Dari Hijrahfest, Hijrah Nabi, hingga Hijrah Hakiki

Oleh : Netty Susilowati  
(Kepala Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah Malang) 
                   
Hijrah, secara bahasa berasal  dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Ash Shihhah fi al Lughah, II/243, Lisan al ‘Arab, V/250; Al Qamus Al Muhith, I/637).

Para fuqaha lalu mendefinisikan hijrah secara syar’I sebagai keluar dari darul kufur menuju darul Islam (An Nabhani, Asy Syakhsiyyah al Islamiyyah, II/276). 

Fenomena hijrah hari  ini di kalangan artis dan remaja millennial semakin marak. Kajian-kajian keislaman semakin rutin digelar. Mereka berhijrah dari kondisi jahiliyah menuju kondisi yang lebih baik. Hingga gelaran hijrahfest yang sukses selama 2 tahun berturut-turut dengan berbagai aktivitas keislamannya. Ada asa disana. Akan wajah Islam Indonesia. Sejuk, ramah dan bersahaja. Generasi  Milenial yang shalih shalihah. Penyejuk pandangan mata. Generasi  Rabbani penerus estafet kepemimpinan bangsa. 

Hijrah Rasulullah bukanlah hijrah biasa. Tidak hanya dari satu tempat ke tempat lainnya. Tetapi dari sistem jahiliyah menuju sistem Islam. Di Madinah, Rasulullah membangun tata kehidupan baru. Dari aspek aqidah, social, ekonomi  hingga politik. Rasulullah mampu membersihkan aqidah masyarakat dari kesyirikan pada penyembahan Allah semata. Dari sisi perdagangan yang penuh riba, pada  ekonomi Islam yang menyejahterakan seluruh umat manusia. Tata kehidupan masyarakatpun menjadi masyarakat yang damai, tentram jauh dari kemaksiyatan. Fastabiqul khoirot sangat kental terasa. Dari sisi politik, terbukti dengn Islam, Madinah meluas menjadi sebuah Negara adidaya dunia yang pada akhirnya mampu menaklukkan Persia dan Byzantium dengan jihad fii sabilillah. 

Hijrah hari ini, meski harus kita apresiasi perubahan individu dari kondisi jahiliyah menuju kondisi yang lebih baik, kondisi yang tidak Islami menuju ke kondisi Islami, tetapi belum cukup dan tidak boleh berhenti  sampai di sini. Kondisi saat ini hamper sama dengan kondisi di  Mekkah sebelum Rasulullah hijrah. Muharram bulan suci dipenuhi dengan aktivitas kesyirikan. Larung tumbal, mencuci keris, bersih desa hingga memberikan sesajen di tempat-tempat yang dianggap sakral masih marak dilakukan. Ribapun merajalela. Bahkan dilegalkan oleh Negara. Kemaksyiatan dari hari ke hari semakin bertambah. Zina, perjudian, minum khamr, membunuh anak sendiri sebelum dilahirkan (baca: aborsi) juga menjadi berita harian. Pada tataran politik, jual beli kekuasaan menjadi makanan. Negeri-negeri kaum muslimin menjadi sapi perah Negara-negara kapitalis dalam berbagai bidang. Sungguh kondisi yang jauh dari ideal. Akankah kita bertahan? Atau hijrah menjadi pilihan? 

Sebagai seorang muslim, tentunya kita ingin menjadi lebih baik. Tidak berada dalam kubangan keburukan selama hayat. Jadi sudah semestinya, kaum muslim hari ini mewujudkan kembali spirit hijrah hakiki sebagaimana yang dicontohkan Nabi. Berpindah dari sisitem jahiliyah menuju sistem Islam yang mulia. Berupaya menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Post a Comment

Previous Post Next Post