Hijrah Perubahan Hakiki

Oleh : Ani Hayati, S.HI 
(ummu Rozan)

Masih tentang hijrah. Memasuki tahun baru Islam tanggal 1 Muharram 1441H /Minggu 1/9/2019 lalu, kaum muslimin tentu bersuka cita menyambutnya. Beragam kegiatan semarak dilakukan. Dari kirab, pawai, hingga pengajian kerap mewarnai kegiatan Muharram. 

Ada satu momen sejarah tak terlupakan, yaitu hijrahnya Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Kala itu perintah hijrah Rasul datang langsung dari Allah Ta’ala. Berdakwah selama 13 tahun di Mekkah, tak juga menjadikan Islam berjaya. Datanglah pertolongan itu dari penduduk Madinah. Setelah baiat aqabah kedua, kaum Anshor pun menjadi penolong dakwah Rasul. 

Sepintas, sejarah hijrah Rasul seolah tak miliki makna. Namun, bila kita mau mengkaji dan mencermati, ada pesan tersirat dalam peristiwa Hijrah Rasul. Dari hijrah, Rasul membangun pemerintahan Islam di Madinah. Dari hijrah, Rasul mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshor melintas batas budaya, suku, ras, dan golongan. Dari Hijrah, Rasul menetapkan hukum syariah dalam kehidupan. Sejak hijrah pula, Rasul membangun kekuatan untuk menyebarluaskan Islam ke penjuru jazirah arab melalui dakwah dan jihad.

Hijrah bermakna meninggalkan dari yang pertama menuju yang kedua, tidak berdiam diri atau bertetap diri. Menurut ibnu Hazm, hijrah adalah taubat meninggalkan dosa-dosa. Sedang menurut Imam Ibnu Rajab al Hanbali, hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan. Rasulullah saw bersabda, “Seorang Muslim adalah orang yang menjadikan muslim lain selamat dari lisan dan tangannya seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah.” (HR Bukhari, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Hakim, Ibn Hibban & Humaidi).

Sudah selayaknya kita sebagai hamba bermuhasabah. Segala kemaksiatan yang dilakukan di tahun – tahun sebelumnya harus dijauhi dan ditinggalkan. Apalah artinya tahun baru hijriyah, jika amal masih begitu-begitu saja. Maksiat masih merajalela. Momen hijrah adalah momen taubat berjamaah, yakni oleh individu sampai Negara, dari masyarakat hingga para penguasanya. Kembali taat pada Allah Ta’ala. Menegakkan hukum – hukum Allah dalam kehidupan. Menerapkan syariat Islam untuk mengatur dan menyelesaikan segala persoalan. Itulah makna hijrah yang sebenarnya.

Hijrah, bukan sekedar peristiwa mengenang sejarah. Hijrah adalah memetik hikmah dari hijrahnya Rasulullah saw. Hingga karena kecintaan mendalam kepada Allah dan RasulNya, para shahabat rela meninggalkan harta dan keluarganya demi berhijrah bersama Rasulullah saw. Sudahkah kita mengambil pelajaran dari peristiwa hijrah? 

Inilah pelajaran penting tentang hijrah. Pertama, hijrah adalah perintah Allah. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 218). Artinya, hijrah adalah pembuktian iman sekaligus ketaatan. Dimana wujud taat adalah terikat dengan hukum syariat seluruhnya tanpa terkecuali.

Kedua, momen perubahan. Akibat penerapan sistem non Islam seperti Kapitalisme - Sekulerisme, kondisi kaum Muslim masih terjajah dan tertindas. Sepatutnya kita berhijrah meninggalkan sistem rusak dan merusak ini menuju penerapan sistem Islam secara kaffah.

Ketiga, momen persatuan.  Bersaudaranya kaum Muhajirin dan Anshor menyimpan pesan untuk kita bahwa ikatan aqidah dan ukhuwah Islamiyah harus dikedepankan. Perbedaan pandangan harusnya tidak menjadikan kaum muslim terpecah belah. Perbedaan suku, bahasa, ras dan budaya bukanlah penghalang. Hingga tak boleh ada lagi persekusi dan penghadangan tehadap dakwah. Karena selama ini kaum Muslim hanya menjadi korban adu domba dengan berbagai isu dan stigma negatif semisal terorisme, Radikalisme, dan lainnya oleh para musuh Islam.

Hijrah adalah saat yang tepat untuk melakukan ketaatan total, yaitu tunduk dan patuh pada aturan Allah SWT. Membuang segala bentuk penjajahan baik fisik maupun pemikiran asing. Meninggalkan sistem Sekuler yang merusak. Bersegera mewujudkan sistem Islam secara kaffah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Allah SWT berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah.” (TQS al-Baqarah [2]:177) 
Jahiliyah Modern (saat ini)

Masyarakat modern saat ini jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat jahiliyah pra hijrah tampak banyak kemiripan, dan bahkan dalam beberapa hal justru lebih buruk. Ciri utama masyarakat jahiliyah dahulu adalah kehidupan diatur dengan aturan dan sistem jahiliyah, yaitu aturan dan sistem buatan manusia sendiri. Pada masyarakat Quraisy, aturan dan sistem kemasyarakatan dibuat oleh para pemuka kabilah. Hal itu mereka rumuskan melalui pertemuan para pembesar dan tetua kabilah di Dar an-Nadwah. Kondisi yang sama persis juga berlangsung saat ini. Kehidupan diatur dengan aturan dan sistem buatan manusia yang dibuat oleh para wakil rakyat yang berkumpul di gedung parlemen.

Dalam aspek ekonomi, riba, manipulasi, kecurangan dalam timbangan dan takaran, penimbunan, eksploitasi oleh pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang, dan lainnya, kental mewarnai kehidupan ekonomi masyarakat jahiliyah. Hal yang sama juga mewarnai kehidupan ekonomi modern saat ini. Bahkan saat ini riba justru menjadi pilar sistem ekonomi dan negara menjadi salah satu pelaku utamanya.

Pada aspek sosial, masyarakat jahiliyah pra hijrah identik dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Mabuk, pelacuran dan kekejaman menyeruak di mana-mana. Anak-anak perempuan yang baru lahir pun dibunuh. Kondisi itu juga terjadi saat ini bahkan lebih buruk. Perzinaan difasilitasi dengan lokalisasi. Jika dahulu anak perempuan yang dibunuh, sekarang banyak anak tanpa pandang laki-laki atau perempuan dibunuh bahkan sebelum lahir. Lihat saja data menunjukkan lebih dari dua juta aborsi terjadi setiap tahunnya di negeri ini.

Dalam aspek politik dan konstelasi internasional, bangsa Arab jahiliyah pra hijrah bukanlah bangsa yang istimewa. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan. Begitu pula saat ini. Negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, juga tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain; kecuali sebagai obyek penjajahan. Kekayaan alam negeri kita dijadikan jarahan oleh negara-negara penjajah dan para kapitalis. Jutaan kilometer persegi perairan dan jutaan hektar daratan negeri ini sudah dikapling-kapling untuk perusahaan-perusahaan yang kebanyakan asing. Sampai-sampai dalam eksploitasi migas, hampir sulit sekali menemukan bendera sendiri.

Karena itu tepat jika kondisi kehidupan saat ini disebut jahiliyah modern. Maju secara sains dan teknologi, namun aturan dan sistemnya tetap aturan dan sistem jahiliyah, aturan dan sistem buatan manusia.

Untuk itu mutlak harus dilakukan perubahan. Perubahan itu tidak akan datang begitu saja. Akan tetapi perubahan itu harus kita usahakan. Sebab Allah SWT berfirman: … إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ … “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (TQS ar-Ra’du []: 11). Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan: “Allah dalam ayat ini memberitahukan bahwa Dia tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga terjadi perubahan dari mereka sendiri, baik dari mereka atau dari orang yang mengatur atau mengurusi mereka atau dari sebagian mereka dengan sebab tertentu.”
Menjemput Perubahan Besar

Perubahan yang harus diwujudkan itu bukan sembarang perubahan, tetapi haruslah perubahan besar. Yaitu perubahan besar untuk merubah kejahiliyahan modern ini menjadi kehidupan yang Islami dan Allah ridhai. Perubahan besar itu hanya bisa direalisasikan dengan mencampakkan Sekulerisme Kapitalisme. Lalu menggantinya dengan akidah Islam dengan hukum-hukum syariah yang diterapkan secara total dan menyeluruh dalam sistem Islam yaitu al-Kilafah ar-Rasyidah. Sebagaimana firman Allah Swt, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ  “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (TQS al-Anfal [8]:24) Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Post a Comment

Previous Post Next Post