"Isu Kristenisasi Berhembus, Koruptor Tak Terendus"

Vito Herlambang
Penulis Adalah Wartawan Investigasi 
 www.beritalima.com • www.sumateratime.com • www.caleg-indonesia.com • www.ipppk.com • www.apnpjatim.com

MARAKNYA tindak pidana korupsi, baik yang berlangsung di lembaga negara maupun swasta, ternyata sama sekali tidak menimbulkan kerisauan bagi masyarakat di Provinsi Sumatera Barat. Penegakan serta gerakan anti korupsi di daerah ini terkesan hanya "tajam sesaat", selanjutnya "tumpul" atau dikondisikan "tumpul". Sungguh hebat provinsi ini.

Di balik realita tersebut, benarkah tidak ada korupsi di Sumbar? Sementara Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pernah merilis, Sumbar masuk papan tengah provinsi terkorup di Indonesia (rangking 22), dengan nilai kerugian negara yang berpotensi korupsi sebesar Rp 27 miliar. Itu yang bersumber dari keuangan negara. Belum lagi praktik suap-menyuap dan pungli di badan pemerintah dan swasta. Data yang dirilis Fitra tersebut mengacu pada publikasi Badan Pemeriksa Keuangan Semester II Tahun 2011, yang diumumkan awal Oktober 2012 lalu,

Diakui atau tidak, masyarakat Sumbar justru lebih memberi tempat bagi isu-isu yang melampaui akal sehat seperti isu Kristenisasi, missionaris dan sejenisnya sebagai sesuatu yang merisaukan, sesuatu yang menakutkan bahkan amat sangat menakutkan. Jauh di atas kerisauan dan ketakutan terhadap semakin meruyaknya perilaku korup, seiring makin canggihnya kolaborasi antara kalangan birokrat, pengusaha hingga kalangan (oknum) yang mengatasnamakan dirinya sebagai wakil rakyat, dalam "menyamarkan" tindak pidana korupsi.

Belakangan, berhembus isu santer bahwa pembangunan superblok Lippo Group yang terdiri atas sekolah, rumah sakit Siloam, hotel dan mall di Padang membawa misi Kristenisasi. Kendati tak cukup fakta-fakta atau pembuktian bahwa pembangunan dengan nilai investasi Rp 1,3 triliun dan akan mempekerjakan tak kurang 3000 orang pegawai tersebut membawa misi Kristenisasi, bagi masyarakat Sumbar isu ini seolah-olah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, sehingga berbuntut aksi penolakan dari segelintir elemen masyarakat yang mengklaim bahwa mereka punya bukti-bukti bahwa memang ada misi Kristenisasi dalam pembangunan superblok Lippo Group tadi.

Pro kontra yang terjadi ternyata sangat efektif untuk membuah heboh masyarakat, sebaliknya fakta-fakta seputar "nawaitu korupsi" dan tindak pidana korupsi di sekelilingnya justru diabaikan masyarakat. Alhasil, para koruptor makin leluasa melebarkan sayap. Korupsi tidak lagi menjadi perbuatan haram dan aparat penegak hukum bukan lagi sosok menakutkan bagi para koruptor. Rasa malu ketika kedapatan korupsi mulai tak terasa. Yang tersisa paling-paling rasa malu pada sanak saudara atau pada para tetangga ketika perilaku korup mereka terendus mass media lalu ditindaklanjuti aparat penegak hukum.

Pendirian superblok Lippo Group telah mendapat izin dari Walikota Padang Fauzi Bahar dan telah pula dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunannya. Akan tetapi, belakangan muncul perlawanan sengit dan protes atas pembangunan superblock tersebut dilayangkan. Tujuh calon walikota Padang yang bertarung pada Pilkada 30 Oktober 2013 lalu tak luput dari lobian, tertuang dalam penandatanganan pembatalan izin superblok.

Adapun argumentasi elemen yang menolak pembangunan superblok Lippo Group di Padang ; (1) superblok itu bertentangan dengan Peraturan Daerah Kota Padang No 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dimana Jalan Khatib Sulaiman tempat super blok itu akan dibangun diperuntukkan untuk kawasan perkantoran Pemerintah Provinsi Sumatera Barat; dan (2) tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal Minangkabau, yaitu "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara' mangato adat mamakai".

Jika ditelaah lebih seksama, inti dari penolakan superblok itu adalah karena isu Kristenisasi. Tak lebih dan tak kurang. Soal argumen pelanggaran perda, tampak sekali bahwa dalil itu hanya sebagai pemanis semata.  Sebab, di Jalan Khatib Sulaiman Padang itu sejak dahulu kala dan sampai saat ini telah berjejer megah pusat perkantoran swasta, sejumlah show room mobil Honda, Suzuki, Mazda dan Mitsubishi, restoran, hingga cucian mobil. Bahkan Masjid Raya Sumbar juga bercokol di ruas jalan tersebut. Masjid megah yang sebagian besar dibangun dengan uang rakyat tersebut belum kunjung rampung pembangunannya sehingga belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Sumbar. Pemprov Sum­bar  menargetkan pembangunan Masjid Raya rampung pada 2015, sebelum berakhirnya masa jabatan Irwan Prayitno dan Muslim Kasim.

“Kita mendorong dalam dua tahun masa jabatan kita yang ting­gal ini, pembangunan Masjid Raya ini bisa dirampungkan,” kata Wakil Gubernur Sumbar Muslim Kasim usai Shalat Id di Masjid Raya Sum­bar, Kamis (8/8) lalu, seperti dirilis mass media Sumbar.

Muslim kala itu mengakui, pembangunan mas­jid yang dibangun sejak tahun 2009 itu sedianya rampung tahun 2013ini.

“Kita harapkan tuntas akhir tahun 2015 nanti," tegas mantan Bupati Padang Pariaman tersebut.

Diungkapkan juga bahwa lambannya pembangunan Masjid Raya Sumbar bukan karena anggaran. Tapi, lebih pada komit­men semua pihak, baik pemerintah daerah dan juga DPRD. "Jadi sangat klise mengatakan keterbatasan anggaran. Ini menyangkut komit­men kita,” tutur Muslim Kasim tanpa merinci lebih lanjut komitmen apa yang dimaksud.

Ada apa di balik ini semua? Lalu, kenapa masyarakat Sumbar tidak lantas "cerewet" juga mempertanyakan status rumah ibadah umat Islam tersebut sebagaimana terhadap isu-isu Kristenisasi? Tidak terlalu pentingkah rumah ibadah tersebut, sementara pada sisi lain masyarakat Sumbar yang mayoritas beragama Islam justru terkesan sangat sensitif terhadap hal-hal yang mengganggu akidah mereka?

Kita patut mempertanyakan siapa di balik keberadaan elemen masyarakat penentang pembangunan superblok Lippo Group di Padang, Sumbar.

Kenapa mereka juga tidak menolak show room mobil yang faktanya juga dikuasai oleh non-Islam? Eksistensi Lippo Bank dan Matahari yang ada di Padang selama ini -- yang notabene merupakan bagian dari Lippo Group--, juga tak diusik! Ada apa ya?

Banyak pihak membaca; bukan tidak mungkin gejolak-gejolak yang timbul akibat isu-isu Kristenisasi dan sejenisnya itu menjadi efektif sebagai bentuk pengalihan perhatian masyarakat Sumbar dari fakta-fakta lebih krusial berupa "nawaitu" hingga tindak pidana korupsi oleh oknum-oknum pejabat atau penguasa. Isu Kristenisasi berhembus, perilaku korup makin tak terendus.

Kondisi masyarakat yang mudah bergejolak oleh isu agama, setidaknya bisa menjadi tameng bagi segelintir oknum pejabat atau penguasa di Sumbar untuk menutupi bahkan "mengamankan" perilaku korup yang mulai terendus oleh pihak aparat penegak hukum, aktivis LSM maupun mass media. Pro kontra dibiarkan berkepanjangan, masyarakat terbuai, namun di balik itu kuat indikasi perbuatan menggerogoti keuangan negara yang notabene adalah uang rakyat berlangsung dengan leluasa. Wallahua'alam Bissawab...

Masyarakat Sumbat bersikap reaktif terhadap isu agama, sudah merupakan hal yang "basi" dan telah membudaya sejak era Perang Paderi. Kita patut sayangkan, sikap  yang sama tidak tampak pada kasus korupsi, busung lapar, perampasan tanah ulayat, illegal loging dan sejenisnya.

Heboh proposal Safari Dakwah PKS menguap begitu saja bersama angin, sementara secara tersirat ada muatan "nawaitu" korupsi di dalamnya. Heboh ini berujung "dikandangkannya" Jefrinal, penjabat Kepala Biro Binsos Pemprov Sumbar kala itu.

Terakhir, kehadiran Bundo Putri di KPK yang mempertanyakan perkembangan kasus dugaan korupsi oleh Walikota Padang Fauzi Bahar terkait pembangunan Pasar Raya Padang senilai Rp44 miliar yang dilaporkannya tahun 2011 lalu, juga tak begitu menjadi fokus perhatian masyarakat Sumbar.

Seperti halnya heboh proposal Safari Dakwah PKS yang sempat membuat "gelagapan" Irwan Gubernur selaku Gubernur Sumbar dari PKS, upaya Bundo Putri ini pun agaknya hanya akan "flying with the wind" (terbang bersama angin-red) seiring makin maraknya dugaan tindak pidana korupsi di kalangan pejabat Sumbar namun belum ada yang mampu menggiringnya hingga ranah hukum. Sudah ditangani kejaksaan pun, sedikitnya 22 kasus dugaan korupsi akhirnya "bernasib mujur", justru mendapat SP3 dari pihak Kejaksaan Tinggi Sumbar. **

Previous Post Next Post