Wamena Papua Memanas, Islam Solusi Tuntas

Oleh : Risnawati 
(Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)

Kerusuhan berdarah di Wamena, Papua membuat warga pendatang mengungsi ke luar wilayah itu. Mereka memilih pulang ke kampung halamannya masing-masing.

Sebagian masih ditampung di beberapa lokasi. Salah satunya oleh Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) Kabupaten Mimika. Mereka menampung 34 pengungsi dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Ketua KKJB Mimika Parjono mengatakan, para pengungsi tersebut untuk sementara ditempatkan pada Sekretariat Paguyuban Pati di Jalan Semangka, Irigasi, Kelurahan Pasar Sentral Timika. Sebagian besar dari para pengungsi tersebut merupakan warga Kabupaten Sampang, Madura, sisanya tiga orang berasal dari Kabupaten Kediri dan Nganjuk.

"Untuk para pengungsi dari Jawa, tadi pagi sudah diserahkan oleh pihak TNI AU Mayor Librianus R kepada kami dari KKJB. Kemarin saat di Posko Lanud Timika, jumlahnya sebanyak 84 orang. Tadi pagi sudah berangkat ke kampung masing-masing dengan biaya sendiri sebanyak 45 orang, sisanya diserahkan kepada KKJB Mimika sebanyak 34 orang," kata Parjono kepada Antara di Timika, Sabtu 28 September 2019.

Dilansir dari JAKARTA (voa-islam.com)—Tindak kekerasan yang terjadi di Wamena, Kabupaten Jayawijaya Papua yang mengakibatkan puluhan korban jiwa dan ratusan jiwa luka-luka mengiris hati nurani masyarakat Indonesia.

Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengungkapkan tragedi berdarah di Wamena tidak terlepas dari rentetan peristiwa di daerah lain di Papua berupa unjuk rasa di Sorong, Manokwari dan Jayapura yang menuntut keadilan.

Din menyesalkan sikap aparat keamanan dan penegak hukum yang lamban dan tidak adil dalam merespon kejadian-kejadian tersebut.

 “Seyogyanya gerakan protes itu sudah bisa diatasi dan diantisipasi, dan terutama faktor picunya di Surabaya berupa penghinaan terhadap orang Papua sudah harus cepat ditindak tegas. Tapi, kita menyesalkan respon aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban dan tidak adil,” ungkap Din dalam keterangan kepada Voa Islam, Sabtu (28/9/2019).

Kalau hal demikian berlanjut, jelas Din, maka akan dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Memahami Akar Masalahnya
Papua merupakan provinsi yang sangat strategis dan kaya. Secara geografis letak geografis Papua terletak di wilayah yang jauh dari pantauan Jakarta. Kemudian, Papua sangat kaya karena Papua memiliki semua sumber daya alam yang ada di pulau lain. Di sana ada hutan, emas, minyak, tembaga bahkan uranium. Bisa dibilang Papua itu kepulauan yang sangat komplit. Sedangkan keterikatan politik terhadap Jakarta secara historis bisa disebut paling lemah. Selain itu ada semacam persoalan laten yang belum juga terselesaikan yaitu kemiskinan, ada semacam diskriminatif. Walaupun dari segi alokasi anggarannya sudah sangat luar biasa, tapi, itu tidak menjawab persoalan di sana jadi hal-hal seperti itulah yang akhirnya gejolak itu timbul kemudian dimanfaatkan pihak asing yang ingin memang melepaskan Papua.

Problem Papua harus dikembalikan ke akar masalah. Persoalan Papua tidak pernah bisa lepas dari persoalan politik dan ideologi. Meski banyak spekulasi muncul mulai dari alasan ancaman nasionalisme, gerakan prokemerdekaan, ekonomi, penguasaan lahan, bahkan pragmatisme bisnis keamanan perusahaan-perusahaan yang melibatkan banyak aktor.

Sebenarnya pokok permasalahan Papua ada empat, yakni sejarah integrasi Papua ke Indonesia, trauma masyarakat Papua akan operasi militer, diskriminasi oleh pemerintah, dan kegagalan pembangunan Papua. Hal inilah pemicu konflik berkelanjutan. Ditambah lagi intervensi asing yang terlalu dalam mengenai masalah Papua. Sementara, mereka yang berteriak-teriak “NKRI harga mati” tak pernah peduli dengan permasalahan ini. Meskipun nyata di depan mata banyak berkibar bendera asing, namun tak tergerak sedikitpun untuk menuntaskan permasalahan. Justru terkesan mendukung asing dan bergandengan tangan dengannya.

Karena itu, Indonesia memang punya sejarah pahit dan panjang dengan ancaman disintegrasi bangsa. Aceh, Maluku, dan Timor Timur adalah wilayah yang pernah berkonflik hingga berdarah-darah. Aceh dengan GAM-nya, Maluku dengan RMS-nya, dan Timor Timur dengan Fretilin-nya. Di masa-masa itu jutaan orang menjadi korban. Namun seperti biasa, yang menjadi korban konflik kebanyakan adalah masyarakat sipil tak berdosa. Bukan hanya ekonomi yang berantakan, tapi juga ketenteraman dan rasa aman. Namun jika ditilik, semua itu selalu saja berawal dari ketidakadilan dan diskriminasi penguasa. Hingga sempat muncul narasi getir soal penjajahan bangsa Jawa. Dan lantas, muncullah di antara mereka pemikiran bahwa disintegrasi adalah solusinya. Namun, banyak pihak yang pesimis problem Papua akan selesai dengan tuntas. Karena akar penyebab konflik di Papua tak pernah sungguh-sungguh diselesaikan oleh penguasa. Bahkan banyak yang menduga sepanjang akarnya tak selesai, sampai kapan pun, Indonesia akan selalu dibayang-bayangi ancaman disintegrasi bangsa, salah satunya tanah Papua.

Islam Solusi Mengakar
Tuduhan Islam menjadi penyebab perpecahan dan persoalan juga hanya sekadar tuduhan tanpa bukti. Kekisruhan politik yang ada tidak pernah terbukti disebabkan oleh Islam. Faktanya, tak jarang kisruh diakibatkan oleh proses demokrasi, kecurangan dan persaingan memperebutkan kekuasaan yang menggunakan cara-cara machiavelis. Banyaknya korupsi juga tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Sudah banyak sekali ahli yang mengatakan, maraknya korupsi di antara faktor utamanya adalah proses demokrasi yang mahal. Begitu pula dengan konflik disintegrasi dan separatisme yang saat ini masih menyelimuti Papua, akibat adanya ketimpangan antara warga dan antardaerah. Rakyat tidak merasakan kemakmuran dari melimpahnya kekayaan alam. Makin menggunungnya utang Negara. Makin kuatnya cengkeraman asing dan kapitalis. Adanya segudang problem ekonomi. Semua itu pun bukan karena Islam, tetapi justru karena penerapan sistem di luar Islam, yakni kapitalisme-liberalisme. 

Artinya, berbagai kerusakan yang terjadi itu bukan karena Islam, tetapi justru karena penerapan sistem selain Islam, dengan meninggalkan Islam dan syariahnya. Fakta-fakta jelas menunjukkan yang demikian. Allah SWT pun sudah memperingatkan kita dalam firman-Nya: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta… (TQS Thaha [20]: 124).

Karena itu, Pemerintah wajib menghentikan, bahkan menumpas tuntas berbagai bentuk gerakan separatisme dan intervensi asing yang akan memisahkan Papua dari rengkuhan wilayah NKRI. Pemerintah juga wajib melaksanakan pembangunan yang adil dan merata dengan menerapkan sistem ekonomi yang berkeadilan, yaitu sistem ekonomi Islam, bukan dengan sistem ekonomi kapitalisme. 

Semua itu haruslah dalam bingkai Khilafah Islamiyyah. Dengan penerapan Islam kaffah, Khilafah terbukti mampu menyatukan 2/3 belahan dunia dalam satu tatanan kehidupan yang harmonis. Islam jua yang mewajibkan Khalifah menjamin kehidupan seluruh rakyatnya, termasuk bagi warga Wamena Papua. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post