Hijrah Konstitusi Wujudkan Berkah Ilahi

Oleh: Rita Handayani
 Pegiat Dakwah

Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara artinya pindah atau berpindah dari suatu kondisi tertentu menuju suatu kondisi yang lain. Hijrah identik dengan perubahan ke arah yang lebih baik yakni  meninggalkan keburukan atau kemaksiatan menuju kebaikan atau ketaatan kepada Allah Swt.

Tentu standar kebaikan dan keburukan ini tidaklah boleh datang dari pandangan manusia. Sebab pemikiran yang labil pada manusia menjadikan sesuatu yang baik dan buruk bisa berubah sewaktu-waktu. Sebagai contoh, seorang turis yang ketinggalan pesawat terbang menganggap hal tersebut sebagai suatu keburukan. Tetapi, ketika mendapat informasi bahwa pesawat yang gagal ia tumpangi itu mengalami kecelakaan, pola pikirnya berubah. Ia menganggap ketinggalan pesawat tersebut sebagai kebaikan atau suatu anugerah.

Oleh karena, itu manusia haruslah mengikuti standar kebaikan dan keburukan yang ditetapkan oleh Allah Swt sebagai pencipta manusia. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam Al-Qur'an: 

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (TQS. Al-Baqarah: 216). 

Hijrah itu sendiri terjadi karena adanya kesadaran perlunya perubahan atas keadaan yang dialami ke keadaan lain yang ingin diwujudkan. Kesadaran tersebut tentu muncul karena adanya introspeksi diri. Sehingga introspeksi ini menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Jika kita mencermati dengan pemikiran yang jernih dan perasaan yang peka maka akan kita dapati kondisi masyarakat kita mirip seperti kondisi umat Islam sebelum hijrah masa Nabi. Sehingga sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai "jahiliyah modern".

Dari sisi aqidah, aqidah masyarakat Arab sebelum hijrah saat itu penuh dengan kemusyrikan. Meski kebanyakan masyarakat Arab berkeyakinan bahwa pencipta mereka adalah Allah. Namun nyatanya dalam praktik ibadah, mereka membuat berbagai perantara untuk menyembah Allah. Seperti dengan perantara menyembah malaikat, matahari, binatang, jin dan berhala-berhala yang banyak sekali jumlahnya.

Tak jauh berbeda dengan masyarakat saat ini, walaupun agama Islam telah menyinari nusantara sejak kekhilafahan Utsmaniyah berkuasa di dunia. Namun berbagai kemusyrikan dan aliran sesat terus bermunculan.

Dari sisi sosial, masyarakat Arab sebelum hijrah adalah tukang mabuk, tukang judi, dimana kekejaman dan kebiadaban bangsa Arab luar biasa melampaui batas kemanusiaan, pelacuran dan perzinaan pun merupakan hal yang biasa. 

Sehingga bagi siapapun yang melahirkan anak berjenis perempuan harus siap menanggung malu. Jikalau tidak, haruslah menguburnya hidup-hidup seperti yang digambarkan dalam Alquran (lihat QS.At-Takwir). Bagaimana dengan masyarakat saat ini? Tak jauh beda. Pornografi, pornoaksi, LGBT, perzinaan yang bahkan pelakunya anak-anak belia, yakni anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). 

Seperti kejadian yang telah menghebohkan Jawa Timur beberapa waktu lalu. Belum lagi pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, pembegalan, narkoba dan tindakan kriminalitas lainnya semakin hari semakin tak terkendali. Hukum yang ada tak mampu mengatasi.

Dari sisi ekonomi, bangsa Arab sebelum hijrah  kebanyakan dari mereka adalah pedagang atau pengusaha yang menjadikan riba sebagai basis dalam bisnis yang mereka lakukan. Sama halnya dengan masyarakat saat ini riba masih menjadi penopang kegiatan ekonomi. 

Bahkan negara menjadi pelaku utamanya dengan terus menumpuk hutang luar negeri berbunga tinggi hingga tergadai negeri ini, na'udzubillah.

Dari sisi politik, bangsa Arab sebelum hijrah bukanlah bangsa yang patut diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lainnya. Begitupun di negeri-negeri kaum muslim saat ini, termasuk negeri ini tidak pernah diperhitungkan dari sisi kekuatan sebagai sebuah negara. Maka darinya, mudah dijadikan sebagai objek penjajahan negara-negara kapitalis dalam berbagai bidang.

Karena itu, kesadaran dan introspeksi diri dari seluruh lapisan masyarakat akan kondisi ini sangatlah penting untuk dilakukan. Sehingga, hijrahnya konstitusi secara kaffah haruslah benar-benar segera diwujudkan. Sebagaimana hijrahnya Nabi beserta kaum muslim dari Makkah ke Madinah meraih nasrullah dengan tegaknya Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem dalam institusi negara ketika itu, yakni Daulah Islamiyah. Sehingga didefinisikan oleh para fuqaha, makna hijrah secara syar'i yaitu dengan keluar dari darul kufur menuju darul Islam (An-nabhani asy-syakhsiyah al-islamiyah 11/276).

Darul kufur adalah negara yang tidak menjadikan Alquran dan sunnah Nabi (syariat Islam) sebagai aturan negara, walaupun mayoritas penduduknya muslim. Atau bahkan seluruh penduduknya muslim sekalipun, ketika bukan hukum Allah yang dijadikan aturan kenegaraannya maka negaranya tetap disebut darul (negara) kufur. Sebaliknya darul Islam adalah negara yang menerapkan syariat Islam secara total seluruhnya dalam segala sisi kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi, politik, keamanan, pendidikan, kesehatan, pergaulan dan lain-lainnya. Inilah fakta hijrah Nabi Saw dari Makkah (darul kufur) ke Madinah (darul Islam) yang menjadi tonggak utama berdirinya Daulah Islamiyah. 

Negara Islam, yang kemudian dilanjutkan oleh khulafaurasyidin lalu kekhilafan Umayyah, Abbasiyah, dan terakhir Utsmaniyah. Maka dari itu makna hijrah secara syar'i yang belum diwujudkan umat saat ini adalah hijrah mewujudkan tegaknya khilafah.

Tegaknya khilafah adalah kebutuhan mendesak. Sebab kerusakan yang diakibatkan dari sistem sekuler semakin merebak diseluruh sisi kehidupan. Khilafah adalah janji Allah yang tidak mungkin diingkari. Seberapapun besarnya kekuatan musuh Allah dalam menghalangi, menebas, dan membonsai semangat juang para pejuang agama Allah, sesungguhnya mereka tidak akan mampu melawan kekuatan sang pemilik alam raya. 

Jika Allah telah berkehendak menurunkan pertolongan-Nya untuk kemenangan kaum muslim maka itulah kepastian yang akan terjadi. Yang akan merubah wajah dunia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Dari kekufuran menuju penghambaan dan ketaatan hanya kepada Allah Swt.

Alhasil, Islam sebagai rahmatan lil 'alamin baru akan bisa dirasakan oleh seluruh makhluk di muka bumi, ketika setiap aturan Allah diterapkan secara utuh tanpa memilah-milih. Maka kembalinya khilafah islamiyah akan memberikan keterjaminan berkah dan maslahat bagi kehidupan manusia, juga termasuk didalamnya kesejahteraan. Ini bukan isapan jempol belaka, apalagi hanya retorika semata. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah yang ada. 

Bahkan catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh non muslim sekalipun. Salah satu contohnya, adalah seorang sejarawan barat, Will Durant dan istrinya Ariel Durant dalam bukunya story of Civilization mengatakan:

“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”.

Untuk itu, saatnya umat berjuang menyongsong dengan menggencarkan dakwah Islam kaffah. Sampai Allah mematikan kita di medan juang ini atau Allah memenangkan kita dalam perjuangan ini.

Allah Swt berfirman:

"Sungguh orang-orang beriman, berhijrah dan berjihad dijalan Allah mereka itulah yang benar-benar mengharapkan rahmat Allah. Allah maha pengampun lagi maha penyayang".
 (TQS. Al-Baqarah : 218) 

Rasulullah Saw bersabda:

"Sungguh Allah telah melipat bumi ini untukku. Lalu aku melihat bagian timur dan baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan mencapai seluruh bagian bumi yang telah dilipat untukku itu". (HR muslim)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post