Petaka Karhutla, Peran Negara Terabaikan

Oleh : Hamsina Halisi Alfatih

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meluas di Kalimantan dan Sumatera. Kejadian saat musim kemarau 2019 tersebut kembali memicu bencana asap di banyak daerah. Laporan bencana asap pun bermunculan dari Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat pada bulan ini.

Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB, titik panas ditemukan di Riau sebanyak 58, Jambi (62), Sumatera Selatan (115), Kalimantan Barat (384), Kalimantan Tengah (513) dan Kalimantan Selatan (178). (Tirto.id, 17/09/19)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih menghitung besaran kerugian yang dialami akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Rifai mengatakan penghitungan kerugian ini akan menggunakan metode Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana atau Jitu Pasna. ( Tempo.com, 18/09/19)
Akibat dari kebaran hutan dan lahan inilah ribuan orang menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat dampak kabut asap. Hal tersebut diketahui berdasarkan data Posko Satgas Siaga Darurat Kebakaran Hutan dan lahan (karhutla) Wilayah Kalimantan Tengah, pada Senin 16 September. ( Liputan6.com, 18/09/19).

Bencana kebakaran hutan dan lahan bukan hanya kali ini saja. 5 tahun silam, beberapa wilayah Indonesia yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan pun mengalami hal serupa. Hal ini bedasarkan data-data kebakaran hutan tahun 2014-2019 seperti dikutip dari situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Bengkulu dan Riau.

Peristiwa Berulang Akibat Kapitalisme
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Kompas.com dari pemberitaan sejak 1960-an hingga saat ini, kebakaran terjadi berulang, bahkan terlihat ada peningkatan jumlah titik api dalam empat dekade ini. Karhutla yang terjadi sejak 1967, bencana asap itu masih saja terjadi hingga saat ini.Bahkan kian meluas di sejumlah wilayah Sumatera, Kalimantan, dan hingga ke Jawa. Pemerintah seolah tak pernah belajar, bahkan cenderung abai.

Sepanjang peristiwa kebakaran hutan dan lahan, pencapaian kerugian tak hanya merusak lingkungan saja. Bahkan masyarakat harus menanggung penyakit infeksi saluran pernapasan akut ( ISPA) dan bahkan memakan korban akibat kabut asap. Ketidakpedulian pemerintah inilah yang menjadi faktor utama rusaknya ekosistem alam terlebih lagi adanya penerapan sistem kapitalisme.

Hal tersebut bisa kita saksikan bagaimana mandulnya peran pemerintah yang tak efektif dalam menangani peristiwa karhatla tersebut. Diantaranya, tiadanya ketegasan terhadap pengelola SDA yaitu korporasi  yang menguasai lahan tersebut. Selain itu, lemahnya hukum untuk menindak dan menjerat pelaku. Sehingga cacatnya hukum yang diterapkan oleh pemerintah semakin memberi jalan bagi pelaku.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme, hutan maupun lahan dikuasai oleh segelintir orang yaitu pihak swasta. Dengan modal yang besar dan demi mencapai keuntungan besar, kesejahteraan masyarakat dikesampingkan. Ditambah kebijakan pemerintah yang hanya menetapkan hukum sanksi administratif bagi korporasi maupun pelaku pembakaran. Hal ini sampai kapanpun tidak akan mengakhiri masalah kebakaran hutan dan lahan.

Sehingga hutan maupun lahan yang diserahkan kepada korporasi menjadi alih fungsi. Akibatnya, maraknya pembakaran hutan dan lahan terjadi hampir setiap tahunnya. Fatalnya, kita mendapatkan kerugian sementara para kapitalis menikmati keuntungan besar. Maka dalam hal ini, pemerintah seharusnya bercermin dari peristiwa karhutlah sebelumnya dengan mengambil kembali fungsi hutan dan lahan serta menetapkan hukum yang tegas bagi  pelaku guna memberi efek jera. Hal ini semata-mata untuk mengembalikan hak masyarakat sebagai penikmat SDA dinegeri sendiri.

Akhiri Karhutla dengan Islam
Buah dari penerapan sistem kapitalisme terbukti gagal, dan hal ini justru membawa dampak buruk serta kerusakan di tengah-tengah umat manusia. Hal ini terlihat bagaimana peran kaum kapitalis dalam menguasai SDA di Indonesia. Terlebih lagi keabaian pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan dari tahun ketahun.

Maka, islam hadir sebagai solusi. Diantaranya untuk menuntaskan dan mengakhiri peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi di beberapa wilayah di Indonesia yang memang rentan terjadi pembakaran.  Dalam hal ini islam menawarkan dua solusi tuntas untuk mengakhiri karhutla yaitu melalui dua pendekatan: pendekatan tasyri'i(hukum) dan ijra’i (praktis).

Secara tasyri'i ( hukum), Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasulullah saw. bersabda: 
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah)

Islam mengharamkan semua harta milik umum diserahkan kepada swasta, baik swasta nasional apalagi swasta asing. Harta milik umum itu harus dikelola oleh negara yang mewakili masyarakat, dan hasilnya digunakan untuk kemakmuran serta kesejahteraan umat manusia.

Adapun secara ijra'i ( praktis), Pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.

Dalam mewujudkan Tasyrî’i dan Ijra’i hanya ketika diterapkannya syari'ah dalam bingkai khilafah yang mengikuti metode kenabian. Hanya dengan khilafah kebakaran hutan dan lahan bisa diakhiri dan fungsi hutan dan lahan dikelola oleh negara guna untuk mewujudkan kesejahteraan serta kemakmuran umat manusia.

Wallahu A'lam Bishshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post