Framing “Kafir” Belum Berakhir

Penulis : Yusriani Rini Lapeo, S.Pd
(Anggota Muslimah Media Konawe)

Setelah membuat terobosan tentang Islam Nusantara, kali ini NU menggelar Konferensi Besar Nahdlatul Ulama, atau biasa dikenal dengan istilah Munas Alim Ulama Yang diselenggarakan oleh para kiai dan pengikutnya pada Kamis, 28 Februari 2019, Banjar, Jawa Barat.

Cukup menjadi sorotan, pasalnya konferensi yang diselenggarakan oleh para petinggi ulama Indonesia, demikian tidak membahas masalah problematika yang sedang dialami kaum muslimin saat ini, sebaliknya malah sibuk menempatkan non-muslim agar tidak disebut kafir oleh kaum muslim di Indonesia. 

Atas tindakan tersebut, Kiai Lutfi menduga dalam komentarnya ada indikasi permainan orang-orang liberal yang menyusupi pemikiran elit PBNU. Seperti yang diungkapkan dalam komentarnya, “Jadi ada nuansa permainan dari kalangan liberal yang memainkan peranan. Yang jelas demikian. Karena kelompok liberal itu kan tidak berkiblat kepada syariat, tetapi berkiblatnya ke pemikiran orientalis,” Kiblat.net, Jumat (01/03/2019).

Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dr Tiar Anwar Bachtiar. Ia secara tegas menyatakan, pengubahan istilah Kafir dengan non muslim adalah bentuk sekularisasi teologis yang nyata terhadap ajaran Islam, hingga akhirnya masyarakat akan kebingungan.

“Dalam konteks teologis, penggantian istilah (kafir) ini, jelas sekularisasi. Karena memang banyak pemikir-pemikir sekuler di Indonesia mencoba untuk tidak menggunakan istilah-istilah Qur’ani untuk menyebut satu kelompok tertentu,” ujarnya, Jakarta Timur, Kamis (07/03/2019) pagi, Kiblat.net.

Sekularisasi dalam Dunia Politik

Dibalik maraknya permasalahan baru yang timbul dewasa ini, ada ancaman yang luar biasa bahkan sangat menggangu keutuhan negeri ini yang notabenenya merupakan penduduk terbesar muslim di seluruh dunia. Hal yang terparahnya ialah, muslim menyerang saudara muslimnya sendiri dengan berbagi macam gagasan sesat demi kepuasan hawa nafsu duniawi semata.

Keputusan para petinggi PBNU dalam konferensinya, dimana kaum muslimin di Indonesia diminta tak menyebut kafir kepada non-muslim, bukan saja sekularisasi terhadap makna teologis itu sendiri, melainkan ada politik terselubung dibalik makna tertentu. Menariknya, mereka cukup pintar bermain cantik ditengah memanasnya dunia politik saat ini.

Haramnya pemimpin kafir yang tengah menjadi sorotan pasca kasus penodaan agama ditahun 2017, cukup membuat kaum liberal panik diatas panik. Pasalnya, dengan Adanya framing tersebut mereka merasa terancam atas keberadaan kata “kafir”. Betapa tidak, mereka takut tidak akan berkuasa, mereka takut kepercayaan atas mereka akan hilang dimata masyarakat khususnya kaum muslimin, tanpa terkecuali mereka takut tidak akan terpilih menjadi pemimpin ditengah masyarakat.

Untuk itu, berbagai macam cara mereka lakukan, hingga mereka berupaya menggiring opini ditengah masyarakat lewat media apapun, bahkan sesuatu yang baik dianggap buruk, dan sesuatu yang buruk dipermulus dengan framing sesat hingga kelihatan baik dimata masyarakat. Setidaknya, mereka membuat propaganda untuk membuat kaum muslimin saling serang menyerang dalam opini, menganggap diri merekalah yang paling benar dan tidak menghargai perbedaan pendapat diantara ormas-ormas yang berbeda dengan mereka, padahal bukan kah ini menyalahi aturan dalam demokrasi itu sendiri.

Setidaknya, untuk menguasai perekonomian kaum muslimin di Indonesia, mereka harus menempuh jalur politik praktis dengan penyebaran paradigma yang keliru, karena sejatinya kaum liberal ini hanya mencari nilai materi dan kedudukan semata. Bisa dibayangkan, ketika eksistensi mereka akhirnya akan lenyap dengan pemikiran Islam yang pari purna terhadap sistem ekonomi Islam, ini justru menjadi ancaman menakutkan bagi kaum liberal.

Sebab itu, mereka akan melakukan berbagi macam upaya untuk memisahkan hukum Islam dari berbagai aspek kehidupan. Sehingga akan  berpengaruh besar terhadap ekonomi dan politik diberbagai sektor. Sebagai contoh, liberalisasi teologis makna kafir yang mereka ganti dengan kata kesetaraan hak sebagai warga negara Indonesia, artinya meski mereka jelas kafir, bahkan ateis pun semua sama seperti masyarakat yang beragama Islam, dan ingin mencari posisi sebagai warga negara Indonesia bukan karena perbedaan agama.

Inilah yang dilakukan oleh kaum liberal saat ini. Dengan memisahkan agama dari kehidupan, maka mereka akan lebih leluasa menguasai seluruh sumber daya alam khususnya di Indonesia. 

Padahal, andainya kita membuka mata dengan lebar kita pasti melihat berbagai kerusakan yang timbul akibat sekularisasi agama dari berbagai aspek. Misalnya saja, sampai saat ini krisis moneter tengah melanda Indonesia, kebijakan ekonomi Pemerintah banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri, maupun sektor perdagangan, dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.

Yang lebih parahnya, dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta.

Semua ini adalah dampak dikuasainya pemikiran masyarakat oleh orang-orang liberal,  penyusupan pemikiran kaum liberal telah tercermin oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan sangat mungkin, mereka akan merancang UU baru mengenai larangan menyebut kafir kepada non-muslim, yang akhirnya pelakunya akan mudah diseret keranah hukum. Lalu apakah kita tetap akan membiarkan itu terjadi, dan sampai kapan kita akan sadar dan terlepas dari belenggu orang-orang liberal.

Islam Memandang

Kita tidak sedang membahas mengenai orang-orang kafir, dan bagaimana cara toleransi terhadap mereka, karena sesungguhnya agama yang paling menghargai agama lain hanya agama Islam, dan kata kafir tidak berasal dari ungkapan manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Allah telah mengulang beberapa kali kepada orang-orang kafir dalam Al-Qur'an, pun salah satu firman-nya yang artinya “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,” (Qs. Al-kafirun:1)

Ini berarti, tak satupun makhluk yang bisa merubah atau membelokkan perkataan Allah dengan tafsiran yang menyesatkan. Jika demikian, maka mereka telah melanggar syariat. Mengapa kita harus permasalahan sesuatu yang tidak sepantasnya, bahkan orang-orang kafir-pun tak pernah protes atas sebutan kita  terhadap mereka, sebagaimana mereka juga telah menyebut kaum muslimin dalam kitabnya “domba yang tersesat”.

Sebisa mungkin da'wah ditengah masyarakat dapat dilakukan. Terus memberikan peringatan terhadap mereka atas keberadaan kaum liberal yang akan merusak eksistensi agama Islam yang murni datangnya dari sang pencipta alam semesta. Allah berfirman dalam(QS.An-Nisā’:140)

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.”

Oleh karenanya, Allah SWT telah mengingatkan kepada kita untuk tidak mengambil teman dan penolong dari golongan mereka, sebagaimana firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”  (QS.An-Nisā’:139) Wallahu'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post