Membangun Kesadaran Hukum Yang Hakiki

Penulis  : Irianti Aminatun 
(Pemerhati Masalah Umat) 

PemerIntah Kabupaten Bandung bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan pembinaan desa/kelurahan sadar hukum terhadap 50 desa/kelurahan dari 6 kecamatan terpilih.

 Asisten Pemerintahan Kabupaten Bandung H. Ruli Hadiman mengatakan, kegiatan tersebut pada dasarnya dilaksanakan untuk mewujudkan kesadaran hukum yang lebih baik kepada masyarakat sehingga tiap  anggota masyarakat dan aparat desa/kelurahan menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya. (www.galamedianews.com).

Pembinaan sadar hukum layak dilakukan, sebab sepanjang tahun 2018 tingkat kriminalitas di jawa barat masih tinggi (www.jawapos.com). Demikian pun angka putus sekolah (www.timeindonesia.co.id), pergaulan bebas, serta tindakan melanggar hukum lainnya.

 Persoalannya membangun kesadaran hukum yang seperti apa yang benar-benar efektif bisa menyelesaikan persoalan manusia dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, baik rakyat umum maupun punggawa negara? Tulisan ini mencoba menjawabnya.

Sejatinya Kabupaten Bandung dan provinsi Jawa Barat memiliki potensi besar untuk menjadi wilayah yang memiliki kesadaran hukum tinggi. Potensi itu terletak pada keyakinan yang dianut oleh  mayoritas penduduknya yaitu Islam.

 Islam tegak di atas sebuah keyakinan bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan ini ada karena diciptakan oleh Allah SWT. 

Allah juga menurunkan aturan/hukum yang sempurna untuk mengatur interaksi manusia baik dengan penciptaNya, dengan dirinya dan dengan sesama manusia. 

Allah SWT mengutus Rasul untuk menyampaikan risalah Nya dan memberikan contoh bagaimana risalah itu diterapkan. Risalah tersebut menjelaskan bahwa manusia yang serba lemah terbatas dan tergantung wajib mengikatkan seluruh perbuatannya dengan aturan yang datang dari Allah SWT demi keselamatan dirinya baik di dunia maupun di akhirat.  

Agar seluruh Risalah bisa dijalankan secara sempurna wajib ada institusi penerap risalah. Institusi tersebut adalah Daulah Islam

 Agar seluruh manusia faham akan aturan Islam, Islam mewajibkan negara untuk memberikan sarana pendidikan dan sarana lain yang mencukupi hingga seluruh warga negara  mendapat pemahaman yang utuh terkait aturan kehidupan.

 Islam juga mewajibkan negara untuk menerapkan aturan tersebut secara menyeluruh.  Semua hukum harus bersumber dari firman Allah SWT baik al Qur’an maupun as Sunnah. Dengan demikian hukum Islam berada di atas semua pihak, di atas semua manusia. 

Allah SWT  menegaskan bahwa Muhammad saw. diutus untuk seluruh manusia dan bahwa risalah islam diperuntukkan untuk seluruh manusia agar menjadi rahmat bagi mereka, baik muslim maupun non muslim.

Penerapan hukum-hukum Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sepeninggal Rasulullah penerapan hukum-hukum Islam dilanjutkan oleh para Khalifah. 

Dengan menerapkan aturan Islam seluruh hak warga negara baik muslim maupun non muslim terpenuhi, rakyat memenuhi hak dan kewajibannya, kriminalitas sangat rendah, negara sejahtera, aman, kerukunan antar umat beragama pun terjaga.

Hal itu sudah terbukti dalam sejarah panjang kaum Muslim. Mc I Dimon dalam bukunya, Spain in the Three Religion mengakui bahwa di bawah pemerintahan Islam selama 800 tahun di Spanyol, pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi bisa hidup berdampingan dan mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara tanpa diskriminasi.

Islam melarang negara menerapkan hukum selain hukum Islam.  Hukum Islam bersumber dari wahyu, baik al Qur’an maupun as Sunnah. Dengan demikian hukum bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah-ubah. Ini akan memberikan konsistensi hukum baik jangka pendek maupun jangka panjang. Di samping itu, juga akan membuat semua orang baik praktisi hukum maupun masyarakat umum, lebih mudah mengakses dan mengetahui hukum yang ada.

 Sebagaimana kisah di masa Rasulullah, ada seorang Yahudi yang ingin memeluk Islam. Yahudi itu datang menghadap Rasulullah menyampaikan keinginanya untuk masuk Islam, tapi ia masih suka berzina dan meminum khamr. Yahudi itu bertanya “ Ya Rasul ... saya ingin masuk Islam, tapi saya masih suka berzina dan meminum khamr. Apakah bisa?” Rasul menjawab “Bisa, dengan satu syarat harus jujur” Yahudi itu pun pulang dengan gembira karena bisa masuk Islam dan masih boleh meminum khamr. Tapi di tengah perjalanan pulang Yahudi tersebut merenung, “Kalau saya meminum khamr kemudian bertemu Rasul dan ditanya, apakah kamu masih meminum khamr? Kalau saya jawab tidak berarti saya berbohong, tapi kalau saya jawab ya, pasti saya akan mendapat hukuman jilid”. Akhirnya Yahudi itu meninggalkan kebiasaan berzina dan meminum khamr karena faham bahwa perbuatan tersebut dilarang di dalam Islam. Nah darimana Yahudi itu mengetahui hukuman zina dan hukuman meminum khamr? Tidak lain dari hukum yang diterapkan oleh negara pada saat itu.

Hukuman atau sanksi di dalam Islam bersifat zawajir (membuat jera) dan jawabir (penebus dosa di akhirat). Sanksi dalam Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan masyarakat. Sanksi dalam Islam juga akan menjadi penebus dosa di akhirat sehingga pelakunya tidak lagi disiksa karena dosa itu. Ini adalah satu bentuk keberpihakan Islam terhadap pelaku kriminal. Sifat ini akan mendorong orang yang memiliki ketakwaan tapi terpeleset berbuat kriminal, untuk mengaku dan meminta diterapkan sanksi atas dirinya karena tidak ingin disiksa di akhirat. Inilah yang terjadi pada masa Rasulullah atas diri Maiz al-Islam dan al-Ghamidiyah.

Itulah gambaran aturan kehidupan dalam Islam. Jika konsep tersebut  direalisasikan oleh negara akan bisa mewujudkan kesadaran hukum yang tinggi. Mereka tunduk pada hukum bukan semata takut sanksi tapi sebagai aktualisasi dari keyakinan dan keimanan mereka, sehingga akan berupaya keras untuk senantiasa terikat dengan hukum yang ada. Yang non Muslim pun akan merasa nyaman karena hukum yang ada mengakomodasi kepentingan mereka dan memenuhi hak-hak mereka.

Sayangnya, sistem yang diadopsi oleh punggawa negara saat ini adalah hukum sekuler. Hukum yang memisahkan agama dari kehidupan. Aturan di buat oleh manusia yang serba lemah. Wajar kalau aturan tersebut menimbulkan berbagai persoalan di tengah masyarakat. Hukum merupakan produk akal manusia yang mengesampingkan al Khaliq sebagai Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Oleh karena itu produk hukum yang dikeluarkan pasti tidak akan sempurna dan memiliki banyak kelemahan. Diantara kelemahan tersebut adalah :

Pertama. Landasan hukum dilandasi oleh sistem hukum sekuler yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama. Karena landasannya sekuler maka produk hukumnya tidak menutup kemungkinan bertentangan dengan keyakinan warga negara. Implikasinya bisa jadi mereka menjadi tidak taat pada hukum yang ada. Artinya kesadaran hukum akan sulit terwujud.

Kedua. Materi hukum tidak lengkap. Ketidaklengkapan ini bukan hanya akan menimbulkan kekacauan, tetapi juga akan memicu tindak kejahatan lain dan memiliki dampak luas.

 Sebagai contoh: Dalam KUHP pasal 284, yang termasuk dalam kategori perzinahan (persetubuhan di luar nikah) yang dikenakan sanksi hanyalah pria dan atau wanita yang sudah menikah. Itupun jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Jika yang berzina salah satu atau kedua-duanya belum menikah dan dilakukan atas dasar suka sama suka, mereka tidak dikenakan sanksi. Fenomena seks bebas (kumpul kebo), hamil di luar nikah, aborsi diduga salah satu penyebabnya adalah karena tidak adanya sanksi atas mereka.

Ketiga. Sanksi tidak menimbulkan efek jera. Tujuan diterapkannya sanksi bagi pelaku kejahatan, agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Tapi sanksi yang ada saat ini tidak menimbulkan efek jera. 

Sebagai contoh pembunuhan yang disengaja (pasal 338KUHP) hanya dikenakan sanksi paling lama 15 tahun penjara. Pencurian (pasal 362 KUHP) hanya dikenakan sanksi penjara paling lama 5 tahun. Sanksi yang tidak menimbulkan efek jera alih-alih menekan angka kejahatan, yang terjadi malah jumlah penjahat dan residivis terus meningkat. Akibatnya negara kewalahan membiayai makan para napi.

Hukuman penjara seringkali memberi peluang terpidana mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan, sebab di penjara terpidana justru bisa “belajar” trik kejahatan yang lebih besar. Bahkan peredaran narkoba bisa dikendalikan dari balik jeruji.

Demikianlah sistem hukum yang ada pada saat ini yang berlandaskan pada hukum sekuler telah membuahkan aturan yang rusak. Bisakah kesadaran hukum lahir dari aturan yang rusak ini?

Karenanya jika pemerintah Kabupaten ingin warganya memiliki kesadaran hukum yang hakiki tidak ada pilihan lain kecuali harus mengambil sistem hukum Islam. Sistem yang berasal dari Dzat Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan yang tidak ada kekurangan apalagi salah. Penerapannya akan menjadi rahmat bagi alam semesta.

Demikian pun untuk warga Kab Bandung dan Jawa Barat, hendaknya mendorong penguasa agar menerapkan hukum Islam demi kebaikan bersama. 

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?.
Wallahu a’lam bi ash showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post