempuan dan laki-laki tidak boleh bersama disuatu tempat tanpa adanya pembatas dan mahrom dari pihak wanita, kecuali pada yang telah ditentukan dan diperbolehkan oleh syara, yakni ketika proses jual beli, pendidikan dan kesehatan. Sungguh, film the Santri tidak menggambarkan kehidupan pesantren yang sesungguhnya.  
        Karenanya sehingga Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI), Hanif Alathas, mengajak warganet untuk memboikot film ini. Menurut menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, film itu tidak mencerminkan akhlak dan tradisi santri yang sebenarnya. Bahkan banyak netizen yang menantang Livi Zheng (sutradara kafir), atau siapapun juga untuk menunjukkan pondok pesantren mana yang mengijinkan santrinya bisa bergaul bebas seperti yang diperlihatkan film The Santri. 
Kontroversi kedua terletak pada adegan pemberian tumpeng oleh dua orang santri putri kepada para pastur disebuah gereja. Dalam adegan tersebut Wirda Mansur menyerahkan tumpeng sembari mengatakan ini adalah tanda cinta.  Ini adalah contoh toleransi beragama yang keliru. 
               Jika kita berfikir secara cemerlang dan kritis, maka kita akan menyimpulkan atau berpendapat bahwa film ini menunjukkan kentalnya akan budaya bebas atau liberal. Budaya kebarat-baratan yang telah diadobsi oleh kaum Muslim sendiri. Sekaligus Sekularisme, dimana santri yang mengamalkan sholat fardu juga sunnah, memperbanyak hafalan Quran dan hadits, bahkan dilingkungan pesantren, tetapi pergaulannya tidak Islami alias tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Karena di film itu nampak ada ikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya pembantas atau pemisah, dan adanya khalwat atau berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya. Tentu banyak pihak yang menyayangkan hal demikian, karena jelas telah mencitra burukan nama santri sekaligus pesantren. Terlebih atas penguasa negara yang terkesan abai dan justru memfasilitasi para generasi dalam pergaulan bebas dengan mengizinkan tayangnya film tersebut. Padahal, harusnya  negara yang punya kuasa dan kebijakan memfasilitasi remaja agar berilmu dan bertakwa. Tentunya dengan menjadikan industry perfilman menayangkan tayangan yang mendidik. Karena remaja mempunyai potensi yang besar dalam kemajuan suatu bangsa dan negaranya. 
Kita dapat mengambil pelajaran dan teladan dari kisah Sultan Muhammad Al Fatih, yang mendapat julukan Al Fatih (sang Penakluk), karena telah berhasil menaklukkan kota Konstantinopel yang dilakukan pada saat    usianya masih 21 Tahun. Di usianya yang terbilang cukup muda, Sultan Muhammad Al Fatih telah mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika dan menguasai enam bahasa. Luar biasanya keberadaan Muhammad Al-Fatih ini pun telah diprediksi oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Kota Konstantinopel akan jatuh ketangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik- baik pemimpin dan pasukan yang berada dibawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang hebat dan tawadhu. Upayanya dalam menaklukkan Konstantinopel menyebabkan banyak kawan dan lawan kagum dengan kepemimpinannya serta taktik dan strategi peperangannya juga kaedah pemilihan tentaranya. Muhammad Al Fatih adalah satu dari banyaknya pemuda-pemuda hebat yang tercipta dari kondisi Negara yang menerapkan aturan Islam. Pemuda yang mengisi masa mudanya untuk belajar dan berjuang demi agama dan bangsanya. Bukan pemuda alay yang dimabuk cinta layaknya di film the Santri tadi. 
               Oleh karena itu, negara sangat berpengaruh dan berperan terhadap pencetakan generasi. Sehingga mewujudkan sebuah Negara yang menerapkan aturan Islam kaffah adalah kewajiban sekaligus kebutuhan bagi kita semua. Karena agama dan Negara ini membutuhkan munculnya para generasi unggul yang siap mendedikasikan seluruh potensi hidupnya untuk kemuliaan agama dan umatnya. Juga telah terbukti, Negara yang menerapkan system Sekular yakni membuang jauh aturan Islam dalam kehidupan tidak mampu melakukan hal demikian. Justru menghasilkan generasi bermental kerdil dan jiwa yang kering dari ahlak dan ketakwaan. Marilah kita berjuang bersama untuk mewujudkannya. Karena firman Allah Swt dalam Q.S Ar-Rad/13: 11:“ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri  mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
Waallahu ‘alamu bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post