Dibalik Gempita Pesta Kemerdekaan Negeriku

Oleh : Sumiyah Ummu Hanifah
(Praktisi Menulis dan member AMK)

Masyarakat yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, baru saja rampung menggelar perhelatan akbar  yang bertajuk  Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia  yang ke 74.

Kegiatan rutin tahunan yang masih tercium aroma Kemeriahannya hingga kini itu, tampak semarak dan penuh dengan nuansa kebersamaan dan kebebasan, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa sampai Orang tua ikut pula  memeriahkannya, mereka bersama-sama mengikuti aneka perlombaan dan pertunjukan.

Diantaranya lomba yang menjadi ciri khas "Tujuh belasan" (pesta rakyat) ini, adalah lomba balap karung, yaitu lari dengan posisi badan dimasukkan ke dalam karung,  lomba makan kerupuk dengan tangan terikat dan posisi berdiri, serta yang paling "seru"  yaitu lomba panjat pinang, lomba ini termasuk yang paling ekstrim karena mengandung resiko yang sangat tinggi, sebab bila peserta lomba terjatuh dan bisa mengalami cidera.

Namun kini seiring berjalannya waktu, jenis-jenis perlombaan mulai lebih bervariatif. Semua itu dilakukan  demi tercapainya tujuan untuk menciptakan "KEMERIAHAN" Pesta.

Selain perlombaan yang terkesan LUCU dan UNIK, tak lengkap rasanya bila tidak terlihat karnaval (arak-arakan) yang mengusung tema beraneka ragam, mulai dari tema pendidikan, kebudayaan daerah, hingga menampilkan tontonan-tontonan yang sebenarnya kurang pas, karena tidak ada hubungan sama sekali dengan moment  kemerdekaan, contohnya adalah arak-arakan yang menampilkan tokoh  waria dan ( El-ge-be-te ) dengan dandanan mencolok dan pakaian yang tidak menutup aurat.

Hal semacam ini meskipun tujuannya untuk menghibur masyarakat, namun memiliki pesan moral yang buruk.

"Nabi SAW melaknat seorang laki-laki yang mengenakan pakaian wanita dan wanita yang mengenakan pakaian laki-laki"

(H.R. Abu Dawud dan Nasa'i).

Jika dipandang dari sudut pandang Islam, tentu perayaan semacam ini banyak mengandung Kemudharatan daripada kemanfaatannya.
Namun terlepas dari pro dan kontra yang mewarnai kegiatan pelaksanaan HUT RI tersebut, faktanya masyarakat melakukan  seremonial ini dengan alasan untuk MENGISI KEMERDEKAAN, sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka, masyarakat larut dalam suasana euforia pesta kemerdekaan, dimana kegiatan itu di lakukan secara serentak di seluruh lndonesia, mulai dari pelosok desa sampai ke lbu kota Negara.

Dan tak jarang demi untuk ikut  berpartisipasi dalam  memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan,  masyarakat yang notabene adalah umat islam itu harus rela pula berdesak-desakan dan campur-baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim (lkhtilat), untuk sekedar menonton jalannya perlombaan dan pertunjukan, padahal di dalam aturan islam, hal itu jelas di larang, karena islam sangat  memperhatikan keselamatan bagi  umatnya  agar terhindar dari dosa, meski sekecil apapun bentuknya.

Masyarakat umum seolah tak peduli dengan rambu-rambu dari agamanya sendiri, karena bagi mereka hari kemerdekaan itu adalah hari yang paling istimewa sebab merupakan hari KEBEBASAN, yaitu hari terbebasnya Negeri ini dari cengkeraman kaum penjajah asing.

Sejarah telah mencatat bahwa Negeri ini merdeka dan terlepas dari penjajahan Negara-negara barat, seperti lnggris, Perancis, Spanyol, Portugis, Belanda dan juga Jepang.

Tak tanggung-tanggung lamanya Negeri Nusantara ini berada dalam masa peperangan  yang terus berkecamuk dalam rentang waktu yang amat panjang.

Yaitu selama kurang lebih 350 tahun lamanya, bumi Nusantara ini menangis, dan entah sudah berapa generasi yang mengalami masa-masa yang teramat sulit karena hidup dalam belenggu  penjajahan.

Darah dan airmata tumpah di mana-mana, nyawa melayang hampir tak terkira jumlahnya, bayi-bayi   dan anak-anak yang  kehilangan orang tuanya, istri-istri di tinggal mati suaminya, dan banyak Orang yang kehilangan saudara dan keluarganya, mereka mengungsi untuk menyelamatkan diri, namun banyak yang tidak pernah Kembali, kesedihan yang terus-menerus, sambung - menyambung tiada henti.

Pada zaman itu,  tidak ada hari tanpa suara desing peluru,  atau suara tembakan yang di sertai jerit Kesakitan, yang ditandai dengan mengalirnya darah segar membanjiri sekujur tubuh yang kemudian ambruk ke tanah, menggelepar, meregang nyawa.

Saat itu nyawa seorang Pribumi benar-benar tidak berharga sama sekali, dihadapan Penguasa tirani. Dan suara-suara memilukan terdengar ketika orang-orang yang kelaparan meminta belas kasihan sebab ladang dan kebunnya di bakar oleh Sang penjajah durjana.

Hidup dalam kungkungan penjajah, rakyat menjadi bulan-bulanan musuh dan di jadikan "budak-budak" rendahan,  seperti yang dilakukan Belanda dengan kerja paksa "rodi" dan Jepang dengan kerja paksa "romusa" sampai banyak diantara mereka yang meninggal dalam kondisi mengenaskan.

Belum lagi datangnya wabah penyakit , seperti penyakit kulit, dan busung lapar, ikut menambah penderitaan rakyat yang semakin tak berdaya.

Dan adakah yang lebih menyayat hati sanubari, tatkala mendengar suara jerit anak gadis kesayangannya  atau istri tercintanya yang di culik dengan paksa dan di jadikan pemuas nafsu bejat penjajah keparat ?

Tentu tak pernah ada yang bisa membayangkan betapa perihnya hidup terlunta-lunta di Negeri sendiri, seolah-olah tidak memiliki martabat lagi.
Hal itu pula yang melatar-belakangi munculnya Para Pejuang yang gagah berani, pasukan berani mati, siap untuk melawan musuh, agar Sang musuh segera angkat kaki dari Bumi pertiwi.

Puluhan, bahkan ratusan tokoh pejuang yang terlibat dalam upaya untuk mengusir penjajah, telah diabadikan dalam sejarah, diantara mereka adalah Tokoh utama dalam  masyarakat pada waktu itu, dan yang tidak bisa  terbantahkan lagi mereka itu adalah Para ulama yang dengan gigih memimpin pasukan untuk bersama-sama melakukan perlawanan kepada musuh yang semakin merajalela dan semena-mena.

Para ulama telah mengetahui bahwa kedatangan kaum penjajah di setiap negara jajahannya, bermaksud untuk membawa tiga misi, yaitu glory, gold, gospel.
Penjajah datang bukan semata ingin  menguasai dan mengeruk kekayaan alam di bumi nusantara ini saja, tapi juga membawa misi untuk mengkristenkan nusantara.

Hal ini tentu mengusik hati Para Ulama kita, dan bertindak untuk melindungi akidah umat islam dari pemurtadan. Karena dalam ajaran Islam wajib hukumnya mempertahankan akidah dan keyakinan Islam sampai titik darah penghabisan.

Belanda (kaum imperialis) datang ke Nusantara sekitar tahun 1602 Masehi, dengan tujuan awal mereka adalah untuk  mengawal Perusahaan dadang  milik negara Belanda, yang bernama "Perusahaan Hindia Timur Belanda" atau 
Dalam bahasa Belanda "Verenigde Oostinostindische Compagnie" ( VOC )

Semangat untuk mengganyang penjajah bermunculan dari berbagai wilayah di nusantara, di antaranya dari Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, kesultanan kudus, kesultanan Demak, kesultanan Pajang dan kesultanan-kesulitan lainnya.

Nama-nama yang terukir dalam sejarah peperangan melawan kaum penjajah pada masa  awal penjajahan diantaranya ada Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Teuku Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dan masih banyak lagi pejuang islam yang menjadi pimpinan pasukan perang melawan penjajah.

Mereka berjuang dengan tujuan yang sama, yakni MERDEKA yaitu  terbebas dari kesewenang-wenangan kaum kafir penjajah, dimana kaum penjajah saat itu menyerang segala aspek kehidupan di Negeri nusantara ini, tapi Semua berjuang dengan gagah berani, rela mengorbankan apa saja demi mencapai tujuan mulia.

Diri, harta, waktu, tenaga, semua dipersembahkan untuk jihad fii sabilillah, membela agama dan bangsanya, hingga banyak di antara mereka yang gugur sebagai Syahid.

Bahkan semangat mereka tak pernah padam, mengalir terus ke anak cucu, dari generasi ke generasi, hingga sampai pada generasi angkatan menjelang kemerdekaan, yang di pelopori oleh K.H. Hasyim Asy'ari, beliau adalah Tokoh Utama pendiri Nahdatul Ulama yang berdiri pada tahun 1926 yang lalu.

Organisasi keagamaan yang lahi dimasa penjajahan ini bergerak aktif dalam mengupayakan kemerdekaan Negeri ini, dari cengkeraman kaum imperialis Barat, sekaligus selalu memperjuangkan penegakan Syari'at Islam.

Perang fisik dan perang pemikiran benar-benar melelahkan, terlebih lagi dilakukan dalam jangka waktu yang sangat lama, pemikiran rakyat juga lambat laun "terkontaminasi" dengan pemikiran barat (penjajah).

Belanda yang paling lama bercokol di nusantara, telah berhasil mendominasi sebagian penduduk negeri yang mau menghianati negeri sendiri, hanya demi materi.

Dalam setiap peperangan memang harus ada yang kalah dan ada  pula yang menang.
Begitupun kisah heroik para pejuang,  harus berakhir dengan kematian atau kemenangan.

Kebanyakan dari para pejuang itu justru tidak bisa melihat dan merasakan hasil dari perjuangan dan Pengorbanannya, hanya bisa dijadikan "tabungan" (pahala) untuk hari kemudian.

Kini Sang Penjajah telah lari, pergi dari bumi nusantara tercinta.

Akhirnya melalui berbagai rentetan peristiwa dan perundingan-perundingan yang "alot"maka tersusunlah kalimat indah yang telah disepakati.

"Atas Berkah Rahmat Allah dan sesuai dengan keinginan yang luhur, maka penjajahan di atas bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan,,,,,,,,,,,dan seterusnya.

Demikian bunyi alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, yang menandakan bahwa negeri yang kini bernama Indonesia itu telah dinyatakan MERDEKA.

Suka-cita dan kegembiraan mewarnai kemenangan ini, debu penjajahan berangsur-angsur sirna dari mata. Senyum mengembang di setiap bibir rakyat negeri ini, seiring dengan harapan yang indah tentang masa depan.

Demikianlah Kisah Perjuangan rakyat lndonesia dalam mewujudkan  Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang kekayaan  alam yang tersimpan di perut bumi lndonesia itu begitu menggiurkan, ditambah lagi dengan pesona keindahan alamnya yang menawan, ternyata membuat pihak asing "melirik" dan tak mau melepaskan begitu saja permata indah dari Nusantara ini.

Mereka enggan meninggalkan negeri cantik yang menyimpan potensi, akhirnya terjadilah sebuah kompilasi, negosiasi tingkat tinggi, dan kemudian "lahirlah" lnvestasi.

Pemerintahan  Indonesia dengan kebijaksanaannya membuka "kran" investasi seluas-luasnya, alasannya adalah untuk menggenjot laju peningkatan pendapatan ekonomi rakyatnya.

Hal ini berlangsung selama bertahun-tahun, mulai dari zaman Orde Lama, Orde Baru, masa Reformasi, hingga kini, para investor dari luar negeri terus datang berbondong-bondong, menyerbu ke setiap sektor milik negara.

Pemerintah terkesan melindungi para investor asing dan aseng, sehingga rakyat hanya bisa menelan pil pahit, buah dari kebijakan dalam penanaman modal asing ini.

Sekilas memang dengan adanya lnvestasi dari Luar Negeri ini, bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat, tapi pada faktanya adalah jauh panggang daripada api, alias tidak sesuai dengan kenyataan, sebab alih-alih mensejahterakan rakyat, yang ada justru membuat rakyat semakin terpuruk dalam berbagai bidang.

Berbagai problematika yang belum juga bisa teratasi oleh  pemerintah, baik di tingkat masyarakat bawah hingga ke pusat kota, sejatinya itu telah menunjukan bahwa negeri ini, masih dalam taraf upaya untuk terus MENINGKATKAN KEDAULATAN-nya.
Karena sebuah negeri akan di sebut  berdaulat jika tak lagi bergantung kepada pihak asing.

Dan ketika negara lain tidak bisa lagi mengobok-obok serta menghina simbol-simbol negara kita, apalagi sampai membakar bendera kebangsaan kita, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu di Wilayah konflik, yaitu di Papua, hal semacam itu tidak akan terjadi pada negara yang merdeka.

Masyarakat Indonesia juga termasuk masyarakat yang masih kurang peka terhadap kondisi negaranya.
Pemahaman tentang arti dan Makna KEMERDEKAAN masih belum terinternalisasi ke dalam jiwanya.

Semua itu memang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak yang menginginkan negeri ini tetap dalam Kemiskinan, miskin literasi dan miskin secara materi.

Pernahkah kita membayangkan bagaimana Para Pejuang yang bertempur mati-matian untuk merebut kemerdekaan dari tangan kaum lmperialis ?
Mereka telah mengorbankan semuanya demi lepasnya negeri ini dari penindasan Para penjajah, tapi apa yang di lakukan oleh generasi sekarang, yang telah "dihadiahi"  kemerdekaan ?

Mungkin kita perlu belajar lagi agar mampu bersikap BIJAK dalam mengisi Kemerdekaan, bukan sekedar hanya memperingatinya  dengan cara seperti yang selama ini biasa di lakukan.
Tapi lebih dari itu, kita harus bisa mengisi kemerdekaan dengan cara yang lebih TERHORMAT, santun dan bermanfaat, bukan hanya euforia sesaat, gegap gempita, tanpa adanya langkah kongkrit dalam mengisi kemerdekaan yang telah diraih.

Mari mengisi kemerdekaan ini dengan menambah pemahaman kita sebagai Umat yang taat pada aturan-Nya, memahami kembali hakikat kemerdekaan secara menyeluruh.

Disadari atau tidak , bahwa kemerdekaan yang kita rayakan itu baru kemerdekaan secara fisik, tapi ingatlah sesungguhnya kemerdekaan hakiki itu adalah ketika hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dan saat kita bebas melaksanakan Syari'at Islam secara total dalam bingkai Khilafah Rasyidah alaa minhajin nubuwah, sebagaimana janji Allah, bahwa Khilafah akan tegak kembali di muka bumi ini.
Insya Allah.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Previous Post Next Post