Revisi UU KPK, Siapa yang Diuntungkan?

Oleh Elin Nurlina 
(ibu rumah tangga)

Permasalahan di negeri kita seperti tak ada habisnya, satu masalah belum teratasi datang masalah lain. Salah satunya yang sedang menghangat bahkan bagai bola panas yang sedang menggelinding yaitu mengenai kisruh mengerdilan KPK. Lembaga yang tujuan awalnya untuk memelihara dan menjaga keseimbangan pelaksanaan, pencegahan, dan penindakan korupsi dengan berorientasi pada pengembalian kerugian negara secara maksimal, kini dianggap tidak lagi profesional. Seperti yang diungkapkan Romli bahwa perjalanan KPK selama 17 tahun, terutama sejak jilid 3 itu telah menyimpang dari tujuan awal pembentukan KPK. KPK yang seharusnya dapat melaksanakan fungsi trigger mechanism melalui koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan tapi tidak dilakukan. Menurut Romli, KPK terkesan lebih sering bekerja sendirian tanpa berkoordinasi dan supervisi dengan polri dan kejaksaan. Menurutnya,  Intinya KPK tidak melaksanakan tugasnya secara maksimal .

Akibat yang demikian, DPR berencana melakukan Revisi UU KPK dengan pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis, dan alasan komprehensif. Pakar hukum dan tata negara Romli pun menilai bahwa revisi tersebut sudah tepat demi memperbaiki kinerja lembaga antirasuah itu. 

Akan tetapi tak semudah yang diharapkan, pro kontra pasti akan selalu menghiasi dalam sebuah rencana apalagi ini menyangkut lembaga negara yang notabene selalu disorot kinerjanya. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, para pegawai KPK dan sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi protes sebagai penolakan atas rencana tersebut. Salah satunya datang dari mantan ketua KPK Busyro Muqoddas, menurutnya semua fraksi di DPR sepakat membunuh KPK, merekalah pembunuh rakyat. Dia pun berujar, pengabdian KPK terhadap Indonesia sudah cukup banyak dan saat ini harus diselamatkan. Senada dengan Busyro, Abraham Samad pun menyoroti poin revisi UU KPK yang bakal melemahkan lembaga antirasuah itu. Salah satu poin pelemahan yakni dibentuknya dewan pengawas dan adanya surat proses penghentian penyidikan (SP-3). Dimana nantinya dewan pengawas ini bertugas mengawasi KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Padahal sistem kolektif kelima pimpinan KPK adalah bagian dari sistem pengawasan. Tidak perlu melibatkan badan lain yang akan memperpanjang alur penyadapan dengan resiko bocor sebelum dijalankan.

Kisruh yang terjadi di KPK seperti tak selesai-selesai, ini membuktikan karena sistem politik yang dijalankan sarat berbagai kepentingan. Entah itu kepentingan siapa, tapi yang pasti, setiap ada rencana pasti ada dalang di balik itu. Bahkan berita terbaru mengabarkan bahwa ada dana besar hingga ratusan miliar yang dikumpulkan para pemain proyek pemerintah dan BUMN korup serta mafia migas dan tambang korup untuk menggolkan revisi UU KPK oleh DPR dan pemerintah. Dana tersebut disalurkan kepada oknum anggota DPR RI di Senayan dan pejabat eksekutif. 

Bukan berburuk sangka, menjadi rahasia umum, dalam proses demokrasi akan selalu hubungan terlarang antara pengusaha dengan wakil rakyat, dimana setiap wakil rakyat yang terpilih memiliki beban moril dan material kepada para pengusaha yang telah membiayai proses pemenangannya. Potensi korupsi sebagai implikasi dari upaya mengembalikan modal pemiliu di kalangan wakil rakyat sebagai jebolan partai politik sudah bukan rahasia lagi. Bahkan partai pemenang pemilu menduduki ranking 1 dalam hal prestasi korupsi. Oleh karena itu, para pengusaha dan orang-orang yang didanai oleh para pengusaha akan memiliki kepentingan dalam menjegal kiprah KPK dalam memberantas korupsi. Maka revisi UU KPK ini menjadi hanya sekedar dalih saja.

Selain itu usulan Presiden untuk menjadikan pegawai KPK sebagai ASN memberikan kesan keajegan KPK sebagai lembaga yang independen. ASN sebagai pegawai negara akan menjadi bawahan yang mengupahnya sehingga akan mempengaruhi objektifitas saat melakukan penyidikan. Keberadaan dewan pengawas KPK seperti menciptakan pengangguran tak kentara yang sebenarnya kehadirannya tidak diperlukan dan hanya membuang-buang anggaran negara. Karena DPR dan perangkat lain sudah cukup menjadi dewan pengawas KPK yang akan melakukan audit secara transparan. Jangan seperti kasus BPIP yang memaksa negara membuang uang ratusan juta setiap bulannya hanya untuk menggaji Pembina Pancasila yang tidak jelas pekerjaannya. 

Miris memang kasus korupsi dari waktu ke waktu makin bertambah, mungkin dulu hanya bisa dilakukan di bawah meja tapi sekarang bisa terang-terangan bahkan berjamaah. Ada lembaga pemberantas pun tak sepenuhnya menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Sebab tak ada perubahan mendasar paradigma di tengah umat tentang fungsi kepemimpinan dan amanah kekuasaan, selama paradigma sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan dan sistem politik yang diterapkannya adalah demokrasi, maka pemberantasan korupsi hanya jadi mimpi saja, faktanya ya seperti yang terjadi saat ini.

Walhasil agar kasus korupsi tidak terjadi maka tidak lain solusinya adalah Islam. Kenapa harus Islam? sebab dalam Islam pada dasarnya memiliki 3 pilar, pertama ketakwaan individu. Apabila ketakwaan individu kuat maka tak mustahil orang yang berniat melakukan korupsi pun akan seribu kali berpikir bagaimana akibatnya kalau dia melakukan hal yang dilarang agama sebab dia menyadari akan hubungannya Allah. Pilar yang  Kedua adalah masyarakat yang peduli. Begitu pentingnya suatu  masyarakat yang peduli yang saling mengingatkan satu sama lain dari mencegah kemungkaran contohnya korupsi. Dengan berjamaah, umat Islam akan merasa lebih kuat dan kokoh daripada berjalan sendiri-sendiri tanpa peduli satu sama lain. Intinya menjadikan Islam sebagai ruh kehidupan. Atmosfer keimanan di tengah-tengah masyarakat telah menjadikan seorang individu akan memiliki rasa malu jika melakukan pelanggaran hukum syara’. Pilar yang ketiga adalah negara yang menerapkan syariah. Negara memiliki perangkat hukum yang jelas terkait tindakan korupsi sehingga akan memberikan efek jera kepada setiap pelakunya.

Ketegasan Islam dalam memberantas korupsi tidak mengenalkan istilah SP3 ataupun apa yang disebut dengan istilah pra peradilan, dimana ini menjadi celah buat para pelaku korupsi untuk merevisi statusnya sebagai tersangka. Inilah yang sampai saat ini belum terwujud, sebab saat ini sistem yang diberlakukan adalah sekulerisme . Padahal sesungguhnya peran negara yang menerapkan sangat dibutuhkan .kenapa? Karena adanya peran negara ketakwaan individu dan masyarakat yang perduli akan lebih kokoh ,sebab hanya negara yang bisa memantau dan menjalankan semua ini, termasuk mengadili orang yang korupsi maka akan ditindak dengan seadil-adilnya ,sehingga menimbulkan efek jera bagi para pelakunya .
Wallahu 'alam bishowwab

Post a Comment

Previous Post Next Post