Awas, Pilkades "rasa" Pilpres!

Oleh : Siti Ghina Citra Diany
(Bidan Swasta) 

Riak-riak pemilihan kepala desa (pilkades) "rasa" pilpres (pemilihan presiden) khususnya jelang Pilkades Cinunuk, Kab. Bandung terungkap dalam pertemuan antara Panitia Pemilihan Kepala Desa (P2KD) Cinunuk, Panwas (panitia pengawas) Pilkades, Panwas Kecamatan, Mupika Cileunyi, BPD (Badan Pengawas Daerah), calon kades (kepala desa) dan tiga balon kades yang sebelumnya tidak lolos seleksi. Calon kades yang dianulir adalah Pipin Saripin dengan nomor urut 02, diganti oleh Edy Mulyarida yang sebelumnya dinyatakan tidak lulus seleksi. Tentu saja hal ini menimbulkan desas-desas khususnya kalangan masyarakat yang tidak ingin pilkades kali ini diwarnai kecurangan seperti pilpres kemarin. 

Ketua BPD Cinunuk, R. Setiawan membenarkan bahwa dianulirnya Pipin Saripin terkait dengan Perbup (peraturan bupati) nomor 58 tahun 2019. Hasil pertemuan pun umumnya sudah menerima dan tidak ada lagi pengundian nomor urut yang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan. Diharapkan, terkait hal ini tidak akan mengganggu tahapan Pilkades Cinunuk. Sementara itu, Pipin Saripin yang terpaksa dianulir jadi calon kades menyatakan akan menempuh persoalan ini ke jalur hukum. Menurutnya, ini sebuah pukulan baginya karena sebelumnya sudah dinyatakan lulus seleksi tapi kini dianulir. Ia pun siap pasang badan untuk mengajukan pihak P2KD ke PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), juga menolak untuk menandatangani berita acara pertemuan tersebut.

Jika kita flashback ke masa sebelum dan pada saat pelaksanaan pilpres (17/4) lalu, begitu banyak terendus berbagai upaya curang mulai dari penggunaan fasilitas negara, mobilisasi aparat oleh petahana, temuan surat suara yang telah tercoblos di beberapa tempat, politik uang bahkan pencoblosan surat suara yang dilakukan oleh oknum petugas KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara). Bahkan pemilihan tersebut menyebabkan banyak korban sakit dan meninggal dari petugas pemilu. Ditengarai kecurangan seperti ini terjadi juga dalam skala kecil pemilihan Pilkades cinunuk saat ini. Bagaimana tidak, karena di dalam sistem demokrasi yang lahir dari dasar ideologi sekuler, adanya kecurangan sangat dimaklumi. Karena ketika agama dikesampingkan hanya pada masalah privat, maka dalam berpolitik yang terjadi adalah politik machiavelis, alias menghalalkan segala cara walaupun haram asal bisa meraih tujuan termasuk berbuat curang. 

Nasrudin Joha, pengamat politik Islam ideologis, pernah menyoroti soal narasi kecurangan adalah bagian dari demokrasi. Pernyataan itu sangat jujur, faktual dan berkesesuaian dengan hakekat juga substansi demokrasi. Kecurangan sistem mulai dari aspek filosofis hingga praktis. Bagaimana klaim kedaulatan di tangan rakyat, suara rakyat suara Tuhan, tapi faktanya itu hoax, karena para kapitallah (pemilik modal)  sebenarnya kedaulatan berada. Peran para kapital sangat besar, mulai dari menentukan calon pemimpin, siapa yang dipilih menjadi pemimpin dan atas dasar kepentingan apa dia jadi pemimpin. Jadi wajar saja, dalam sistem pemilihan demokrasi, mustahil seorang yang jujur dan amanah untuk maju menjadi calon.

Sekali lagi, fakta di lapangan selalu berkata lain. Dalam demokrasi, tidak akan pernah lahir seorang pemimpin Islami dan bertakwa. Sungguh utopis berharap perubahan jika masih bertahan di alam demokrasi. Kecurangan demi kecurangan begitu nyata dan dimaklumi, tak layak untuk kita pertahankan. Kalau pemimpin benar-benar jujur dan amanah pasti tidak akan mau bersepakat untuk berbuat curang dalam kontestasi, dan jika pun ia menang pasti takkan mengkhianati amanah yang sudah diserahkan rakyat kepadanya.

Pemilihan pemimpin memang menjadi suatu keharusan agar segera terwujud sosok-sosok yang bertanggung jawab secara penuh kepada rakyat. Islam pun memiliki sejarah pemilihan pemimpin. Terhitung sejak wafatnya Rasulullah para sahabat melakukan upaya optimal untuk memilih sosok khalifah pengganti posisi Rasulullah dalam memimpin Daulah Islam di Madinah. Prinsip utamanya adalah kesegeraan mewujudkan penguasa yang mengurus rakyat dengan syariat Islam. Terdapat beberapa poin penting dari ijma sahabat yang menjadi salah satu sumber hukum dalam masalah pemilihan pemimpin. Pertama, batas waktu tiga hari sejak wafatnya seorang khalifah untuk membaiat khalifah penggantinya. Kedua, batasan jumlah calon sebanyak enam orang. Sementara terkait proses pencalonan dan mekanisme pemilihannya boleh menggunakan bermacam-macam cara, bisa dengan musyawarah mufakat, pemungutan suara, atau pemilihan umum asal pelaksanaannya harus sesuai ketentuan syariah, tidak menggunakan mekanisme demokrasi yang banyak menimbulkan kemudaratan.

Proses pemilihan pemimpin dalam Islam dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Urgensitas keberadaan penguasa yang memimpin umat dengan syariat menghasilkan kesungguh-sungguhan kaum muslimin dalam melakukan pemilihan. Sebaliknya, ketiadaan pemimpin menyebabkan banyak sekali hukum syariat yang tidak dapat tertunaikan. Karena itulah baik umat maupun calon penguasa bersungguh-sungguh dalam ikhtiar untuk menetapkan pemimpin terbaik di antara mereka. Proses ini merupakan proses yang jujur dan adil karena calon penguasa merupakan sosok yang memang diinginkan rakyat, bukan para pengejar kekuasaan. Selain itu, ketundukan pada syariat menyebabkan proses integrasi berlangsung secara alami. Kaum muslimin tidak akan berani menyelisihi pendapat mayoritas umat karena itu berarti pembangkangan. Segala hal ini melahirkan suatu proses pemilihan pemimpin yang aman dan penuh keikhlasan. 

Un-install Demokrasi-Kapitalis, ganti dengan Islam.  Karena Allah Swt yang Maha Sempurna telah menyediakan sistem terbaik bagi umat manusia, yaitu sistem politik Islam. Sebuah sistem yang sangat manusiawi, tapi dengan aturan yang sangat lengkap.  Sehingga mampu mencegah setiap celah yang memungkinkan terjadi kerusakan dan kriminalitas, termasuk kecurangan.  Baik oleh masyarakat biasa atau pun para penguasa.  Dengan mekanisme yang sangat mudah dan tak seribet saat ini. Rasulullah saw pernah bersabda : "Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan kepemimpinan atas orang lain, lalu ia mati dalam keadaan berbuat curang terhadap orang-orang yang dipimpinnya melainkan Allah akan mengharamkan atasnya surga".
(Muttafaq alaih). 

Sungguh kesadaran akan ada pengadilan di akhirat di hadapan Sang Penguasa Alam semesta harusnya membuat mereka para aparat, hakim dan pemangku kekuasaan yang “berniat” tidak berlaku adil, takut berbuat curang dan tidak menegakkan keadilan di dunia.  Karena semua perbuatan akan dihisab di yaumul akhir.  Sungguh pengadilan Allah tak akan ada yang bisa ngeles, dan buktinya valid.  Setiap orang akan membawa bukti catatan amalnya masing-masing.  Maka sudah seharusnya hukum Islam saja yang ditegakkan agar kecurangan dan kezaliman ini bisa diakhiri.

Karena itu, wahai umat Islam segera tinggalkanlah demokrasi dan berkomitmen dalam perjuangan Islam, murni menginginkan Islam kembali berkuasa. Segera ittiba' pada thariqah dakwah Nabi, dengan berjuang menegakkan sistem Khilafah 'ala minhajin Nubuwah. 

Wallahu 'alam bisshowwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post