Papua Sejahtera Dengan Khilafah



Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Papua kembali berduka. Pasca kerusuhan yang terjadi di Manokwari yang berujung pembakaran kantor DPRD dan bendera merah putih. Kerusuhan yang dipicu keributan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya yang bernuansa rasial pada Kamis sore, 16/8/2019 lalu.

Miris melihat kejadian demi kejadian yang menimpa saudara kita di sana. Ada masalah krusial di balik semua ini dari mulai kemiskinan, pemerataan pembangunan, ketertindasan, ancaman disintegritasi pembantaian sipil dan militer oleh OPM dan masalah kesehatan. Semua ini akibat negara tidak optimal menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.

Rakyat Papua merasa seperti dianaktirikan, merasa tidak diperlakukan dengan adil, terzalimi, sehingga sangat mudah tersulut emosi ketika ada yang memantik api permusuhan.

OPM telah terang-terangan mengumumkan perang kepada negara, menyandera dan membunuh anggota Polda Papua, serta mengirim mayatnya ke institusi tempatnya bekerja.

Ke mana mereka yang lantang teriak NKRI harga mati? Mereka yang mengaku paling Pancasilais, garda terdepan penjaga keutuhan negara?
Mereka mendadak bungkam, diam seribu basa. atau pura-pura buta dan tuli? Entahlah!

Tidak pernah ada tuduhan teroris, radikal, ekstrimis untuk OPM seperti tuduhan  mereka pada orang atau kelompok yang justru ingin menyelamatkan negeri ini dari perpecahan dengan terus mengopinikan penerapan syariah secara kaffah.

Bendera merah putih sengaja dibakar. Namun,  apa reaksi mereka? Bukankah ini pelecehan terhadap simbol negara? Mirisnya Presiden Jokowi malah menghimbau masyarakat untuk saling memaafkan.

Kejadian yang berawal dari unjuk rasa memperingati Perjanjian New York 1962 antara Indonesia dan Belanda. Perjanjian yang dilatar belakangi oleh sejarah Indonesia untuk merebut Papua bagian barat dari tangan Belanda. Amerika yang takut jika Uni Soviet ikut campur dalam masalah Papua ini mendesak Belanda untuk mengadakan perjanjian atau perundingan dengan Indonesia.

15 Agustus 1962 Belanda menyerahkan  Papua bagian barat melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Papua bagian barat kembali ke Indonesia. Tahun 1969 diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menghasilkan keputusan bahwa rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam pangkuan ibu pertiwi Indonesia.

Lalu bagaimana nasib Papua setelah perjanjian ini? Ternyata rakyat Papua tetap dijajah. Namun dengan gaya baru. Kekayaan alamnya berupa gunung emas (Freeport) terus diekploitasi AS. Konflik Papua seolah dijaga agar bisnis tambang ini tetap berjalan mulus. Rakyat Papua disibukkan dengan dengan konflik, sehingga daya kritisnya terhadap penjajah teralihkan. Papua tetap bak gadis molek yang jadi rebutan para kapitalis.

Ketidakadilan dalam pengurusan warga oleh penguasa menambah lengkap masalah di Papua. Masalah transportasi salah satunya. Pemerintah membangun  jalur Trans Papua yang tidak bisa diakses seluruh warga karena bentang alam di sana yang terdiri dari pulau-pulau kecil.

Setiap kali ada konflik, maka isu referendum selalu terdengar dan semakin masif. Para penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya memasang dua spanduk baru setelah insiden pengusiran terhadap Gubernur Papua Lukas  Enembe. Spanduk itu bertuliskan "Lepas Garuda dan Referendum is Solution". ( CNN Indonesia, 27/8/2019)

Setidaknya ada beberapa alasan kenapa isi wacana referendum ini terus digaungkan,  yaitu: 
Pertama, sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kedua,  trauma masa lalu tentang kekerasan negara dan pelanggaran HAM tahun 1965. Ketiga,  Diskriminasi terhadap masyarakat Papua. Keempat,  kesenjangan sosial dan pembangunan serta intervensi asing. Negara seolah diam atas wacana ini, seperti tidak terjadi apa- apa, konflik ini seperti disengaja.

Akan berbeda jika kita kembali pada aturan Islam, dimana upaya pemisahan diri dari suatu bangsa adalah terlarang (haram). Pelakunya wajib diberi peringatan. Bahkan,  jika perlu diperangi.

Disamping itu, negara hadir dan terjun langsung dalam periayahan umat dimanapun, dan apapun kondisinya.  Sehingga tindakan diskriminatif bisa diminimalkan. Negara dengan sistem ekonomi Islam akan mengatur dan menjadikan distribusi kekayaan berjalan adil. Maka dengan hadirnya negara, sistem yang bagus, _insya Allah_ Papua akan sejahtera. _Wallaahu a'lam_.

Post a Comment

Previous Post Next Post