Kisruh Suara, Sebuah Pengharapan yang Salah jalan

Oleh : Hendaryati Uti Firnas

Wakil Ketua Majlis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid menilai penyelenggaraan Pemilu 2019 yang digelar antara pilpres dan pileg merupakan proses pesta demokrasi terburuk yang pernah digelar pasca reformasi.

Pesta demokrasi yang telah menghabiskan uang negara trilyunan sepertinya hilang tak berbekas. Pengadaan kotak suara saja menghabiskan dana yang tidak sedikit, padahal kondisinya sangat miris karena tidak memenuhi standar LUBER (Langsung Umum Bebas dan Rahasia) dan kualitasnya pun sangat memprihatinkan karena sekali kena hujan  bisa hancur karena terbuat dari kardus. Hingga di berbagai wilayah ada yang menggantinya dengan  kardus-kardus bekas. Kondisi seperti itu tidak bisa menjamin kenyamanan kerahasiaan bagi pencoblos.

Selain itu saling sindir dalam bedebat juga menunjukan ketidak dewasaan dari para Capres. Saling merendahkan dan menjatuhkan sehingga melupakan substasi dari debat tersebut, yaitu untuk memaparkan program-program kerja mereka.

Terlebih dari itu, yang membuat geram kebanyakan  masyarakat adalah masalah penghitungan suara pasca pemilihan. Kecurangan-kecurangan dalam penghitungan suara betul-betul mengaduk-aduk perasaan masyarakat. Hampir setiap daerah melaporkan adanya kekisruhan. Hingga ketingkat KPU pusat kisruh perhitungan suara menjadi polemik. 

Kisruh surat suara habis, sehingga banyak protes terjadi di Malang (Detik News.Rabu 17 April 2019)

Surat suara tercoblos sebelum pemilihan terjadi Pulau Masalembu Sumenep Madura (Detik News. Sabtu 20 April 2019). 

Contoh dari bagian kecil ini saja sudah bisa menggambarkan banyaknya bentuk kecurangan-kecurangan yang lagi viral di media-media.

Pemilu yang telah berlangsung ditahun 2019 ini, selain untuk memilih Calon Legislatif, yang paling seru adalah untuk memilih Calon Presiden. Masyarakat berharap banyak akan  adanya perubahan yang akan membawa pada kehidupan yang lebih baik. Mendapatkan pemimpin yang jujur, adil dan tidak mwmbohongi masyarakat.

Alih-alih terwujud yang terjadi justru jauh panggang dari api. Kecurangan-kecurangan telah dipertontonkan. Kekecewaan yang mendalam dirasakan sebagian besar masyarakat.

Berbagai kecurangan yang terjadi dalam Pilpres 17 April 2019 beberapa waktu lalu, tentu saja tak terlepas dari faktor etika dan moral. Berbalas cengkram, berbalas tindas. Itu tidak lagi menjadi soal asal bisa tergenggam nafsu yang menjadi tujuan.

Sebuah negri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, hidup dekat dengan ulama adalah keniscayaan. Ulama adalah pewaris para Nabi "Al-Ulama Warotsatul Anbiya" yang setiap saat untuk diminta fatwanya untuk membentuk manusia yang hanya takut kepada penciptanya (Allah Swt).

Tetapi yang terjadi ulama-ulama fakih banyak dipersekusi, diintimidasi. Jadi wajar jika kondisi yang ada sekarang banyak kecurangan-kecurangan karena tidak pernah lagi mendengar 'cakap ulama'(ust.Abdul Somad).

Ada yang bertanggung jawab atas kerusakan  sebuah tatanan kehidupan. Sebuah sistem yang rusak dan merusak sehingga melahirkan kerusakan-kerusakan ahlak, etika, moral dan merusak tatanan mahluk-mahluk lainnya. Sistem Kapitalisme Demokrasi. Maka ketika kecurangan-kecurangan terjadi pada pemilu 2019 ini, Prof.Mahfud MD berujar "kecurangan itu biasa karena namanya juga demokrasi" (Warta Kota Live, kamis,  25 April 2019). Dan itulah karakter demokrasi yang sesungguhnya.

Demokrasi telah melahirkan masyarakat untuk memilih cara hidup sesuai yang dikehendaki. Hingga agama yang seharusnya menjadi panduan hidup telah di jauhkan dari aktivitas keseharian (Sekulerisme). Tak heran jika sekarang prilaku masyarakat tidak lagi di dasarkan atas halal haram. Tapi didasarkan pada siapa yang kuat itu yang jadi pemenang.

Jika saja masyarakat mau jujur dengan apa yang dirasakan, hidup diatur dengan aturan yang sedang berlangsung sekarang ini, di alam Demokrasi ini. Masih komentar dari Bapak Prof.Mahfud MD, "Malaikat saja kalau masuk ke Indonesia bisa menjadi Iblis". Kenapa seperti itu? Itu karena sistem yang ada adalah sistem yang membawa pada kerusakan. 

Kecurangan-kecurangan dan kesemrawutan dalam pelaksanaan pemilu, tidak terjadi kali ini saja. Pemilu-pemilu yang telah berlalu pun banyak diwarnai dengan kecurangan-kecurangan. Misalnya adanya serangan fajar menjelang pencoblosan, kisruh penghitungan suara dsb. Sekalipun selalu berakhir dengan saling mengalah. Tapi masalah seperti itu akan tetap berulang dan nampaknya semakin terbuka. Kecurangan sudah tidak menjadi hal yang tabu untuk dilakukan. Bahkan sudah di klaim bahwa itu sesuatu yang biasa.

Karena di dalam demokrasi ada harga yang harus dibayar. Untuk bisa bertarung di arena pemilu tidak sedikit uang yang harus di gelontorkan. Untuk memghindari kerugian cara apa saja akan dilakukan termasuk berlaku curang. Sistem yang rusak akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang rusak pula. Perubahan yang didambakan menuju hidup yang lebih baik, akan tetap menjadi slogan semata.  Akankah terus tetap berharap?

Rosulullah bersabda:
"Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih adaborang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya dia telah menghianati Allah dan RosulNya dan orang-orang mukmin"(HR.Al Hakim)

Pengalaman telah membuktikan. Kurang lebih 13 abad lamanya umat diatur dengan aturan yang membawa pada kesejahteraan, keamanan, kenyaman. Hal itu betul -betul bisa dinikmati oleh setiap umat karena seorang pemimpin yang amanah. Pemimpin yang menerapkan aturan hidup, aturan yang datang dari yang maha pemberi hidup. Pemimpin yang dibaiat karena ketaatannya kepada Allah Swt. Pemimpin yang Allah Swt ridho dengannya, dan beliau pun ridho padaNya.

Dalam Islam seseorang akan menjadi pemimpin (Kholifah) jika diberi mandat kekuasaan oleh rakyat sebagai pemilik kekuasaan tersebut. Disini diperlukan adaya akad antara rakyat dan calon pemimpin (Kholifah), untuk menjadi Kholifah atas dasar ridho dan pilihan sesuai dengan kriteria calon seorang kholifah. Tanpa intimidasi, paksaan apa lagi dengan politik uang yang akan memberi ruang untuk kecurangan. Allah Swt melalui Rosulullah Saw telah menggariskan bahwa akad tersebut adalah  baiat.

Sistem pemilihan calon pemimpin dengan cara baiat tidak mungkin terjadi dalam sistem demokrasi. Tetapi hanya ada pada sistem kekhilafahan yang sudah terbukti mensejahterkan.

Wallahu A'lam bi Showab

Post a Comment

Previous Post Next Post