Islam Mencetak Guru Berkualitas dan Mewujudkan Generasi Tangguh


Oleh: Yanyan Supiyanti A.Md
Pengajar di Sekolah Tahfidz & Member Akademi Menulis Kreatif

Guru itu digugu dan ditiru. Itulah ungkapan yang menggambarkan keteladanan seorang guru. Bagaimana guru di sistem demokrasi saat ini dibandingkan guru di sistem Islam yang pernah berjaya selama 14 abad dan menguasai hampir 2/3 dunia?

Dilansir oleh tirto.id, pada tanggal 12 Mei 2019, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani, mewacanakan akan mengundang guru dari luar negeri untuk menjadi tenaga pengajar di Indonesia. Menurut Puan, saat ini Indonesia sudah bekerja sama dengan beberapa negara untuk mengundang para pengajar, salah satunya dari Jerman.

Wacana yang digulirkan Puan ini menuai kritik dari Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim. Ia mengatakan jumlah guru di Indonesia sudah mencukupi. Ramli menjelaskan jumlah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan lulusannya terus bertambah setiap tahunnya. Ia merujuk data Kemendikbud yang menyatakan pada tahun 2013 terdapat 429 LPTK, terdiri dari 46 negeri dan 383 swasta. Total mahasiswa saat itu mencapai 1.440.770 orang. Dengan jumlah tersebut, maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300.000 orang per tahun. Padahal kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40.000 orang per tahun. Di sisi lain, Ramli pesimistis tenaga pengajar asing bisa mengakses kurikulum yang diterapkan di Indonesia. Apalagi, tambah dia, guru asing tersebut kemungkinan akan memiliki persoalan bahasa.

Guru-guru di Indonesia sebenarnya punya potensi baik, tetapi beban kurikulum dan beban administrasi yang begitu berat membuat mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak perlu.

Dalam sistem Demokrasi yang saat ini diterapkan di Indonesia, solusi yang ditawarkan hanya solusi tambal sulam, tidak pada akar permasalahannya. Dengan mengadakan pelatihan-pelatihan guru, memperbanyak guru yang dikirim belajar dan kuliah ke luar negeri oleh Kemendikbud, guru yang pulang belajar dari luar negeri melatih guru-guru yang di dalam negeri, distribusi guru yang belum merata dengan sistem zonasi, dan terakhir adanya wacana impor guru.

Solusi demokrasi di atas belum bisa menyejahterakan guru. Terbukti bahwa sistem demokrasi gagal mencetak guru yang berkualitas untuk mewujudkan generasi yang tangguh.

Guru adalah sosok insan mulia, kedudukannya tinggi dihadapan Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." (TQS al-Mujadalah:11)

Dan di dalam hadist juga disebutkan bahwa guru memiliki banyak keutamaan:

"Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bershalawat kepada mu'alim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia." (HR Tirmidzi)

Dalam Islam, guru mendapat posisi dan perlakuan mulia, karena posisi sebagai orang berilmu dan mengajarkan ilmu serta karena posisi strategisnya sebagai salah satu pilar pewujud generasi tangguh yang berkarakter kuat, mampu sebagai problem solver dan memiliki skill dalam kehidupan.

Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Khilafah mendapatkan penghargaan yang tinggi, berupa pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada  tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikan ke dalam rupiah, artinya gaji guru sekitar Rp. 30.000.000, tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS ataupun honorer, apalagi tersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru. Tidak heran di masa kekhilafahan kita jumpai banyak generasi cerdas dan shalih. Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dapat dinikmati tanpa beban biaya yang besar. Dan tanpa ketergantungan pada asing yang merusak pendidikan bangsa.

Bagaimana mungkin seorang guru memiliki gaji sebesar itu? Orang awam pasti berpikir ini adalah mustahil. Dalam sistem demokrasi, setiap yang bermutu pasti mahal. Tapi tidak bagi sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, hal tersebut terbukti selama 14 abad mampu menjamin kesejahteraan guru  dan murid.

Inilah Islam, ketika diterapkan secara kaffah maka rahmatnya akan dirasakan oleh seluruh makhluk. Selama masih diterapkannya sistem bobrok kapatalisme-sekulerisme, termasuk di dalamnya demokrasi, maka tidak akan pernah kita rasakan yang bermutu dan murah. Apalagi ingin mencapai kesejahteraan guru, itu adalah hal yang mustahil bagi guru.

Perhatian para kepala negara kaum Muslimin (Khalifah) bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik, sarana dan prasarana untuk menunjang profesionalitas guru juga disediakan secara cuma-cuma. Jelas terbayang, guru akan fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.

Hanya sistem pendidikan Islam yang memiliki kebijakan terbaik atas guru, mengingat posisi strategisnya sebagai pencetak generasi masa depan yang tangguh.
Wallahu a'lam bishshawab.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post