Nge-fly, Bunuh Diri Kecerdasan

Penulis : Erni Yuwana
(Pemerhati Remaja dan pendidikan)

"Hidup adalah seni untuk memecahkan masalah."  Kalimat tersebut tampaknya harus menjadi perhatian di dunia pendidikan Indonesia. Terutama di era milenial saat ini. Viva.co.id baru-baru ini membahas peringkat kepintaran anak Indonesia yang terus menurun secara global. Berdasarkan penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan tiga tahun sekali secara global, menjelaskan bahwa Indonesia kini ada diperingkat 62 dari 72 negara lain. Pengukuran kepintaran tidak hanya kemampuan membaca, menulis, sains dan matematika. Tapi juga pemahaman mereka untuk mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Faktanya, kemampuan anak Indonesia dalam IPA, matematika, membaca, dari tahun 2006 belum ada improvement. Sebagai contoh, membaca, bukan hanya sekedar membaca namun bagaimana anak mengerti dan memahami ide pokok, pesan yang ingin disampaikan. Matematika dikaitkan dengan kasus atau masalah dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan sains mengaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan alam.

Intinya, kemampuan anak Indonesia untuk mampu memecahkan masalah masih tergolong sangat rendah. Terus menurun dari tahun 2000 (dari peringkat 38 hingga kini menjadi 62). Anak-anak Indonesia tampak pintar di kelas, namun belum sanggup mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dunia pendidikan Indonesia perlu membenahi diri agar tidak terjebak pada pendidikan teoritis namun tidak aplikatif.

Trend Nge-fly
Jika kemampuan anak dalam memecahkan masalah tergolong rendah, maka jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah adalah lari dari masalah itu sendiri. Kalimat ini paling cocok disandarkan pada generasi milenial. Alih-alih mengatasi masalah, remaja milenial Indonesia malah disibukkan dengan cara berkreasi dan berinovasi untuk menghasilkan efek kecanduan dan mabuk  (nge-fly). Ya, nge-fly masih dianggap sebagai cara efektif "menyelesaikan" masalah. Larut dalam angan kosong yang penuh ilusi. Penikmat kesenangan khayali. Pemuja fantasi yang tiada memahami hakikat diri.

Pada akhirnya generasi milenial menemukan ide bahwa nge-fly tidak harus dengan benda narkotika. Nge-fly tidak harus mahal. Ada banyak cara dan bahan yang bisa digunakan untuk nge-fly. Mereka bereksperimen meracik "ramuan" untuk mendapatkan sensasi nge-fly.

Dari bahan yang murah dan irit, remaja Indonesia menciptakan narkotika jenis baru. Narkotika murah meriah. Narkotika dari bahan di luar dugaan dan jauh dari nalar. Narkotika yang tidak bisa dikenai sanksi pidana. Narkotika  tersebut berasal dari obat batuk generik (atau yang biasa mereka sebut "ngomix"), aroma minyak tanah, bau septic tank, menghirup bensin, fenomena mabuk lem (ngelem), hingga yang terbaru adalah meminum air rebusan pembalut. Semua benda tersebut mengandung zat beracun karena penggunaan yang salah.

Berani nge-fly sama dengan berani membunuh sel saraf otak. Suatu langkah yang jauh dari kepintaran. Titik terendah dari nilai kecerdasan. Penuh total dengan kedunguan. Kebodohan yang kian menggunung. Kewarasan yang hilang. Awal dari kehancuran. Inilah gambaran generasi milenial kita saat ini.

Wajah Pendidikan Bangsa
Buruknya cara pemecahan anak dalam menyelesaikan  problematika kehidupannya memang tidak terlepas dari sistem Pendidikan yang ada. Sistem pendidikan Indonesia  harus terus berbenah diri. Tugas berat mendidik generasi milineal perlu mendapat perhatian dan kesungguhan yang teramat besar. Namun, nyatanya wajah pendidikan Indonesia masih mencari jati diri. 

Berbagai study banding ke negara lain yang berpendidikan maju kerap diupayakan oleh negeri ini untuk mendapat "formula pas" dalam dunia pendidikan. Usaha menerapkan kurikulum negara maju pun pernah dilaksanakan. Terbukti sejak Indonesia merdeka, sudah sebelas kali Indonesia mengganti kurikulum pendidikan.

Dikutip dari kemendikbud.go.id, sejarah perubahan kurikulum pendidikan Indonesia dimulai dari kurikulum 1947 (rentjana pelajaran 1947), kemudian kurikulum 1952 (rentjana pelajaran 1952), kurikulum 1964 (rentjana pendidikan 1964), kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999, kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi / KBK), kurikulum 2006 (kurikulum tingkat satuan pendidikan / KTSP), kurikulum 2013 dan kurikulum 2015. Tidak bisa dipungkiri, berbagai variasi perubahan kurikulum yang begitu cepat mengakibatkan kebingungan tersendiri, baik pada guru maupun siswa. Sampai detik ini, pendidikan Indonesia masih mencari jalan ke arah pendidikan ideal dan terbaik untuk negeri ini.

Sistem Pendidikan Terbaik Untuk Generasi Terbaik
Generasi milineal adalah bidikan pertama untuk mendapatkan sosok generasi terbaik. Kenapa? Karena mereka adalah aset umat. Mereka lah harapan bangsa. Mereka lah tonggak peradaban. Kelak, kepemimpinan negeri ini berada di genggaman tangannya. 

Generasi terbaik tentu lahir dari sistem pendidikan terbaik. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sistem pendidikan terbaik itu? Apakah sistem pendidikan terbaik pernah ada? Atau kah dunia masih mencari sistem paling ideal yang mampu diterapkan?

Mari kita telaah sejarah pendidikan dan peradaban dunia. Ratusan tahun lalu, ketika dunia masih dikendalikan oleh derap langkah kaki kuda dan tinta pena, muncul generasi ilmuwan yang penemuannya menjadi cikal bakal teknologi canggih masa kini. Ilmuwan yang lebih dulu menemukan penemuan besar dibandingkan ilmuwan barat. Ilmuwan berotak pintar, berkepribadian tinggi, berakhlak langit. Ilmuwan yang menjadikan masa itu sebagai masa keemasan, sementara Eropa masih berkubang pada masa kegelapan. 

Produk dari sistem pendidikan tersebut adalah ilmuwan besar dan terkenal seperti  al-khawarizmi (penemu angka nol ),  Abbas ibnu firnas (peletak dasar teori pesawat terbang ), ibnu hayyan(ahli kimia, astronomi), ibnu sina(kedokteran), abu al rahyan (ilmu bumi,matematika, dan astronomi, antropologi, psikologi dan kedokteran ),abu ali hasan ibn al-haitsam (fisikawan terkenal dalam hal optik dan ilmu ilmiah), dsb. Mereka bukan hanya ilmuwan, tapi merangkap sebagai seorang ulama. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan rabbul Alamin, Allah SWT.

Masa itu, pendidikan adalah hal yang paling utama dan pertama.  Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara gratis. 

Negara juga menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, selain gedung-gedung sekolah, kampus-kampus, untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits dan tafsir, termasuk di bidang pemikiran, kedokteran, teknik kimia serta penemuan, inovasi, dan lain-lain, sehingga di tengah-tengah umat lahir sekelompok mujtahid, penemu, dan inovator. 

Sistem tersebut efektif membentuk pola pikir intelektual dan pola sikap Rabbani. Negara bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan pendidikan untuk memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa manusia, memelihara harta, memelihara agama, memelihara keamanan, dan memelihara negara.

Lalu, bagaimana membentuk sistem pendidikan terbaik seperti itu? Bagaimana mengulang jaman keemasan kembali? Bagaimana? Jawabannya, itu hal yang mudah. Bisa dilaksanakan. Bukan kemustahilan. Karena kuncinya cuma satu, yaitu menerapkan aturan Allah SWT yang maha pencipta lagi maha pengatur dalam hal apapun, termasuk pendidikan. Benar, Islam punya aturan yang sempurna, termasuk masalah pendidikan.

Tujuan asas pendidikan yaitu membangun kepribadian Islam, dengan cara menjalankan pembianaan, pengaturan, dan pengawasan di seluruh aspek pendidikan melalui penyusunan kurikulum, pemilihan guru yang kompeten. Karena kualifikasi pencapaiannya harus diamati dalam kehidupan sehari-hari bukan sekedar menilai dengan jawaban-jawaban dalam ujian tertulis atau lisan. Pendidikan bukan hanya untuk kepuasan intelektual semata, tetapi membentuk kepribadian  Islam (pola pikir dan pola sikap islam).

Dalam sistem pendidikan terbaik tersebut tidak terdapat sistem ujian tapi akan diadakan diskusi dan wawancara langsung bersama siswa untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya dalam mengajar dan pemahaman mengenai ilmu yang ia pelajari dan kreativitas serta keterampilannya dalam “mencipta” dan mengajarkan sesuatu.

Itulah sekelumit tentang sejarah keemasan sistem pendidikan terbaik yang pernah ada di dunia. Yaitu sistem yang bersandar pada aturan pemilik semesta alam, Allah SWT. Saatnya kembali pada aturan Allah SWT. Menerapkan kembali sistem pendidikan Islam kaffah yang hanya bisa direalisasikan dalam negara Islam, khilafah Rasyidah.

Post a Comment

Previous Post Next Post