Karhutla Membara, Kapankah Berakhir?

Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau belum juga berakhir. Sebagian sekolah diliburkan karena jarak pandangnya hanya 200 hingga 400 meter.  Jadwal penerbangan ditunda, ribuan warga menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). 

Dilansir dari CNN Indonesia, presiden Jokowi sudah memantau  penanganan karhutla di provinsi Riau. Jokowi menekankan kepada jajarannya soal pentingnya pencegahan untuk menghindari kebakaran membesar dan meluas seperti sekarang. Untuk melakukan pemadaman Jokowi sudah memerintah penambahan pasukan 5.600 personel.

Namun, langkah Jokowi untuk menangani karhutla tidak membuahkan hasil. Terbukti, kasus karhutla tidak ada penyelesaian tuntas. Bahkan menurut Team Leader Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas menyebut Jokowi yang datang meninjau karhutla dan berjanji menyelesaiakannya sehingga karhutla tidak akan terjadi lagi hanyalah langkah yang tidak ada tindakan realnya. Karena kasus karhutla saban tahun masih terjadi baik skala kecil hingga skala besar.

Pembakaran hutan dan lahan sangat berbahaya bagi warga maupun ekosistem lain. Semestinya Pemerintah daerah dan pusat memaksimalkan penyelesaian masalah karhutla. Apalagi karhutla yang terjadi di Provinsi Riau dan Kalimantan sudah berlangsung lama. 

Terlebih kasus karhutla bukanlah bencana alam, namun lebih disebabkan karena ulah tangan manusia. Tujuannya untuk membuka lahan. Agar cepat bersih dan siap diolah, pembakaran hutan menjadi solusinya. Pembukaan lahan ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Seperti yang disampaikan oleh menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, lima perusahaan asing asal Singapura dan Malaisya menjadi penyebab terjadinya karhutla di provinsi Riau.

Ibarat pribahasa, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Perusahaan besar yang berasal dari asing, tidak mungkin bisa masuk dan mendirikan perusahaan nya jika tidak ada izin pihak dalam negeri. Dengan berkedok investasi atau pinjaman dana dari asing, maka pihak asing bisa menguasai negeri jajahannya. Melalui undang-undang dari negara, perusahaan-perusahaan besar bebas melakukan apa saja tanpa ada sanksi yang tegas dari negara. Semua ini terjadi karena negara menerapkan sistem ekonomi neoliberal yang berasal dari sistem kapitalisme.


Begitulah jika manusia diserahi wewenang untuk  mengatur kehidupan, kebebasan individu diagung-agungkan. Tak perduli mana yang termasuk kepemilikan umun dan kepemilikan individu. Dalam islam, hutan merupakan kepemilikan umum. Rasulullah besabda :

"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api"(HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Karena hutan merupakan milik umum, maka individu atau kelompok tidak boleh memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Negaralah yang akan mengelola kemudian hasilnya untuk menyejahterakan rakyat. Misalnya  untuk pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Dengan demikian, kasus karhutla tidak akan terulang.

Apabila ada orang atau kelompok yang dengan sengaja melakukan pembakaran hutan dan lahan, negara akan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku tersebut dengan sanksi yang adil. Sanksinya pun langsung dijatuhkan di tempat oleh qadhi hisbah yakni hakim yang menangani penyelesaian dalam masalah penyimpangan  yang dapat membahayakan hak-hak rakyat seperti kasus karhutla.
Wallahua'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post